Liga 1 2019 bakal mulai bergulir, 15 Mei sampai 22 Desember mendatang.
PT LIB Dinilai Belum Layak Gelar Liga 1 2019
JAKARTA, NusaBali
Namun, sejumlah persoalan mendasar masih membelit gelaran kompetisi kasta tertinggi sepak bola di Indonesia tersebut. Kondisi itu dinilai sejumlah pengamat Liga 1 belum layak untuk segera digelar. Kick-off Liga 1 bakal dimulai dengan pertandingan pemenang Liga 2 PSS Sleman dan juara Piala Presiden 2019 Arema FC di Stadion Maguwoharjo, Rabu (15/5).
Salah satu hal yang masih mengganjal adalah utang operator PT Liga Indonesia Baru (LIB) selama dua musim terakhir kepada klub peserta Liga 1. Pada musim 2017, LIB masih berutang share rating televisi kepada 18 klub peserta, ditambah utang subsidi mencapai Rp2,5 miliar kepada masing-masing klub untuk menjalankan program elite pro-academy di musim 2018.
Kondisi itu membuat pengamat sepakbola nasional, Tommy Welly, menganggap operator terlalu dini kembali menggulirkan kompetisi. Ia menilai seharusnya kompetisi profesional bisa tertata lebih baik dan profesional dengan membayarkan utang kompetisi yang menjadi hak klub sebelum kompetisi berikutnya digulirkan.
"Catatan merah PSSI lainnya yang tak kalah penting adalah utang terhadap integritas sepak bola karena kompetisi musim lalu yang tercoreng. Hukum sepak bola juga belum terselesaikan," kata Tommy dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (14/5).
Lebih lanjut, Tommy menjelaskan bukan rahasia lagi jika gelaran Liga 2 2018 diduga kuat terpapar pengaturan skor. Ia menambahkan, Exco PSSI Hidayat adalah salah satu contoh pengurus yang sudah dikenai sanksi tapi yang terkait dengan kasusnya tidak disentuh. Padahal, kasusnya masih berkaitan dengan status kompetisi Liga 2 musim lalu.
Belum lagi pemeriksaan Satgas Antimafia Bola terhadap Vigit Waluyo yang harusnya menguatkan pemeriksaan terhadap hasil kompetisi musim lalu. Anehnya lagi, ia melanjutkan, Exco PSSI yang harusnya bertugas mengawasi berjalannya kompetisi justru masuk ke jajaran petinggi di operator.
Pengamat yang akrab disapa Towel itu menyebut subsidi klub untuk kompetisi musim ini juga berkurang menjadi Rp5 miliar. Dari sebelumnya Rp7,5 miliar termasuk Rp2,5 miliar untuk subsidi elite pro-academy yang sampai saat ini belum dilunasi.
"Apa ini artinya PSSI menganulir penuntasan hukum terhadap pengaturan skor musim lalu? Kalau utang uang kan sisi ekonomis, kalau ini kan integritas yang jadi fundamental kompetisi. Sebagus apa kompetisi kalau pelaksananya masih rezim pengaturan skor?" tanya Tommy.
Pengamat sepakbola nasional lainnya, Kusnaeni, mengatakan PSSI tidak becus dalam mengelola program usia muda yang akhirnya berdampak pada bertumpuknya utang ke klub. Sebagai federasi, PSSI juga bertugas untuk mengatur program terkait pembinaan usia muda supaya tidak merusak keseimbangan neraca keuangan klub.
Utang yang tersisa dari kompetisi 2018 terkait program PSSI soal usia muda yakni elite pro-academy. Pembinaan usia muda di klub disebut Kusnaeni idealnya merupakan investasi dari hasil keuntungan yang didapat di level senior klub tersebut. "Bicara rencana bisnis sebagai perusahaan, LIB orientasinya pasti mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Harusnya rencana bisnis PSSI dirasionalkan."
"Kalau belum mampu di usia muda juga, jangan dipaksakan semuanya harus berjalan bersamaan. Karena balik lagi, klub ini butuh uang untuk menjalankan program ini juga. Kecuali PSSI punya sumber pendanaan yang lain. Ya kalau tidak, akan menjadi tumpukan utang lagi ke depannya," ucap Kusnaeni.
