Dinamis Berkat Status Kota Pelajar
Pemerintah sudah menyiapkan fasilitas panggung-panggung di taman-taman kota, itu yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi muda untuk menunjukkan kebolehan.
Menyimak Kota Singaraja Dulu dan Kini
SINGARAJA, NusaBali
Kabupaten Buleleng, salah satu dari sembilan kabupaten/kota di Bali. Kabupaten terluas di Bali ini, 1.364,73 km², beribukota di Kota Singaraja, terletak di antara bentangan Buleleng timur dan Buleleng barat.
Meski berada di kabupaten dengan wilayah terluas, dinamika kehidupan Kota Singaraja amat fluktuatif. Kota ini menyandang beberapa predikat, antara lain Kota Pendidikan, Pusat Ekonomi Bali Utara, Pusat Peradaban Denbukit, dan lainnya. Kota ini pun sesungguhnya
Amat diperhitungkan dalam pergulatan kebudayaan di Bali. Memang, Kota Singaraja jauh dari akses Bandara I Gusti Ngurah Rai, atau pusat ibu Kota Provinsi di Denpasar. Namun kota ini masih berkembang dinamis. Hal tersebut tak lepas dari keberadaan sejumlah Perguruan Tinggi Negeri dan swasta yang menjadi magnet masyarakat luar baik tinggal menetap atau ‘musiman’di Gumi Panji Sakti ini.
‘’Singaraja pun semakin bergeliat dengan kedatangan-kedatangan mahasiswa dari luar Buleleng yang kuliah di kabupaten yang syarat dengan nilai sejarahnya ini,’’ papar Rektor Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja, Dr Gede Made Metera MSi, saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (13/4).
Perkembangan Kota Singaraja sejak empat dekade terakhir, papar Dr Metera, sangat dinamis. Ia mengaku sudah menyaksikan perkembangan Kota Singaraja sejak tahun 1980an. Itu berkat merantau ke Singaraja karena melanjutkan pendidikan di Fakultas Keguruan (FKG) yang kala itu bagian dari kelas jauh Universitas Udayana. (Unud). Keberadaan dua fakultas tersebut di Buleleng yakni FKG dan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), kini berubah menjadi Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha) Singaraja, membawa peran penting dalam menjaga dinamika sosial budaya Kota Singaraja.
Bahkan karena saking ramainya mahasiswa saat itu, pada era itu pengusaha menyambut peluang dengan membangun gedung bioskop. Sedikitnya saat itu ada tiga gedung bioskop permanen yang terkenal di Buleleng. Yakni, Bioskop Mudaria di Jalan Ngurah Rai, Bioskop Wijaya Teater di simpang Jalan Ayani atau kawasan Tman Nila, dan Singaraja Teater di depan Terminal Kampung Tinggi, atau timur kawasan eks Pelabuhan Buleleng. “Saat itu saya masih mahasiswa, datang ke Singaraja masih ingat menonton film di bioskop-bioskop itu yang menjadi titik keramaian kota,” kenangnya.
Dr Metera yang warga asli Kerambitan, Tabanan ini juga menuturkan film yang diputar di bioskop kala itu sangat laku dan amat digandrungi semua lapisan masyarakat. Meskipun film-film yang diputar pada saat itu tidak film baru, namun tetap memberikan hiburan kepada masyarakat Buleleng. Kondisi ini tiada lain karena saat itu masyarakat sedang krisis hiburan. “Kota Singaraja jadi sangat ramai. Karena masyarakat Buleleng maupun mahasiswa yang belajar di Buleleng sangat haus hiburan saat itu. Bahkan kalau mahasiswa yang mengadakan pagelaran seni di kampus ditonton juga oleh masyarakat,” kata dia.
Namun keramaian Kota Singaraja mulai meredup dalam medio tahun 1990 - 1995an. Kondisi ini, antara lain dipengaruhi dengan kerkurangnya mahasiswa belajar ke Singaraja. Karena peluang kerja lulusan keguruan saat itu melalui pengangkatan menjadi PNS sangat minim. Belum lagi isu pemindahan dua fakultas milik Unud ke Bali Selatan, meskipun akhirnya batal.
