Kelelahan, Petugas KPPS Alami Stroke
Di tengah riuhnya keributan soal proses penghitungan suara di tingkat pusat, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian.
DENPASAR, NusaBali
Pemilu serentak kali ini banyak membuat petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) tumbang karena kelelahan bekerja.
Satu di antaranya adalah Nengah Widiarta, 55, petugas KPPS TPS 29 Lingkungan Batanha, Karangasem. Akibat kelelahan karena bekerja lembur beberapa hari untuk mempersiapkan logistik pemilu di TPS 29, ia pun tumbang saat pencoblosan. Kelian Banjar Sindu Saraswati, Karangasem itu pun segera dilarikan ke RSUD Karangasem hingga terpaksa harus dirujuk ke RSUP Sanglah. Widiarta didiagnosa mengalami stroke akibat kelelahan bekerja.
Sang anak, Ni Nyoman Wahyu Meitriyani menceritakan, ayahnya memang sangat sibuk hampir selama seminggu menjelang pencoblosan. Widiarta yang juga seorang guru di SDN 5 Karangasem ini bahkan tidak sempat beristirahat sehari sebelum pencoblosan. Pulang mengajar ia langsung ke TPS mempersiapkan logistik dan kelengkapan lainnya. Widiarta dan petugas lainnya harus bekerja ekstra pada tanggal 16 April, karena belum mendapatkan logistik pemilu, baik kotak ataupun surat suara.
“Pulang dari ngajar langsung ke TPS, gak sempat istirahat bapak. Makan juga gak sempat. Jam 8 malam (20.00 Wita) baru makan. Bapak nunggu sampai malam kotak suara dan surat suara belum juga datang, sampai tidak bisa tidur,” tuturnya.
Keesokan harinya, 17 April, wajah sang ayah sudah menunjukkan kondisi yang tidak sehat. Wajahnya terlihat kuning dan kelelahan. Namun sang ayah tetap memaksa untuk pergi ke TPS. Sarapannya saat itu hanya berbekal roti saja. Ketika pencoblosan berlangsung, Widiarta mulai merasakan kesemutan, hingga tubuh bagian kanan tidak terasa apa-apa. Puncaknya, pukul 11.00 Wita sang ayah tumbang dan dilarikan ke RSUD Karangasem.
“Pukul 11.00 Wita itu bapak dibawa ke RSUD Karangasem. Sampai di sana muntah, saat diukur tensinya 170/100. Setelah diperiksa, katanya ada pembuluh darah di kepalanya yang bermasalah. Bapak bilang bagian kaki dan tangan kanan sudah enggak berasa, dipegang juga enggak berasa,” kata Mei.
Padahal sepengetahuannya, sang ayah tidak memiliki riwayat tensi tinggi dan stroke selama ini. Setelah hampir seminggu dirawat di Ruang Nagasari RSUP Sanglah, kondisi Widiarta kini cukup membaik. Meski tensinya masih tetap tinggi. “Sekarang tangan dan kaki kanannya sudah bisa gerak, tapi masih lemas dan kepalanya masih tetap sakit. Tensinya sekarang 140/80,” imbuhnya.
Kejadian banyaknya petugas KPPS yang tumbang saat pelaksanaan pemilu serentak kali ini, Mei berharap bisa menjadi pelajaran atau evaluasi agar lebih matang lagi dalam menyelengarakan pemilihan umum. Terutama evaluasi waktu yang mepet dengan hari pencoblosan, sehingga tenaga petugas KPPS tidak terforsir dan akhirnya tumbang saat pelaksanaan pencoblosan. “Pemerintah mestinya memperhatikanlah, biar gak serba mepet. Surat-surat DPT-nya itu, beberapa hari sebelum pencoblosan baru datang. Belum lagi harus ngurus yang lainnya,” tandasnya. *ind
Satu di antaranya adalah Nengah Widiarta, 55, petugas KPPS TPS 29 Lingkungan Batanha, Karangasem. Akibat kelelahan karena bekerja lembur beberapa hari untuk mempersiapkan logistik pemilu di TPS 29, ia pun tumbang saat pencoblosan. Kelian Banjar Sindu Saraswati, Karangasem itu pun segera dilarikan ke RSUD Karangasem hingga terpaksa harus dirujuk ke RSUP Sanglah. Widiarta didiagnosa mengalami stroke akibat kelelahan bekerja.
Sang anak, Ni Nyoman Wahyu Meitriyani menceritakan, ayahnya memang sangat sibuk hampir selama seminggu menjelang pencoblosan. Widiarta yang juga seorang guru di SDN 5 Karangasem ini bahkan tidak sempat beristirahat sehari sebelum pencoblosan. Pulang mengajar ia langsung ke TPS mempersiapkan logistik dan kelengkapan lainnya. Widiarta dan petugas lainnya harus bekerja ekstra pada tanggal 16 April, karena belum mendapatkan logistik pemilu, baik kotak ataupun surat suara.
“Pulang dari ngajar langsung ke TPS, gak sempat istirahat bapak. Makan juga gak sempat. Jam 8 malam (20.00 Wita) baru makan. Bapak nunggu sampai malam kotak suara dan surat suara belum juga datang, sampai tidak bisa tidur,” tuturnya.
Keesokan harinya, 17 April, wajah sang ayah sudah menunjukkan kondisi yang tidak sehat. Wajahnya terlihat kuning dan kelelahan. Namun sang ayah tetap memaksa untuk pergi ke TPS. Sarapannya saat itu hanya berbekal roti saja. Ketika pencoblosan berlangsung, Widiarta mulai merasakan kesemutan, hingga tubuh bagian kanan tidak terasa apa-apa. Puncaknya, pukul 11.00 Wita sang ayah tumbang dan dilarikan ke RSUD Karangasem.
“Pukul 11.00 Wita itu bapak dibawa ke RSUD Karangasem. Sampai di sana muntah, saat diukur tensinya 170/100. Setelah diperiksa, katanya ada pembuluh darah di kepalanya yang bermasalah. Bapak bilang bagian kaki dan tangan kanan sudah enggak berasa, dipegang juga enggak berasa,” kata Mei.
Padahal sepengetahuannya, sang ayah tidak memiliki riwayat tensi tinggi dan stroke selama ini. Setelah hampir seminggu dirawat di Ruang Nagasari RSUP Sanglah, kondisi Widiarta kini cukup membaik. Meski tensinya masih tetap tinggi. “Sekarang tangan dan kaki kanannya sudah bisa gerak, tapi masih lemas dan kepalanya masih tetap sakit. Tensinya sekarang 140/80,” imbuhnya.
Kejadian banyaknya petugas KPPS yang tumbang saat pelaksanaan pemilu serentak kali ini, Mei berharap bisa menjadi pelajaran atau evaluasi agar lebih matang lagi dalam menyelengarakan pemilihan umum. Terutama evaluasi waktu yang mepet dengan hari pencoblosan, sehingga tenaga petugas KPPS tidak terforsir dan akhirnya tumbang saat pelaksanaan pencoblosan. “Pemerintah mestinya memperhatikanlah, biar gak serba mepet. Surat-surat DPT-nya itu, beberapa hari sebelum pencoblosan baru datang. Belum lagi harus ngurus yang lainnya,” tandasnya. *ind
1
Komentar