Ditandai Atraksi Kolosal Tari Telek 2.019 Penari
Festival Semarapura IV 2019 di Catus Pata Dibuka Wagub Cok Ace
SEMARAPURA, NusaBali
Pemkab Klungkung pentaskan atraksi kolosal Tari Telek 2.019 Penari di Catus Pata (Perempatan Agung) Kota Semarapura, Minggu (28/4) petang. Atraksi kolosal Tari Telek yang merupakan kesenian sakral khas Desa Jumpai, Kecamatan Klungkung ini sekaligus menandai dibukanya Festival Semarapura IV 2019.
Pembukaan Festival Semarapura IV yang dimeriahkan pentas kolosal Tari Telek 2.019 Penari di Catus Pata Kota Semarapura, Minggu petang pukul 18.00 Wita, dibuka Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, didampingi Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. Acara pembukaan ditandai dengan pemukulan gong oleh Wagub Cok Ace tepat saat sandikala.
Kemudian para, para penari berjumlah 2.019 orang yang sudah mengambil posisi masing-masing, langsung pentas selama 28 menit. Ribuan penari Telek yang semuanya perempuan tersebut membentuk tapak dara di Catus Pata Semarapura, dengan warna hitam pada arah utara, warna putih di arah timur, warna merah di arah selatan, dan warna kuning di arah barat.
Karenanya, para penari Telek dibagi dalam empat kelompok dengan warna busana berbeda. Untuk penari pokok (10 persen) diambil dari krama Desa Jumpai. Sedangkan sisanya (90 persen) diambil dari sekolah-sekolah SMP dan SMA/SMK se-Kabupaten Klungkung. Mereka latihan secara terpisah di Desa Jumpai dan sekolah masing-masing sejak sebulan lalu. Kemudian, latihan bersama baru dilakukan saat gladi bersih, Sabtu (27/4) lalu.
“Dalam pentas kolosal Tari Telek 2.019 Penari ini, kita mengusung konsep Ta-pak Dara Arung Betel, yang bermakna menembus batas ruang empat penjuru angin, saling bertemu dalam anung swari purwa daksina nyujur nirbana, maka nyasa jagra swastika ginambelan manusa Telek Jumpai asolah nyapuh Jagat Klungkung,” ujar Koordinator Lapangan Pentas Kolosal Tari Telek 2.019 Penari, I Dewa Gede Alit Suputra, seusai pementasan tadi malam.
Menurut Dewa Alit Suputra, mengingat keterbatan waktu, maka tidak memungkinkan untuk membuat dan menyewa pakaian khusus bagi semua penari yang berjumlah 2.019 orang. Makanya, hanya penari pokok asal Desa Jumpai saja yang menggunakan pakaian Tari Telek.
“Tari Telek Desa Jumpai ini merupakan tarian sakral. Untuk pentas di Catus Pata Kota Semarapura ini, kita menggunakan pakaian yang bersifat propan, termasuk Barong dan Penamprat,” tandas tokoh yang juga Ketua Lisbibiya Kabupaten Klungkung ini.
Secara historis, keberadaan Tari Telek di Desa Jumpai ini berawal dari seorang kakek bernama Nang Turun, yang secara tak sengaja menemukan seeonggok bongkahan kayu terdampar di pinggir pantai. Anehnya, bongkahan kayu itu sudah berbentuk dan berpola menyerupai wajah Rangda.
“Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba muncul bayangan berwujud Rangda seraya bersabda ‘Tempe kai tempe kai (Tirulah aku, tirulah aku, Red)’ di hadapan Nang Turun,” ungkap Dewa Alit Suputra.
Nang Turun pun mengikuti perintah sabda tersebut dengan meraut dan memahat kayu itu menggunakan pisau temutik. Belum selesai dengan sempurna, tiba-tiba bayangan Rangda menghilang, sehingga hasil pahatan Rangda tersebut tidak memiliki telinga. Nah, sisa bongkahan kayu itu kemudian dilanjutkan polanya dengan membuat aneka wajah tapel barupa Barong, Jauk, dan Telek.
