Bali Sruti Bahas Soal Perempuan Bali
Berbagai masalah terkait tentang perempuan Bali yang didiskusikan mulai dari mereka yang menikah beda kasta hingga memilih tidak menikah alias menjadi daha tua.
DENPASAR, NusaBali
Perjuangan menyetarakan gender belum selesai. Kartini masa kini masih harus berjuang agar kedudukannya bisa dianggap setara. Tak terkecuali perempuan Bali yang masih mengalami diskriminasi sebagai masyarakat adat. Pada pernikahan beda kasta misalnya, perempuan Bali yang memiliki kasta lebih tinggi harus menerima sejumlah ‘sanksi’ ketika memilih menikah dengan laki-laki berkasta rendah. Begitu juga jika memilih tidak menikah. Hal ini didiskusikan dalam rangka memperingati Hari Kartini di kantor LSM Bali Sruti Denpasar, Minggu (21/4).
Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu mengatakan, setiap peringatan hari Kartini dirayakan dengan meriah dan antusias. Namun kali ini perayaan Kartini dilakukan dengan sederhana, melalui diskusi menelaah kedudukan perempuan Bali terutama yang menikah beda kasta dan memilih tidak menikah atau daha tua. Seperti diketahui, pernikahan beda kasta di Bali kerapkali menjadi diskriminasi budaya bagi kedudukan perempuan. Diskriminasi juga terjadi pada perempuan Bali yang memilih tidak menikah, dengan seringkali dicap nyinyir bahkan bisa ngeleak.
“Kami berinisiatif mengangkat tema kedudukan perempuan Bali saat ini. Perempuan Bali sekarang banyak yang sudah maju, berpendidikan, bahkan ada yang sudah bisa jadi bupati. Tapi masih ada hal-hal yang belum setara. Seperti bagaimana kedudukan perempuan Bali yang berubah status kastanya karena menikah beda kasta. Atau perempuan Bali yang memilih untuk tidak menikah. Masih banyak hal-hal yang perlu diperjuangkan untuk mencapai kesetaraan gender,” ujarnya.
Diskusi yang lebih banyak sharing pengalaman, penelitian dan solusi ini diharapkan setidaknya wadah untuk menguatkan perempuan Bali dalam menghadapi permasalahan nikah beda kasta dan memilih jadi daha tua. “Kalau menurut saya, perempuan Bali yang sudah berpendidikan dan sudah berdaya ekonomi, dia bisa menghadapi diskriminasi budaya. Tapi yang belum, apa bisa menghadapi diskrimasi ini? Nah inilah yang kami diskusikan, apa solusi terbaik bagi saudari-saudari kami perempuan Bali,” terang Riniti.
Dalam diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber yakni sejarawan Dra Sita van Bemmelen MA PhD yang memberikan materi tentang ‘Antara Peningkatan Kedudukan Perempuan dan Mempertahankan Identitas Masyarakat Bali yang Patrilineal dan Berkasta’, serta Dr AA Istri Ari Atu Dewi SH MH tentang ‘Problematik Gender : Perempuan Daha Tua di Bali’.
Menurut sejarawan Sita, sepertinya masyarakat Tri Wangsa masih mempertahankan sanksi bila ada perempuan berkasta menikah dengan kasta yang lebih rendah atau nyerod, meski lambat laun jenis atau jumlah sanksinya dikurangi. Selain sanksi, perempuan yang nikah nyerod tersebut juga dihilangkan status kastanya. “Ada banyak pertanyaan bagi saya. Sebenarnya sejak kapan upacara patiwangi itu mulai menjadi kebiasaan? Saya belum menemukan jawaban tentang itu,” ujarnya.
Tidak hanya meneliti, Sita yang juga diperistri oleh lelaki berkasta Ida Bagus dari Griya Klungkung ini juga memiliki anak-anak berkasta Ida Ayu. “Suatu hari saya dengan anak saya yang paling kecil berbincang dengan mantan karyawan suami saya. Dia bertanya Dayu (anak, red) belum menikah? Lalu anak saya bercanda, bagaimana jika Gede (anak dari mantan karyawan) menikah dengan anak saya? Lalu apa jawabnya? Tidak boleh, katanya bisa panas. Jadi anggapan-anggapan itu masih ada,” jelasnya.
Sementara dosen FH Universitas Udayana, AA Istri Ari Atu Dewi SH MH menjelaskan, status daha tua seringkali dicap perawan tua, cerewet, nyinyir dan bahkan dianggap bisa ngleak. Umumnya status ini akan disematkan apabila umurnya menginjak 50 tahun ke atas yang menganggap dirinya tidak mungkin menikah lagi dan enggan membicarakan hal tersebut.
