Bendesa Tanjung Benoa Disidang Kasus Pemerasan
Terkait Pungutan Pengusaha Bahari
DENPASAR, NusaBali
Bendesa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, I Made Wijaya alias Yonda, 48, kembali harus duduk di kursi pesakitan PN Denpasar, Rabu (24/4) dalam kasus dugaan pemerasan dan penggelapan. Ini merupakan kali kedua Yonda berurusan dengan hukum setelah pada 2017 lalu dinyatakan bersalah dan dihukum satu tahun dalam kasus perusakan Hutan Mangrove.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dewa Anom Rai, Yonda langsung dijerat tiga pasal yaitu Pasal 368 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, Pasal 374 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua) dan Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan ketiga).
Dijelaskan, kasus ini berawal saat Yonda diangkat sebagai Bendesa Tanjung Benoa pada 17 Desember 2014. Berselang beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Desember 2014, terdakwa selaku bendesa mengeluarkan surat Nomor 01/PDP-TB/XII/2014 tentang Gali Potensi. “Pada intinya memberitahukan kepada 13 pengusaha bahari di wilayah Desa Adat Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan Rp 10.000 per aktivitas. Pungutan tersebut dibagi menjadi dua, Rp 5.000 untuk desa adat dan Rp 5.000 untuk pengusaha wisata bahari,” urai JPU Anom.
Namun pungutan tersebut mendapat penolakan dari 9 tempat usaha bahari di Tanjung Benoa. Meski ada penolakan, namun Yonda tetap melakukan pungutan tersebut. Surat pemberitahuan pungutan terhadap pengusaha bahari di Tanjung Benoa diteken terdakwa sebagai bendesa adat, dr I Made Sugianta selaku wakil bendesa adat, I Ketut Kartika selaku ketua gali potensi wisata bahari, dan I Made Kartika selaku Badan Perwakilan Desa Adat (BPDA) Tanjung Benoa. “Pendapatan yang diperoleh dari masa uji coba 20 Desember 2014 – Juni 2017 sebesar Rp 5,6 miliar. Ditambah pungutan Juli 2017 yang belum disetor ke kas desa Rp 164,9 juta,” jelasnya.
Dari uang pungutan inilah Yonda disebut menggunakannya untuk keperluan pribadi. Disebutkan ada uang sekitar Rp 1 miliar lebih yang digunakan Yonda. Rp 1 miliar lebih tersebut digunakan terdakwa saat dijadikan tersangka/terdakwa kasus pidana pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai pada 2017. Antara lain untuk digunakan membayar pengacara atau fee lawyer. *rez
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dewa Anom Rai, Yonda langsung dijerat tiga pasal yaitu Pasal 368 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, Pasal 374 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua) dan Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan ketiga).
Dijelaskan, kasus ini berawal saat Yonda diangkat sebagai Bendesa Tanjung Benoa pada 17 Desember 2014. Berselang beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Desember 2014, terdakwa selaku bendesa mengeluarkan surat Nomor 01/PDP-TB/XII/2014 tentang Gali Potensi. “Pada intinya memberitahukan kepada 13 pengusaha bahari di wilayah Desa Adat Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan Rp 10.000 per aktivitas. Pungutan tersebut dibagi menjadi dua, Rp 5.000 untuk desa adat dan Rp 5.000 untuk pengusaha wisata bahari,” urai JPU Anom.
Namun pungutan tersebut mendapat penolakan dari 9 tempat usaha bahari di Tanjung Benoa. Meski ada penolakan, namun Yonda tetap melakukan pungutan tersebut. Surat pemberitahuan pungutan terhadap pengusaha bahari di Tanjung Benoa diteken terdakwa sebagai bendesa adat, dr I Made Sugianta selaku wakil bendesa adat, I Ketut Kartika selaku ketua gali potensi wisata bahari, dan I Made Kartika selaku Badan Perwakilan Desa Adat (BPDA) Tanjung Benoa. “Pendapatan yang diperoleh dari masa uji coba 20 Desember 2014 – Juni 2017 sebesar Rp 5,6 miliar. Ditambah pungutan Juli 2017 yang belum disetor ke kas desa Rp 164,9 juta,” jelasnya.
Dari uang pungutan inilah Yonda disebut menggunakannya untuk keperluan pribadi. Disebutkan ada uang sekitar Rp 1 miliar lebih yang digunakan Yonda. Rp 1 miliar lebih tersebut digunakan terdakwa saat dijadikan tersangka/terdakwa kasus pidana pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai pada 2017. Antara lain untuk digunakan membayar pengacara atau fee lawyer. *rez
1
Komentar