Perda Desa Adat Dikoreksi Pusat
Pada pasal 66 Perda Desa Adat yang menyebutkan desa adat ‘wajib’ mendapatkan bantuan dari APBN/APBD direvisi menjadi ‘dapat’.
DENPASAR, NusaBali
Perda Desa Adat yang baru saja ketok palu dan dikonsultasikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendapat koreksi dari pemerintah pusat (Mendagri). Pemerintah pusat meminta pasal 66 Perda Desa Adat yang menyebutkan desa adat ‘wajib’ mendapatkan bantuan dari APBN/APBD direvisi menjadi ‘dapat’. Selain itu pemerintah pusat juga mempertanyakan keberadaan Majelis Adat di kabupaten dan kecamatan yang dikhawatirkan tumpang tindih dengan pemerintah daerah (kedinasan).
Hal itu terungkap dalam rapat Biro Hukum dan Pansus Desa Adat DPRD Bali di Gedung DPRD Bali di Niti Mandala, Denpasar, Sabtu (27/4) siang. Rapat dipimpin Ketua Pansus Nyoman Parta, dihadiri Kepala Biro Hukum dan HAM Pemprov Bali Ida Bagus Sudarsana. Pansus dan Biro Hukum merapatkan barisan untuk melakukan klarifikasi ke pusat. Karena Perda Desa Adat dikoreksi pusat, Pansus Desa Adat dan Biro Hukum Pemprov Bali akan terbang lagi ke Kementerian Dalam Negeri. Pansus akan menjelaskan seluruh Perda Desa Adat yang dikoreksi pusat.Ketua Pansus Ranperda Desa Adat Nyoman Parta usai rapat harmonisasi Perda Desa Adat, mengatakan ada beberapa hal materi yang perlu dikonfirmasi kepada Pansus DPRD Bali oleh pusat. “Namun tidak ada yang terlalu serius dan substansial. Menyangkut majelis, hak desa adat berskala lokal dalam mengelola perkebunan, peternakan, pertanian, kelistrikan itu tidak substansial sebenarnya. Nanti akan kami jelaskan,” kata politisi PDI Perjuangan asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, ini.
Kata Parta untuk masalah pertanian, desa adat sudah mengelola sejumlah lahan pertanian sejak lama. “Jadi bukan hal baru itu. Peternakan, desa adat juga sudah lama mengelola. Di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Bangli ada desa adat sampai mengelola 800 sapi. Namun mungkin pusat melihat ada peluang tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan itu. Tetapi itu akan kami jelaskan nanti di Kemendagri,” imbuh Parta.
Kemudian masalah desa adat wajib mendapatkan dana APBD dan APBD, menurut Parta, bisa dilakukan revisi. Dalam Pasal 66 memang disebutkan desa adat ‘wajib’ mendapatkan dana APBD/APBN. “Nanti kata ‘wajib’ akan kami ganti menjadi ‘dapat’. Kami akan ganti supaya desa adat bisa mendapatkan dana APBN. Kemudian majelis adat yang dipersoalkan pusat itu ada salah tafsir. Dikira pemerintah daerah yang membuat majelis adat. Kami juga akan luruskan itu,” tegas Ketua Komisi IV DPRD Bali yang lolos ke DPR RI di Pileg 2019 ini.
Sementara Karo Hukum Sudarsana mengatakan beberapa pasal yang dikoreksi pusat akan dilakukan perbaikan. Terutama pasal 66 tentang bantuan APBN/APBD untuk desa adat. “Ya kita ganti dengan istilah lain. Karena kalau wajib, kan memang tidak boleh daerah mewajibkan pusat. Ya nanti diubah jadi dapat. Sehingga bantuan APBN dan APBD baik di pusat, provinsi dan kabupaten bisa diberikan kepada desa adat. Kata-kata ‘dapat’ itu sudah berarti bisa,” ujar mantan Irban IV Inspektorat Pemprov Bali ini.
Kemudian masalah keberadaan Majelis Adat di kabupaten/kota serta di tingkat kecamatan, ada salah pengertian dari pusat. “Dikira Majelis Adat di kabupaten/kota itu bagian dari kedinasan. Padahal itu lembaga adat. Pusat kan tidak mengerti tentang tatanan desa adat. Jadi pansus nanti akan menjelaskan di Kementerian Dalam Negeri,” beber Sudarsana.
Sebelumnya diberitakan, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat sudah resmi diketok palu menjadi perda dalam sidang paripurna DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Selasa (2/4). Dengan pengesahan ini, maka desa adat di Bali resmi memiliki payung hukum. Dalam perda ini diatur bahwa desa adat sah dapat sumber pendapatan dari APBN, APBD, dan hibah daerah.
Di era Gubernur Made Mangku Pastika (2008–2018), pemberian dana hibah yang diberikan oleh Pemprov Bali kepada 1.488 desa adat se-Bali pernah dipertanyakan oleh pemerintah pusat. Beruntung, saat itu Gubernur Pastika dan DPRD Bali bisa memberikan argumentasi kuat, sehingga persoalan tersebut akhirnya meredup.
Kini, dengan adanya Perda Desa Adat di era Gubernur Wayan Koster (2018–2023), kekhawatiran terkait sumber pendapatan desa adat praktis tidak ada lagi. Sebab, salah satu pasal dalam Perda Desa Adat, yakni Pasal 66, menyebutkan sumber pendapatan desa adat adalah dari APBN-APBD dan hibah daerah.
Ketua Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, dalam pidatonya di sidang paripurna hari itu menyampaikan desa adat memiliki posisi istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Menurut Parta, hal ini tertuang dalam Pasal 18 b (ayat 2) yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan perkembangannya sesuai dengan prinsip NKRI’.
”Perda Desa Adat ini seiring dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Meskipun ada juga yang tidak termasuk dalam pengaturan oleh UU Nomor 6 Tahun 2014, namun segala ketentuan tentang desa adat diatur dalam Perda Desa Adat,” ucap Parta.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, keberadaan desa adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad, serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri.
Menurut Koster, peranan desa adat di Bali dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sangat strategis. Karenanya, desa adat perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka memberikan perlindungan, pembinaan, dan pemberdayaannya guna mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sekala-niskala.
“Jangan sampai desa adat ditinggalkan oleh generasi muda kita. Keberadaan desa adat sangat penting, karena ada fungsi yang tidak mungkin dilakukan oleh desa lainnya. Ke depan, Perda Desa Adat ini harus dilaksanakan secara konsisten, sehingga desa adat mampu menjaga kesucian alam Bali, mensejahterakan krama Bali, dan menjaga kebudayaan Bali sesuai dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’,” tandas Koster. *nat
Hal itu terungkap dalam rapat Biro Hukum dan Pansus Desa Adat DPRD Bali di Gedung DPRD Bali di Niti Mandala, Denpasar, Sabtu (27/4) siang. Rapat dipimpin Ketua Pansus Nyoman Parta, dihadiri Kepala Biro Hukum dan HAM Pemprov Bali Ida Bagus Sudarsana. Pansus dan Biro Hukum merapatkan barisan untuk melakukan klarifikasi ke pusat. Karena Perda Desa Adat dikoreksi pusat, Pansus Desa Adat dan Biro Hukum Pemprov Bali akan terbang lagi ke Kementerian Dalam Negeri. Pansus akan menjelaskan seluruh Perda Desa Adat yang dikoreksi pusat.Ketua Pansus Ranperda Desa Adat Nyoman Parta usai rapat harmonisasi Perda Desa Adat, mengatakan ada beberapa hal materi yang perlu dikonfirmasi kepada Pansus DPRD Bali oleh pusat. “Namun tidak ada yang terlalu serius dan substansial. Menyangkut majelis, hak desa adat berskala lokal dalam mengelola perkebunan, peternakan, pertanian, kelistrikan itu tidak substansial sebenarnya. Nanti akan kami jelaskan,” kata politisi PDI Perjuangan asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, ini.
Kata Parta untuk masalah pertanian, desa adat sudah mengelola sejumlah lahan pertanian sejak lama. “Jadi bukan hal baru itu. Peternakan, desa adat juga sudah lama mengelola. Di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Bangli ada desa adat sampai mengelola 800 sapi. Namun mungkin pusat melihat ada peluang tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan itu. Tetapi itu akan kami jelaskan nanti di Kemendagri,” imbuh Parta.
