Kerajinan Gerabah Lokal Masih Bertahan
Serbuan perkakas atau peralatan dapur dan rumah tangga dari plastik dan logam, telah menjadikan perkakas berbahan tanah liat atau gerabah, sudah lama terpinggirkan.
MANGUPURA, NusaBali
Namun demikian, tidak habis sama sekali. Malah di Banjar Basang Tamiang, Desa Kapal, Badung, kerajinan membuat gerabah masih digeluti banyak warganya. Dari sekitar 250 KK warga banjar setempat, diperkirakan 70-an KK masih bergelut dengan ‘bisnis ‘ gerabah. Salah seorang di antaranya I Ketut Subrata. “Nggih, tiyang dari orangtua memang perajin gerabah,” ujar Subrata ditemani Ni Made Karti-istrinya.
Dikatakan pria berusia 60 tahun itu, kerajinan gerabah merupakan salah satu sumber penghidupan keluarganya. Demikian juga dengan puluhan warga lainnya yang masih menggeluti kerajinan gerabah. “Kendati harus berlepot lumpur,” ungkap lelaki dengan empat orang anak ini.
Menurut Subrata, kegiatan ritual keagamaan (Hindu), salah satu yang menyebabkan kerajinan gerabah di Basang Tamiang bertahan. Untuk diketahui, ada banyak jenis banten (sesaji) dari upacara seperti ngaben, ngasti, melukat, macaru dan lainya memerlukan peralatan dari gerabah. Peralatan itu di antaranya senden, pasepan, periuk, coblong, caratan (teko), paso, gentong , pane dan lainnya. “Perabotan plastik, tidak menggantikan peralatan dari gerabah,” ungkapnya. Karena itulah kerajinan gerabah di Basang Tamiang, masih bertahan.
Hanya keramaian pesanan pasang surut, menyesuaikan dengan musim upacara. Jika sedang musim upacara, permintaan atau pesanan lebih ramai dari hari biasa. Sebaliknya pesanan/pembelian menurun, pada hari-hari non hari upacara.
Kisah senada disampaikan I Ketut Arta dan Ni Wayan Narsini, pasutri penjual gerabah dari Banjar Tegaljaya, Desa Batubulan Sukawati. “Selain untuk kepentingan upacara, gerabah seperti keren(tungku) masih digunakan warga. Untuk mengirit pembelian gas (LPG),” ujar Narsini. Dia juga mengatakan, kebutuhan untuk keperluan upacara keagamaan itulah, bisnis gerabah lokal masih bertahan. “Namun jumlahnya kian menyusut,” tambah Arta.
Bukan saja karena ‘desakan’ perabotan plasik dan logam, tetapi juga kalangan anak muda emoh menggeluti kerajinan. “Ini sudah sejak lama, sejak tahun 80-an perajin gerabah terus menyusut,” tambah Arta. Kini hanya ada beberapa perajin gerabah yang masih bertahan.
Sekadar diketahui membuat sebuah gerabah, misalnya senden, setidaknya butuh waktu dua pekan. Mulai dari mengolah tanah liat, membuat, mengeringkan sampai pembakaran. Harga sebuah barang tergantung jenis, besar dan kerumitan pembuatannya. Sebuah teko, harganya tidak lebih dari Rp 5000. “ Tidak mahal, namun alami,” kata Subrata. *k17
Dikatakan pria berusia 60 tahun itu, kerajinan gerabah merupakan salah satu sumber penghidupan keluarganya. Demikian juga dengan puluhan warga lainnya yang masih menggeluti kerajinan gerabah. “Kendati harus berlepot lumpur,” ungkap lelaki dengan empat orang anak ini.
Menurut Subrata, kegiatan ritual keagamaan (Hindu), salah satu yang menyebabkan kerajinan gerabah di Basang Tamiang bertahan. Untuk diketahui, ada banyak jenis banten (sesaji) dari upacara seperti ngaben, ngasti, melukat, macaru dan lainya memerlukan peralatan dari gerabah. Peralatan itu di antaranya senden, pasepan, periuk, coblong, caratan (teko), paso, gentong , pane dan lainnya. “Perabotan plastik, tidak menggantikan peralatan dari gerabah,” ungkapnya. Karena itulah kerajinan gerabah di Basang Tamiang, masih bertahan.
Hanya keramaian pesanan pasang surut, menyesuaikan dengan musim upacara. Jika sedang musim upacara, permintaan atau pesanan lebih ramai dari hari biasa. Sebaliknya pesanan/pembelian menurun, pada hari-hari non hari upacara.
Kisah senada disampaikan I Ketut Arta dan Ni Wayan Narsini, pasutri penjual gerabah dari Banjar Tegaljaya, Desa Batubulan Sukawati. “Selain untuk kepentingan upacara, gerabah seperti keren(tungku) masih digunakan warga. Untuk mengirit pembelian gas (LPG),” ujar Narsini. Dia juga mengatakan, kebutuhan untuk keperluan upacara keagamaan itulah, bisnis gerabah lokal masih bertahan. “Namun jumlahnya kian menyusut,” tambah Arta.
Bukan saja karena ‘desakan’ perabotan plasik dan logam, tetapi juga kalangan anak muda emoh menggeluti kerajinan. “Ini sudah sejak lama, sejak tahun 80-an perajin gerabah terus menyusut,” tambah Arta. Kini hanya ada beberapa perajin gerabah yang masih bertahan.
Sekadar diketahui membuat sebuah gerabah, misalnya senden, setidaknya butuh waktu dua pekan. Mulai dari mengolah tanah liat, membuat, mengeringkan sampai pembakaran. Harga sebuah barang tergantung jenis, besar dan kerumitan pembuatannya. Sebuah teko, harganya tidak lebih dari Rp 5000. “ Tidak mahal, namun alami,” kata Subrata. *k17
Komentar