Semua Orang Bali Filsuf?
ORANG Bali bentrok sesama mereka tidak satu-dua kali terjadi. Kalau sejarah ditelusuri, pertengkaran itu tidak sebatas orang per orang, tapi sudah melebar menjadi perkelahian antarkelompok, atau seseorang dikeroyok.
Media pekabaran pernah ramai mengulas tentang konflik adat warga Desa Budaga dengan Desa Kemoning, di Klungkung, 17 September 2011.
Kendati polisi harus turun tangan, sibuk berjaga-jaga bersenjata lengkap, saat konflik itu, mereka tak gentar, dan merasa masih tetap perlu berkelahi. Seorang tewas dalam bentrok yang semestinya tak perlu terjadi, dan untuk apa pula harus terjadi.
Pasti semua orang Bali tak suka kalau kerabat mereka saling tinju. Jika kepada mereka dilontarkan pertanyaan sebab musabab perkelahian itu, bisa jadi jawaban mereka panjang lebar, lebih panjang dibanding tulisan yang diungkap koran dari hasil liputan wartawan. Ada yang berpendapat, orang Bali itu seperti ayam kampung, jika diberi makanan ramai-ramai, mereka tidak makan bersama-sama, tapi menggebug dulu ayam-ayam kampung lain, agar mereka bisa menyantap sendiri makanan itu.
Boleh jadi ada yang mengomentari dari sisi lain, tentang sikap orang Bali yang memang berani cuma pada kerabat, tetangga, sanak saudara, tapi takut sama orang luar, kaum pendatang. Mereka menyodorkan contoh-contoh betapa nyaman kaum pendatang hidup tenang di Bali. Mereka tak pernah terganggu, karena memang tidak diganggu. Sebaliknya, orang Bali senang sekali mempersoalkan keberadaan kerabat mereka. Orang Bali dinilai sering usil kepada kerabat sesama Bali.
Jika orang Bali sebab-sebab perkelahian itu, mungkin komentar yang muncul adalah, karena manusia Bali kini semakin individualis, tenggang rasa luntur. Mereka lebih mementingkan akal tinimbang rasa, lebih mengutamakan uang, benda, dibanding welas asih dan pengorbanan. Yadnya yang mereka artikan sebagai korban suci, cuma dimaknai sebagai pengorbanan untuk Hyang Widhi, dewa-dewi, leluhur, roh dan atman.
Ada pula orang Bali yang berkomentar pendek saja, “Ah, semua itu ciri dunia yang selalu diisi oleh rwa bhineda.” Pendapat ini mengacu pada pemahaman tentang bumi yang selalu dihadapkan pada persoalan dua yang berbeda: laki-perempuan, siang-malam, baik-buruk, kuat-lemah. Perkelahian itu dipicu oleh orang-orang berwatak buruk, dan orang-orang baik menghalangi perilaku itu, sehingga terjadilah pertengkaran.
Orang Bali yang mendasari pendapatnya pada filosofi rwa bhineda ini meyakini akan terus menerus terjadi perkelahian-perkelahian itu. Karena itu mereka berharap agar semua orang waspada. Mereka bahkan menganggap, dua yang berbeda senantiasa dibutuhkan agar kehidupan berlangsung, pertumbuhan terjadi, sehingga manusia berkembang.
Hampir semua orang Bali, tak peduli yang suntuk belajar tata-titi agama, atau orang biasa yang sibuk dengan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari, bisa melontarkan filosofi rwa bhineda ini. Banyak yang fasih menjelaskannya dengan gamblang disertai contoh-contoh. “Laki-perempuan itu kan rwa bhineda, seperti juga besar-kecil, jujur-curang,” ujar mereka. “Jika tak ada rwa bhineda, tak akan beranak pinak manusia.”
Jika filosofi rwa bhineda ditanya pada orang-orang Bali yang suka belajar geguritan atau kidung dalam sekaa pesantian, jawaban mereka bisa sangat panjang, dijelaskan bersambung bermalam-malam, bisa muncul dalam gending-gending, yang kalau dirangkum bisa jadi sebuah buku. Orang-orang seperti ini sanggup fasih menjelaskan filosofi tri hita karana.
Orang Bali dikenal sangat senang mempelajari filsafat. Orang-orang di warung kopi atau di pasar-pasar fasih berfilsafat. Jika mereka ngobrol dalam kegiatan ngayah di pura atau di tempat keluarga yang punya hajatan, acap kali mereka melontarkan filsafat. Substansi filsafat itu bermacam-macam, bisa tentang hubungan laki-perempuan, tentang hubungan laki-bini, hubungan dengan anak, handai taulan. Mereka juga acap mengupas filosofi tentang seks, yang kemudian ujung-ujungnya menjadi obrolan porno. Mereka menikmati omongan itu, tak pernah menganggapnya sebagai omongan cabul, dan menilainya sebagai kajian yang tak harus dibelenggu oleh salah atau benar.
Jika orang Bali gemar berfilsafat, tidakkah berarti mereka sesungguhnya berbakat jadi filsuf? Atau jangan-jangan semua orang Bali itu filsuf? Mereka bisa menjelaskan dan memberi pandangan tentang makna hidup lewat pitutur yang segar, santai, bersahaja, dan menyenangkan. Apa pun masalahnya, semua bisa difilsafatkan. Kecelakaan lalu lintas, penipuan, pengantin baru, terorisme, ledakan bom, pemilihan kepala desa, politik, pemilihan presiden, bisa difilsafatkan.
Jika semua orang Bali berbakat filsuf, sepantasnya Universitas Udayana, perguruan tinggi terbesar dan paling tersohor di Bali, membuka fakultas filsafat. Siapa tahu kelak lahir filsuf kaliber dunia, yang lihai ngomong... ngomong... ngomong... Tapi, kenapa ya, Universitas Udayana tak punya program studi filsafat? *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar