Tampilkan 2 Watangan Istri dan Bojog Macakcak
Pementasan drama tari penyalonarangan Paguyuban Kamasutra dalam Pujawali Pura Penataran Dalem Ped, Nusa Penida.
SEMARAPURA, NusaBali
Untuk kesekian kalinya, Paguyuban Kamasutra Bali ngayah penyalonarangan di Pura Penataran Dalem Ped. Pentas tersebut dilaksanakan dalam rangka Pujawali yang jatuh pada Buda Wage wuku Klawu dan berlangsung pada Sabtu (27/4) di Wantilan Pura Penataran Dalem Ped, Nusa penida. Dalam pementasan yang berjudul ‘Rarung Duta’ tersebut, Paguyuban Kamasutra menyuguhkan hal menarik, yaitu penampilan Bojog Mecakcak dan 2 Watangan Istri.
“Rarung Duta itu adalah rarung (rangda) yang dijadikan sebagai utusan. Itu diambil dari penggalan kisah Calonarang yang terjadi di tanah Jawa, tepatnya di Kerajaan Kediri di bawah kepemimpinan Raja Airlangga dan Kerajaan Dirah,” ungkap Gusti Ngurah Martapan, 54, selaku Ketua Paguyuban Kamasutra, saat ditemui Nusabali di Sekretariat Paguyuban Kamasutra.
Selain Rarung Duta, Paguyuban yang anggotanya mayoritas penggiat seni tari, tabuh, dan drama ini juga pernah mengangkat beberapa penggalan dalam cerita calonarang, yaitu Bahula Duta, Balian Batur, dan Dukuh Suladri, yang mana secara umum berkisah tentang rwa bhineda, pertarungan antara kebenaran dan ketidakbenaran. Pemeran pementasan terdiri dari Walu Nateng Dirah (Matah Gede), Ni Rarung yang diperankan oleh Liku, Desak Rai sebagai asisten atau penerjemah bahasa Kawi agar penonton paham maksud cerita, Patih Madri sebagai Mantri, Penasar dan Wijil sebagai penerjemah atau parekan Patih Madri, Patih Taskara Maguna sebagai patih Raja Airlangga yang ditugaskan untuk mengalahkan Calonarang, Watangan (bangke matah), dan Bojog Ireng.
“Walu Nateng Dirah merupakan janda yang memimpin di Kerajaan Dirah. Kalau Aji Calonarang adalah ilmu hitam yang beliau terapkan,” sambung Gusti Martapan.
Menurut mantan pengusaha travel tersebut, penggunaan watangan berhubungan dengan jalan cerita yang dipentaskan. Dalam konteks pementasan, ketika Matah Gede marah dan menyebarkan wabah penyakit di daerah Kediri, tentu dalam kondisi seperti itu banyak masyarakat yang meninggal. Masyarakat yang meninggal itulah yang disimbolisasikan dengan watangan. Paguyuban Kamasutra mengemas peristiwa tersebut menjadi sesuatu yang menarik dan memiliki nilai magis. Dijelaskan pula, bahwa tidak ada pakem terkait jumlah dan jenis kelamin watangan. Namun dalam hal ini, Paguyuban Kamasutra memakai 2 watangan istri.
Prosesi menidurkan watangan diawali dari Catus Pata, lalu kedua watangan digotong ke tempat pementasan calonarang yang dilanjutkan dengan prosesi layaknya upacara kematian yang sesungguhnya. Setelah upacara selesai, diadakan prosesi yang dinamakan ngundang untuk memberikan kesempatan bagi praktisi-praktisi ilmu pengiwa atau ilmu hitam untuk mendekat dan mempraktekkan kesaktiannya. Watangan dijadikan sebagai media pengundangan praktisi kejahatan dalam bidang ilmu hitam. Setelah selesai mengundang, watangan lalu dibawa ke setra setempat untuk dihidupkan kembali.
“Karena tidak semua ilmu pengiwan itu jahat, bahkan orang yang telah menemukan jati diri ilmu pangiwa tidak lagi mau menyakiti orang, melainkan mengobati orang. Nah, yang kita ingin beri kesempatan adalah mereka yang masih berbuat jahat, tapi kita tetap persiapkan diri untuk antisipasi,” tambahnya.
Selama melakukan pementasan hingga kini, Gusti Martapan mengatakan belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pementasan. Ada pun keunikan dari pentas calonarang Paguyuban Kamasutra adalah, selalu mempersembahkan watangan karena tidak semua pementasan calonarang berisi watangan. Selain itu, selalu terjadi adegan matebekan atau nadi dengan keris atau tombak. Pementasan kali ini semakin menarik dikarenakan ada tambahan Bojog Mecakcak, yaitu kera hitam yang diperankan manusia dan dihantam membabi buta dengan batang-batang tebu hingga tebu tersebut patah.
Sementara, ditemui di lokasi yang sama, Dewa Gede Agung Palguna, 57, selaku Panglingsir Paguyuban Kamasutra, mengatakan sebelum menggelar pementasan dirinya dan kru selalu melakukan ritual setiap rahinan Purnama dan Kajeng Kliwon. “Kalau menghandle pementasan kita selalu mohon sama Beliau untuk keselamatan semua kru. Kalau ritualnya selalu kita lakukan setiap Purnama dan Kajeng Kliwon di sekretariat ini,” ungkap pria asal Gang Kamasutra, Banjar Batan Asem, Sempidi, Badung, tersebut.
Paguyuban Spiritual Kamasutra Bali sendiri, berdiri sejak tahun 1990an yang didirikan oleh Dewa Gede Agung Palguna. Dewa Palguna bahkan mengajukan pensiun muda dari kepolisian untuk memantapkan diri di jalur spiritual. Dalam menekuni ilmu spiritual, paguyuban tersebut lebih terfokus dengan ilmu pengobatan tradisional. Barulah sekitar tahun 2008, paguyuban yang diampunya mulai melakukan pementasan-pementasan budaya seperti calonarang dan prembon. Hingga saat ini, anggota Paguyuban Kamasutra yang aktif berjumlah 200 orang yang tersebar di seluruh Bali. *cr41
1
Komentar