Kemudian masalah desa adat wajib mendapatkan dana APBD dan APBD, menurut Parta, bisa dilakukan revisi. Dalam Pasal 66 memang disebutkan desa adat ‘wajib’ mendapatkan dana APBD/APBN. “Nanti kata ‘wajib’ akan kami ganti menjadi ‘dapat’. Kami akan ganti supaya desa adat bisa mendapatkan dana APBN. Kemudian majelis adat yang dipersoalkan pusat itu ada salah tafsir. Dikira pemerintah daerah yang membuat majelis adat. Kami juga akan luruskan itu,” tegas Ketua Komisi IV DPRD Bali yang lolos ke DPR RI di Pileg 2019 ini.
Sementara Karo Hukum Sudarsana mengatakan beberapa pasal yang dikoreksi pusat akan dilakukan perbaikan. Terutama pasal 66 tentang bantuan APBN/APBD untuk desa adat. “Ya kita ganti dengan istilah lain. Karena kalau wajib, kan memang tidak boleh daerah mewajibkan pusat. Ya nanti diubah jadi dapat. Sehingga bantuan APBN dan APBD baik di pusat, provinsi dan kabupaten bisa diberikan kepada desa adat. Kata-kata ‘dapat’ itu sudah berarti bisa,” ujar mantan Irban IV Inspektorat Pemprov Bali ini.
Kemudian masalah keberadaan Majelis Adat di kabupaten/kota serta di tingkat kecamatan, ada salah pengertian dari pusat. “Dikira Majelis Adat di kabupaten/kota itu bagian dari kedinasan. Padahal itu lembaga adat. Pusat kan tidak mengerti tentang tatanan desa adat. Jadi pansus nanti akan menjelaskan di Kementerian Dalam Negeri,” beber Sudarsana.
Sebelumnya diberitakan, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat sudah resmi diketok palu menjadi perda dalam sidang paripurna DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Selasa (2/4). Dengan pengesahan ini, maka desa adat di Bali resmi memiliki payung hukum. Dalam perda ini diatur bahwa desa adat sah dapat sumber pendapatan dari APBN, APBD, dan hibah daerah.
Di era Gubernur Made Mangku Pastika (2008–2018), pemberian dana hibah yang diberikan oleh Pemprov Bali kepada 1.488 desa adat se-Bali pernah dipertanyakan oleh pemerintah pusat. Beruntung, saat itu Gubernur Pastika dan DPRD Bali bisa memberikan argumentasi kuat, sehingga persoalan tersebut akhirnya meredup.
Kini, dengan adanya Perda Desa Adat di era Gubernur Wayan Koster (2018–2023), kekhawatiran terkait sumber pendapatan desa adat praktis tidak ada lagi. Sebab, salah satu pasal dalam Perda Desa Adat, yakni Pasal 66, menyebutkan sumber pendapatan desa adat adalah dari APBN-APBD dan hibah daerah.
Ketua Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, dalam pidatonya di sidang paripurna hari itu menyampaikan desa adat memiliki posisi istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Menurut Parta, hal ini tertuang dalam Pasal 18 b (ayat 2) yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan perkembangannya sesuai dengan prinsip NKRI’.
”Perda Desa Adat ini seiring dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Meskipun ada juga yang tidak termasuk dalam pengaturan oleh UU Nomor 6 Tahun 2014, namun segala ketentuan tentang desa adat diatur dalam Perda Desa Adat,” ucap Parta.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, keberadaan desa adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad, serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri.
Menurut Koster, peranan desa adat di Bali dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sangat strategis. Karenanya, desa adat perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka memberikan perlindungan, pembinaan, dan pemberdayaannya guna mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sekala-niskala.
“Jangan sampai desa adat ditinggalkan oleh generasi muda kita. Keberadaan desa adat sangat penting, karena ada fungsi yang tidak mungkin dilakukan oleh desa lainnya. Ke depan, Perda Desa Adat ini harus dilaksanakan secara konsisten, sehingga desa adat mampu menjaga kesucian alam Bali, mensejahterakan krama Bali, dan menjaga kebudayaan Bali sesuai dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’,” tandas Koster. *nat
1
Komentar