Sebagai sebuah perusahaan, LIB dituntut untuk bisa mandiri menghidupi kompetisi, pembinaan, dan berkontribusi untuk PSSI. "Ini pentingnya LIB dan PSSI harus sinkron. Duduk bersama dengan visi, pola pikir dan cara pandang yang sama terhadap pengelolaan kompetisi. Jadi tidak tarik-menarik kepentingan," ujar Kusnaeni. *
Salah satu hal yang masih mengganjal adalah utang operator PT Liga Indonesia Baru (LIB) selama dua musim terakhir kepada klub peserta Liga 1. Pada musim 2017, LIB masih berutang share rating televisi kepada 18 klub peserta, ditambah utang subsidi mencapai Rp2,5 miliar kepada masing-masing klub untuk menjalankan program elite pro-academy di musim 2018.
Kondisi itu membuat pengamat sepakbola nasional, Tommy Welly, menganggap operator terlalu dini kembali menggulirkan kompetisi. Ia menilai seharusnya kompetisi profesional bisa tertata lebih baik dan profesional dengan membayarkan utang kompetisi yang menjadi hak klub sebelum kompetisi berikutnya digulirkan.
"Catatan merah PSSI lainnya yang tak kalah penting adalah utang terhadap integritas sepak bola karena kompetisi musim lalu yang tercoreng. Hukum sepak bola juga belum terselesaikan," kata Tommy dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (14/5).
Lebih lanjut, Tommy menjelaskan bukan rahasia lagi jika gelaran Liga 2 2018 diduga kuat terpapar pengaturan skor. Ia menambahkan, Exco PSSI Hidayat adalah salah satu contoh pengurus yang sudah dikenai sanksi tapi yang terkait dengan kasusnya tidak disentuh. Padahal, kasusnya masih berkaitan dengan status kompetisi Liga 2 musim lalu.
Belum lagi pemeriksaan Satgas Antimafia Bola terhadap Vigit Waluyo yang harusnya menguatkan pemeriksaan terhadap hasil kompetisi musim lalu. Anehnya lagi, ia melanjutkan, Exco PSSI yang harusnya bertugas mengawasi berjalannya kompetisi justru masuk ke jajaran petinggi di operator.
Pengamat yang akrab disapa Towel itu menyebut subsidi klub untuk kompetisi musim ini juga berkurang menjadi Rp5 miliar. Dari sebelumnya Rp7,5 miliar termasuk Rp2,5 miliar untuk subsidi elite pro-academy yang sampai saat ini belum dilunasi.
"Apa ini artinya PSSI menganulir penuntasan hukum terhadap pengaturan skor musim lalu? Kalau utang uang kan sisi ekonomis, kalau ini kan integritas yang jadi fundamental kompetisi. Sebagus apa kompetisi kalau pelaksananya masih rezim pengaturan skor?" tanya Tommy.
Pengamat sepakbola nasional lainnya, Kusnaeni, mengatakan PSSI tidak becus dalam mengelola program usia muda yang akhirnya berdampak pada bertumpuknya utang ke klub. Sebagai federasi, PSSI juga bertugas untuk mengatur program terkait pembinaan usia muda supaya tidak merusak keseimbangan neraca keuangan klub.
Utang yang tersisa dari kompetisi 2018 terkait program PSSI soal usia muda yakni elite pro-academy. Pembinaan usia muda di klub disebut Kusnaeni idealnya merupakan investasi dari hasil keuntungan yang didapat di level senior klub tersebut. "Bicara rencana bisnis sebagai perusahaan, LIB orientasinya pasti mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Harusnya rencana bisnis PSSI dirasionalkan."
"Kalau belum mampu di usia muda juga, jangan dipaksakan semuanya harus berjalan bersamaan. Karena balik lagi, klub ini butuh uang untuk menjalankan program ini juga. Kecuali PSSI punya sumber pendanaan yang lain. Ya kalau tidak, akan menjadi tumpukan utang lagi ke depannya," ucap Kusnaeni.
Sebagai sebuah perusahaan, LIB dituntut untuk bisa mandiri menghidupi kompetisi, pembinaan, dan berkontribusi untuk PSSI. "Ini pentingnya LIB dan PSSI harus sinkron. Duduk bersama dengan visi, pola pikir dan cara pandang yang sama terhadap pengelolaan kompetisi. Jadi tidak tarik-menarik kepentingan," ujar Kusnaeni. *
Komentar