'Sang Guru', Sentil Kehidupan Nyata Guru Honorer
Antara idealis dan realistis. Seringkali manusia dihadapkan pada persoalan demikian.
DENPASAR, NusaBali
Ini yang tergambar dalam pertunjukan drama modern berjudul ‘Sang Guru’ oleh Komunitas Senja berkolaborasi dengan Komunitas Cahaya yang merupakan program penyajian dan pengembangan seni UPTD Taman Budaya Bali di Gedung Ksirarnawa, Sabtu (18/5) malam.
“Naskah ini saya adaptasi naskah monolog ‘Pidato Tujuh Menit’ karya Hendra Utay menjadi drama modern. Drama ini menceritakan ideologi seorang guru yang kebetulan memang dari keturunan sebagai pendidik. Namun, ketika terjun di dunia nyata sebagai guru honorer, mulai terjadi kebimbangan atau kebingungan dalam dirinya,” ujar sutradara sekaligus penulis naskah dari drama ‘Sang Guru’, Komang Adi Wiguna.
Dikisahkan, Abdi, seorang perantau yang jadi guru honorer di sebuah sekolah swasta, menjalani profesi tersebut lantaran berasal dari keturunan keluarga seorang tenaga pengajar. Demi menjaga amanat orang tua dan harga diri, Abdi sudah 10 tahun menjalani pekerjaan tersebut. Namun selama itu pula ia menderita batin dalam kemiskinan dengan gaji guru honorer yang tidak seberapa. “Dalam drama ini ada semacam konflik dalam batin Abdi. Apakah ia harus mempertahankan ideologi, trah keluarga, atau kehidupan nyata yang menuntut harus punya uang untuk bisa hidup sehari-hari. Ia diuji di situ,” tuturnya.
Selama mengabdi jadi guru honorer, Abdi hidup menumpang di rumah seorang temannya yang sopir angkot bernama Togar selama 10 tahun. Ia pun tak selamanya bisa menumpang di sana, sebab setelah Togar menikah, istrinya tidak menginginkan ada orang lain yang menghuni rumah selain pasangan suami istri tersebut. “Konfliknya batinnya di sana. Abdi diusir dari rumah Togar dan tidak tahu harus tinggal di mana dengan penghasilan yang sedikit,” kata Adi Wiguna.
Di sisi lain, sebagai guru honorer ia kerap diremehkan. Pernah suatu ketika Abdi berpidato, namun di menit ketujuh dihentikan dengan gampangnya. Ditambah lagi, korupsi di sekolah tersebut merajalela.Tuntutan hidup dan berbagai masalah di sekitarnya membuat Abdi tertekan batin. Hingga suatu saat ia memilih untuk menerima tawaran bekerja di Malaysia. “Ada pengusaha dari Malaysia yang menghubungi dia untuk bekerja di Malaysia. Menjadi guru honorer juga di sana. Akhirnya dia menerima tawaran itu, karena ia harus berpikir lebih realistis dalam kehidupannya,” imbuhnya.
Menurut Adi Wiguna, dalam drama ini lebih banyak mengangkat fenomena sosial tentang nasib guru honorer. Sekaligus ini menjadi kritikan untuk pemerintah dalam bidang pendidikan. “Sekarang mungkin sudah lebih baik. Namun kritikan tetap kami sampaikan agar korupsi tidak lagi terjadi di dunia pendidikan. Guru honorer juga agar jangan diremehkan,” katanya.
Namun di sisi lain, tokoh Abdi sendiri digambarkan sebagai seorang yang kurang banyak pengalaman. Abdi memiliki karakter manut dan terkesan cupu. Karena kurang mengisi diri menyebabkan ia bimbang di tengah jalan dan terhimpit antara idealis atau realistis. “Kalau kita mau menjaga ideologi, ya kita harus lebih mengisi diri dengan pendidikan dan pengalaman. Sehingga di sana kita bisa mempertahankan ideologi dan tidak merepotkan orang lain,” tandasnya. *ind
“Naskah ini saya adaptasi naskah monolog ‘Pidato Tujuh Menit’ karya Hendra Utay menjadi drama modern. Drama ini menceritakan ideologi seorang guru yang kebetulan memang dari keturunan sebagai pendidik. Namun, ketika terjun di dunia nyata sebagai guru honorer, mulai terjadi kebimbangan atau kebingungan dalam dirinya,” ujar sutradara sekaligus penulis naskah dari drama ‘Sang Guru’, Komang Adi Wiguna.
Dikisahkan, Abdi, seorang perantau yang jadi guru honorer di sebuah sekolah swasta, menjalani profesi tersebut lantaran berasal dari keturunan keluarga seorang tenaga pengajar. Demi menjaga amanat orang tua dan harga diri, Abdi sudah 10 tahun menjalani pekerjaan tersebut. Namun selama itu pula ia menderita batin dalam kemiskinan dengan gaji guru honorer yang tidak seberapa. “Dalam drama ini ada semacam konflik dalam batin Abdi. Apakah ia harus mempertahankan ideologi, trah keluarga, atau kehidupan nyata yang menuntut harus punya uang untuk bisa hidup sehari-hari. Ia diuji di situ,” tuturnya.
Selama mengabdi jadi guru honorer, Abdi hidup menumpang di rumah seorang temannya yang sopir angkot bernama Togar selama 10 tahun. Ia pun tak selamanya bisa menumpang di sana, sebab setelah Togar menikah, istrinya tidak menginginkan ada orang lain yang menghuni rumah selain pasangan suami istri tersebut. “Konfliknya batinnya di sana. Abdi diusir dari rumah Togar dan tidak tahu harus tinggal di mana dengan penghasilan yang sedikit,” kata Adi Wiguna.
Di sisi lain, sebagai guru honorer ia kerap diremehkan. Pernah suatu ketika Abdi berpidato, namun di menit ketujuh dihentikan dengan gampangnya. Ditambah lagi, korupsi di sekolah tersebut merajalela.Tuntutan hidup dan berbagai masalah di sekitarnya membuat Abdi tertekan batin. Hingga suatu saat ia memilih untuk menerima tawaran bekerja di Malaysia. “Ada pengusaha dari Malaysia yang menghubungi dia untuk bekerja di Malaysia. Menjadi guru honorer juga di sana. Akhirnya dia menerima tawaran itu, karena ia harus berpikir lebih realistis dalam kehidupannya,” imbuhnya.
Menurut Adi Wiguna, dalam drama ini lebih banyak mengangkat fenomena sosial tentang nasib guru honorer. Sekaligus ini menjadi kritikan untuk pemerintah dalam bidang pendidikan. “Sekarang mungkin sudah lebih baik. Namun kritikan tetap kami sampaikan agar korupsi tidak lagi terjadi di dunia pendidikan. Guru honorer juga agar jangan diremehkan,” katanya.
Namun di sisi lain, tokoh Abdi sendiri digambarkan sebagai seorang yang kurang banyak pengalaman. Abdi memiliki karakter manut dan terkesan cupu. Karena kurang mengisi diri menyebabkan ia bimbang di tengah jalan dan terhimpit antara idealis atau realistis. “Kalau kita mau menjaga ideologi, ya kita harus lebih mengisi diri dengan pendidikan dan pengalaman. Sehingga di sana kita bisa mempertahankan ideologi dan tidak merepotkan orang lain,” tandasnya. *ind
Komentar