Singkat cerita, aneka wajah itu kemudian dipentaskan menjadi Tari Telek. Ketika baru pertama kali mesolah (pentas), kata Dewa Alit, terjadi gerubug (wabah penyakit mematikan) yang melanda Desa Jumpai. Karena banyak warga jatuh sakit dan meninggal dunia, penduduk setempat kemudian memutuskan menungsi.
“Akibat peristiwa gerubug saat itu, dari 800 penduduk, hanya 300 orang yang bertahan. Karenanya, 5 banjar di Desa Jumpai berkurang menjadi 2 banjar saja, yaitu Banjar Jumpai Kawan dan Banjar Jumpai Kanginan,” papar Dewa Alit.
Kemudian, semua tepel yang dibuat Nang Turun dari bongkahan kayu itu dilarung (dibuang) ke laut. Namun ajaib, tapel-tapel tersebut kembali muncul, dibawa oleh makhluk gamang (wong samar) dan dijejerkan di tepi pantai. Krama Desa Jumpai sadar bahwa tapel itu memang untuk mereka.
Makanya, tapel-tapel tersebut kemudian disungsung. Sampai sekarang, tapel-tapel tersebut dilakukan aci pada rahina tertentu dan masolah setiap Kajeng Kliwon. Menurut Dewa Alit, tapel tersebut secara begilir kasolahang (dipentaskan) oleh krama Banjar Jumpai Kawan dan Banjar Jumpai Kanginan, dalam bentuk Tari Telek. “Sejak dipentaskannya Tari Pelek, grubug menghilang. Tapel-tapel tersebut dipercaya mampu jadi penyengker ketenteraman desa,” katanya.
Semenatara, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengatakan, dipentaskannya atraksi kolosal Tari Telek 2.019 Penari ini terinspirasi saat dirinya sembahyang di Desa Jumpai, beberapa waktu lalu. “Saya berpikir biar tidak monoton, maka pembukaan Festival Semarapura IV dimeriahkan dengan Tari Telek khas Desa Jumpai,” jelas Bupati Suwirta.
Menurut Suwirta, tari kolosal dengan konsep Catus Pata merupakan yang pertama dilakukan di Klungkung. Pada Festival Semarapura I 2016, misalnya, dilakukan persembahan atraksi kolosal Tari Pendet. “Mudah-mudahan dangan Tari Telek ini, kita semua bisa merenung bahwa kita mempunyai potensi budaya luar biasa yang nantinya sebagai daya dukung pariwisata di Kabupaten Kklungkung dan provinsi Bali,” tandas Bupati Klungkung pertama asal kawasan seberang Kecamatan Nusa Penida ini.
Suwirta menegaskan, Klungkung dengan segala potensinya, baik alam maupun budaya, merupakan salah satu sumber pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan potensi itu, bisa mendatangkan wisatawan dan meningkatkan UMKM. “Wisatawan tidak akan datang dengan sendirinya, UMKM tidak akan meningkat dengan sendirinya, tapi salah satu kuncinya adalah promosi,” katanya.
Sementara itu, Wagub Cok Ace dalam sambutannya mengatakan Klungkung yang telah berkembang menjadi daerah heterogen, memiliki potensi adat, seni, dan budaya sangat kaya. Semua ini wajib digali, dilestarikan, dan dikenalkan kepada masyarakat.
“Saya berharap dengan kegiatan ini (Festival Semarapura yang dibuka dengan atraksi kolosal Tari Telek 2.019 Penari, Red) akan dapat menampilkan seni dan kreativitas para seniman, budayawan, serta para perajin, sehingga semakin mengukuhkan Klungkung sebagai daerah yang memiliki seni dan kebudayaan yang adi luhung,” jelas tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Gianyar yang juga menjabat Ketua BPD PHRI Bali ini.
Festival Semarapura IV 2019 akan digelar selama 5 hari, 28 April hingga 2 Mei 2019. Kegiatan tahunan yang digelar untuk keempat kalinya ini menghabiskan anggaran Rp 1,5 miliar, yang bersumber dari APBD Klungkung. Untuk menghibur ribuan pengunjung, pada hari pertama kemarin juga ditampilkan permainan rakyat, pentas artis Pop Bali. Selain itu, juga dilakukan babak final pemilihan Jegeg Bagus Klungkung 2019.