“Perlakuan yang diskriminasi saya lihat. Daha tua itu ada lho yang jadi tulang punggung keluarga, padahal usianya sudah tua. Itu sudah diskriminasi ekonomi menurut saya. Kemudian juga mengalami diskriminasi politik di keluarganya, pengambilan keputusan kadang-kadang tidak diajak. Apalagi di kampung, cenderung dilabelkan serewet dan mistis, diskriminasi sosial” katanya. *ind
Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu mengatakan, setiap peringatan hari Kartini dirayakan dengan meriah dan antusias. Namun kali ini perayaan Kartini dilakukan dengan sederhana, melalui diskusi menelaah kedudukan perempuan Bali terutama yang menikah beda kasta dan memilih tidak menikah atau daha tua. Seperti diketahui, pernikahan beda kasta di Bali kerapkali menjadi diskriminasi budaya bagi kedudukan perempuan. Diskriminasi juga terjadi pada perempuan Bali yang memilih tidak menikah, dengan seringkali dicap nyinyir bahkan bisa ngeleak.
“Kami berinisiatif mengangkat tema kedudukan perempuan Bali saat ini. Perempuan Bali sekarang banyak yang sudah maju, berpendidikan, bahkan ada yang sudah bisa jadi bupati. Tapi masih ada hal-hal yang belum setara. Seperti bagaimana kedudukan perempuan Bali yang berubah status kastanya karena menikah beda kasta. Atau perempuan Bali yang memilih untuk tidak menikah. Masih banyak hal-hal yang perlu diperjuangkan untuk mencapai kesetaraan gender,” ujarnya.
Diskusi yang lebih banyak sharing pengalaman, penelitian dan solusi ini diharapkan setidaknya wadah untuk menguatkan perempuan Bali dalam menghadapi permasalahan nikah beda kasta dan memilih jadi daha tua. “Kalau menurut saya, perempuan Bali yang sudah berpendidikan dan sudah berdaya ekonomi, dia bisa menghadapi diskriminasi budaya. Tapi yang belum, apa bisa menghadapi diskrimasi ini? Nah inilah yang kami diskusikan, apa solusi terbaik bagi saudari-saudari kami perempuan Bali,” terang Riniti.
Dalam diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber yakni sejarawan Dra Sita van Bemmelen MA PhD yang memberikan materi tentang ‘Antara Peningkatan Kedudukan Perempuan dan Mempertahankan Identitas Masyarakat Bali yang Patrilineal dan Berkasta’, serta Dr AA Istri Ari Atu Dewi SH MH tentang ‘Problematik Gender : Perempuan Daha Tua di Bali’.
Menurut sejarawan Sita, sepertinya masyarakat Tri Wangsa masih mempertahankan sanksi bila ada perempuan berkasta menikah dengan kasta yang lebih rendah atau nyerod, meski lambat laun jenis atau jumlah sanksinya dikurangi. Selain sanksi, perempuan yang nikah nyerod tersebut juga dihilangkan status kastanya. “Ada banyak pertanyaan bagi saya. Sebenarnya sejak kapan upacara patiwangi itu mulai menjadi kebiasaan? Saya belum menemukan jawaban tentang itu,” ujarnya.
Tidak hanya meneliti, Sita yang juga diperistri oleh lelaki berkasta Ida Bagus dari Griya Klungkung ini juga memiliki anak-anak berkasta Ida Ayu. “Suatu hari saya dengan anak saya yang paling kecil berbincang dengan mantan karyawan suami saya. Dia bertanya Dayu (anak, red) belum menikah? Lalu anak saya bercanda, bagaimana jika Gede (anak dari mantan karyawan) menikah dengan anak saya? Lalu apa jawabnya? Tidak boleh, katanya bisa panas. Jadi anggapan-anggapan itu masih ada,” jelasnya.
Sementara dosen FH Universitas Udayana, AA Istri Ari Atu Dewi SH MH menjelaskan, status daha tua seringkali dicap perawan tua, cerewet, nyinyir dan bahkan dianggap bisa ngleak. Umumnya status ini akan disematkan apabila umurnya menginjak 50 tahun ke atas yang menganggap dirinya tidak mungkin menikah lagi dan enggan membicarakan hal tersebut.
“Perlakuan yang diskriminasi saya lihat. Daha tua itu ada lho yang jadi tulang punggung keluarga, padahal usianya sudah tua. Itu sudah diskriminasi ekonomi menurut saya. Kemudian juga mengalami diskriminasi politik di keluarganya, pengambilan keputusan kadang-kadang tidak diajak. Apalagi di kampung, cenderung dilabelkan serewet dan mistis, diskriminasi sosial” katanya. *ind
1
Komentar