Saat itu, menurut Metera, Kota Singaraja mengalami kelesuan dan geliat kotanya meredup. Hal tersebut semakin dirongrong dengan perkembangan teknologi hiburan, terutama televisi yang masuk ke rumah-rumah. “Selain saat itu mulai ada televisi yang masuk ke rumah-rumah warga, di sinilah bioskop-bioskop itu bangkrut karena gempurna teknologi dan berkurangnya mahasiswa datang ke Buleleng,’’ paparnya.
Namun di tengah melesunya kehidupan kota, tokoh-tokoh pendidikan di Buleleng kembali berjuang. Salah satunya mendirikan Unipas di tahun 1985. Selain itu, fakultas milik Unud yang kemudian melepaskan diri menjadi STKIP Singaraja. Namun perjuangan itu tak langsung jadi dan mengembalikan kondisi Kota Singaraja seperti sedia kala. Pada awal perintisan Kota Pendidikan ini tak banyak mahasiswa yang datang. Hingga akhirnya STKIP Singaraja berkembang menjadi IKIP kemudian menjadi Undiksha yang membuka lebih banyak jurusan dan disiplin ilmu di luar keguruan. “Namun menjelang tahun 200-an, Kota Singaraja agak kembali bergeliat. Karena mahasiswa banyak lagi yang datang ke Buleleng,” imbuh Metera.
Dari hasil pangamatan Dr Metera, Kota Singaraja kini memang tanpa gedung bioskop dan gedung teater yang selama ini menjadi ukuran perkembangan sebuah kota. Namun Singaraja bisa terbilang lebih semarak.
Titik-ttik keramaian yang dulu terfokus di gedung bioskop, kini tersebar hampir di seluruh sudut kota. Perkembangan jumlah mahasiswa yang datang ke Buleleng dan sejauh ini terpantau di angka 15.000-an. Mereka juga semakin mendapat wadah untuk menikmati hiburan. Pemkab Buleleng pun, disebut Dr Metera, sangat sensitif dan proaktif menfasilitasi masyarakat berupa tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Tempat-tempat ini juga dinikmati orang yang datang ke Buleleng dan juga warga lokal Buleleng.
Seperti keberadaan taman-taman kota yang saat ini ada di lima titik yang dapat menjadi alternatif hiburan. Selain itu, perkembangan wisata kuliner dengan gaya modern yang mengurai keramaian di dalam Kota Singaraja. Ia mengakui saat ini kembali muncul komunitas-komunitas baik bergerak di bidang seni, sastra, dan lingkungan. Mereka aktif menggelar kegiatan di Buleleng. Perubahan ini, disebut Metera, membuat Singaraja semakin bersinar. Selain itu, pihak swasta yang belakangan menjamur menanamkan modalnya di Kota Pendidikan dengan berbagai peluang usaha. Meski saat ini belum ada yang berani membuka gedung bioskop kembali.
Guna membuat keramaian dan Kota Singaraja makin ‘hidup’, kegiatan komunitas masyarakat dangan mahasiswa yang berpencar perlu dipusatkan. Seperti di era delapan puluhan, sebuah acara pagelaran seni sederhana menjadi luar biasa. Karena di dalamnya ada mahasiswa melibatkan diri dan masyarakat sebagai penggerak dan pelaku seni.
“Sekarang pemerintah sudah menyiapkan fasilitas panggung-panggung di taman-taman kota, itu yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi muda untuk menunjukkan kebolehan. Sedangkan yang bekerja memerlukan hiburan dan rekreasi, jadi ini bisa dimanfaatkan untuk menunjukkan jati diri,” ungkap dia.
Ia mengusulkan, pengembangan Kota Singaraja melalui pemerintah kabupatennya perlu menyusun kalender event rutin hingga ke pelosok desa. Sehingga wisatawan yang datang ke Buleleng bisa lebih lama tinggal dan berlibur dengan tawaran pertunjukan yang variatif.*lik
1
Komentar