Pada hari pertama Festival Semarapura IV kemarin, juga digelar pameran UMKM di sisi barat Catus Pata Kota Semarapura dan stand kuliner di sisi timur Catus Pata. Pameran UMKM menampilkan 52 stand yang terdiri dari UKM, bank, dan jobfair. Sedangkan stand kuliner berjumlah 51 stand, yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman. *wan
Pembukaan Festival Semarapura IV yang dimeriahkan pentas kolosal Tari Telek 2.019 Penari di Catus Pata Kota Semarapura, Minggu petang pukul 18.00 Wita, dibuka Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, didampingi Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. Acara pembukaan ditandai dengan pemukulan gong oleh Wagub Cok Ace tepat saat sandikala.
Kemudian para, para penari berjumlah 2.019 orang yang sudah mengambil posisi masing-masing, langsung pentas selama 28 menit. Ribuan penari Telek yang semuanya perempuan tersebut membentuk tapak dara di Catus Pata Semarapura, dengan warna hitam pada arah utara, warna putih di arah timur, warna merah di arah selatan, dan warna kuning di arah barat.
Karenanya, para penari Telek dibagi dalam empat kelompok dengan warna busana berbeda. Untuk penari pokok (10 persen) diambil dari krama Desa Jumpai. Sedangkan sisanya (90 persen) diambil dari sekolah-sekolah SMP dan SMA/SMK se-Kabupaten Klungkung. Mereka latihan secara terpisah di Desa Jumpai dan sekolah masing-masing sejak sebulan lalu. Kemudian, latihan bersama baru dilakukan saat gladi bersih, Sabtu (27/4) lalu.
“Dalam pentas kolosal Tari Telek 2.019 Penari ini, kita mengusung konsep Ta-pak Dara Arung Betel, yang bermakna menembus batas ruang empat penjuru angin, saling bertemu dalam anung swari purwa daksina nyujur nirbana, maka nyasa jagra swastika ginambelan manusa Telek Jumpai asolah nyapuh Jagat Klungkung,” ujar Koordinator Lapangan Pentas Kolosal Tari Telek 2.019 Penari, I Dewa Gede Alit Suputra, seusai pementasan tadi malam.
Menurut Dewa Alit Suputra, mengingat keterbatan waktu, maka tidak memungkinkan untuk membuat dan menyewa pakaian khusus bagi semua penari yang berjumlah 2.019 orang. Makanya, hanya penari pokok asal Desa Jumpai saja yang menggunakan pakaian Tari Telek.
“Tari Telek Desa Jumpai ini merupakan tarian sakral. Untuk pentas di Catus Pata Kota Semarapura ini, kita menggunakan pakaian yang bersifat propan, termasuk Barong dan Penamprat,” tandas tokoh yang juga Ketua Lisbibiya Kabupaten Klungkung ini.
Secara historis, keberadaan Tari Telek di Desa Jumpai ini berawal dari seorang kakek bernama Nang Turun, yang secara tak sengaja menemukan seeonggok bongkahan kayu terdampar di pinggir pantai. Anehnya, bongkahan kayu itu sudah berbentuk dan berpola menyerupai wajah Rangda.
“Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba muncul bayangan berwujud Rangda seraya bersabda ‘Tempe kai tempe kai (Tirulah aku, tirulah aku, Red)’ di hadapan Nang Turun,” ungkap Dewa Alit Suputra.
Nang Turun pun mengikuti perintah sabda tersebut dengan meraut dan memahat kayu itu menggunakan pisau temutik. Belum selesai dengan sempurna, tiba-tiba bayangan Rangda menghilang, sehingga hasil pahatan Rangda tersebut tidak memiliki telinga. Nah, sisa bongkahan kayu itu kemudian dilanjutkan polanya dengan membuat aneka wajah tapel barupa Barong, Jauk, dan Telek.
Singkat cerita, aneka wajah itu kemudian dipentaskan menjadi Tari Telek. Ketika baru pertama kali mesolah (pentas), kata Dewa Alit, terjadi gerubug (wabah penyakit mematikan) yang melanda Desa Jumpai. Karena banyak warga jatuh sakit dan meninggal dunia, penduduk setempat kemudian memutuskan menungsi.
“Akibat peristiwa gerubug saat itu, dari 800 penduduk, hanya 300 orang yang bertahan. Karenanya, 5 banjar di Desa Jumpai berkurang menjadi 2 banjar saja, yaitu Banjar Jumpai Kawan dan Banjar Jumpai Kanginan,” papar Dewa Alit.
Kemudian, semua tepel yang dibuat Nang Turun dari bongkahan kayu itu dilarung (dibuang) ke laut. Namun ajaib, tapel-tapel tersebut kembali muncul, dibawa oleh makhluk gamang (wong samar) dan dijejerkan di tepi pantai. Krama Desa Jumpai sadar bahwa tapel itu memang untuk mereka.
Makanya, tapel-tapel tersebut kemudian disungsung. Sampai sekarang, tapel-tapel tersebut dilakukan aci pada rahina tertentu dan masolah setiap Kajeng Kliwon. Menurut Dewa Alit, tapel tersebut secara begilir kasolahang (dipentaskan) oleh krama Banjar Jumpai Kawan dan Banjar Jumpai Kanginan, dalam bentuk Tari Telek. “Sejak dipentaskannya Tari Pelek, grubug menghilang. Tapel-tapel tersebut dipercaya mampu jadi penyengker ketenteraman desa,” katanya.
Semenatara, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengatakan, dipentaskannya atraksi kolosal Tari Telek 2.019 Penari ini terinspirasi saat dirinya sembahyang di Desa Jumpai, beberapa waktu lalu. “Saya berpikir biar tidak monoton, maka pembukaan Festival Semarapura IV dimeriahkan dengan Tari Telek khas Desa Jumpai,” jelas Bupati Suwirta.
Menurut Suwirta, tari kolosal dengan konsep Catus Pata merupakan yang pertama dilakukan di Klungkung. Pada Festival Semarapura I 2016, misalnya, dilakukan persembahan atraksi kolosal Tari Pendet. “Mudah-mudahan dangan Tari Telek ini, kita semua bisa merenung bahwa kita mempunyai potensi budaya luar biasa yang nantinya sebagai daya dukung pariwisata di Kabupaten Kklungkung dan provinsi Bali,” tandas Bupati Klungkung pertama asal kawasan seberang Kecamatan Nusa Penida ini.
Suwirta menegaskan, Klungkung dengan segala potensinya, baik alam maupun budaya, merupakan salah satu sumber pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan potensi itu, bisa mendatangkan wisatawan dan meningkatkan UMKM. “Wisatawan tidak akan datang dengan sendirinya, UMKM tidak akan meningkat dengan sendirinya, tapi salah satu kuncinya adalah promosi,” katanya.
Sementara itu, Wagub Cok Ace dalam sambutannya mengatakan Klungkung yang telah berkembang menjadi daerah heterogen, memiliki potensi adat, seni, dan budaya sangat kaya. Semua ini wajib digali, dilestarikan, dan dikenalkan kepada masyarakat.
“Saya berharap dengan kegiatan ini (Festival Semarapura yang dibuka dengan atraksi kolosal Tari Telek 2.019 Penari, Red) akan dapat menampilkan seni dan kreativitas para seniman, budayawan, serta para perajin, sehingga semakin mengukuhkan Klungkung sebagai daerah yang memiliki seni dan kebudayaan yang adi luhung,” jelas tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Gianyar yang juga menjabat Ketua BPD PHRI Bali ini.
Festival Semarapura IV 2019 akan digelar selama 5 hari, 28 April hingga 2 Mei 2019. Kegiatan tahunan yang digelar untuk keempat kalinya ini menghabiskan anggaran Rp 1,5 miliar, yang bersumber dari APBD Klungkung. Untuk menghibur ribuan pengunjung, pada hari pertama kemarin juga ditampilkan permainan rakyat, pentas artis Pop Bali. Selain itu, juga dilakukan babak final pemilihan Jegeg Bagus Klungkung 2019.
Pada hari pertama Festival Semarapura IV kemarin, juga digelar pameran UMKM di sisi barat Catus Pata Kota Semarapura dan stand kuliner di sisi timur Catus Pata. Pameran UMKM menampilkan 52 stand yang terdiri dari UKM, bank, dan jobfair. Sedangkan stand kuliner berjumlah 51 stand, yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman. *wan
Komentar