MUTIARA WEDA: Sanyasi atau Perut Kosong?
Seseorang bertapa dengan menggulung rambutnya, seseorang dengan menggundul kepalanya, yang lain dengan menggerai rambutnya, demikian juga yang lainnya pawai dengan jubah oranye.
Jatilo mundi luncitakesah kāsāyāmbarabahukrtavesah,
Pasyannapi ca na pasyati mudho hyudaranimittam bahukrtavesah.
(Bhaja Govindam, 14)
Mereka ini termasuk bodoh juga, tampak melihat tapi sesungguhnya tidak. Sesungguhnya penyamaran atau pakaian yang berbeda ini hanya untuk kepentingan perutnya semata. SEJAK zaman dahulu pergerakan manusia disebabkan oleh alasan dasarnya, yakni kebertahanan untuk hidup. Di samping udara yang tersedia bebas di alam, makanan adalah hal yang paling utama yang manusia terus perjuangkan. Teks di atas menyebut, apapun jenis pakaiannya, penyamaran apapun yang digunakan, semua itu semata-mata untuk kepentingan perut. Orang boleh mengambil profesi tertentu, apakah menjadi orang hebat atau menjadi pengemis, menjadi pertapa atau atheis, semuanya berpusar pada wilayah perut. Jika untuk urusan yang satu ini, mereka bisa melakukan apa saja. Di samping karena tuntutan tubuh yang bersifat alami, mereka juga tidak mampu melepaskan diri dari keterikatan atas tendensi alaminya itu.
Sehingga dengan demikian, kita mestinya tidak perlu heran ketika orang terus berputar-putar untuk urusan perutnya. Orang Bali sering menyebut ‘pang makudus jalikane’, atau ‘pang sing malingeb payuk jakane’. Ini mengindikaskan bahwa mereka tetap melakukan aktivitas, mengambil pekerjaan agar keperluan bahan pangan tetap terpenuhi. Boleh dikatakan bahwa orang rela bekerja keras siang dan malam adalah karena urusan ini (kemudian diikuti oleh keinginan lain). Ketika mereka tidak mampu melakukan sesuatu dengan cara yang baik, mereka terpaksa melakukannya dengan cara-cara kebalikannya. Mereka berupaya memenuhi kebutuhannya itu dengan cara-cara yang diizinkan, tetapi ketika semua usaha yang dilakukannya menemukan titik buntu, mereka terpaksa menggunakan cara-cara yang dilarang atau merugikan orang lain. Bahkan, tidak sedikit orang berpura-pura dengan mengambil simbol-simbol agama dan sebagainya untuk tujuan itu.
Teks di atas ingin memberikan pesan bahwa pada zamannya orang sering menggunakan topeng atau jubah tradisi agama untuk keperluan perut. Mengapa menggunakan itu? Karena zaman itu, menjadi sanyasi atau pertapa, dengan menggunakan pakaian oranye kemudian keliling negeri sebagai peminta-minta adalah umum waktu itu. Para Yogi maupun para sanyasin menggunakan teknik ini sebagai bagian dari sadhananya. Karena ini kelihatan gampang oleh orang-orang tertentu (yang notabene bukan bermaksud sebagai Yogi atau sanyasi), mereka pun ikut menggunakan cara-cara Yogi atau sanyasi agar kebutuhan pokoknya terpenuhi. Di sini lah kemudian muncul yogi atau sanyasi gadungan. Tetapi, oleh karena sulit mengenali yang mana yogi atau sanyasi sungguhan dan yang mana peminta-minta beneran sulit dikenali karena pakaian atau ornamen atau perilaku mereka hampir mirip.
Dalam konteks kesadaran spiritual, mereka termasuk penipu. Tetapi dalam konteks hidup dan kehidupan, mereka adalah sebuah fakta dan tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Mereka selalu ada dari zaman ke zaman sebagai sebuah bentukan keadaan, baik sosial maupun individual. Bentuk sosial maksudnya adalah ketika mereka tidak mampu bersaing berebut kue (pekerjaan), atau tidak mendapat akses ke arah itu, mereka secara terpaksa melakukan bentuk-bentuk kegiatan tersebut. Bentukan individu maksudnya adalah oleh karena pribadi manusianya yang malas, tidak mau berusaha dan ingin gampang. Mereka melihat bahwa dengan menjadi pertapa atau sanyasi mereka mudah mendapatkan makanan tanpa harus bekerja, mereka pun mengambil peran tersebut, meskipun bukan sebagai Yogi atau sanyasi sungguhan.
Bagaimana menyikapi hal tersebut? Masalahnya, mengapa disikapi, apa pentingnya hal itu disikapi? Bukankah saat ini pun, kalau dicari banyak orang yang mengenakan baju-baju yang disepakati suci seperti di atas dipakai sebagai profesi untuk mengumpulkan kekayaan? Secara eksistensi, hal seperti ini tidak bisa disalahkan. Mengapa? Karena alam memberikan ruang untuk itu. Ruang apa? Ruang untuk lapar. Oleh karena perut lapar dan menuntut untuk dipenuhi, segala sesuatu bisa dijadikan komoditas untuk memenuhi kebutuhan itu. Hanya saja apakah mereka mampu mengembangkan kesadarannya saat menjalankan profesi itu atau tidak. Jika mereka melihat bahwa profesi itu hanya alat dan tetap larut dalam kesadaran spiritual, mereka akan mencapai. Tetapi, jika kesadaran mereka masih berkisar di perut saja dan tidak pernah berkembang, maka mereka akan selamanya ada di sana. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Bhaja Govindam, 14)
Mereka ini termasuk bodoh juga, tampak melihat tapi sesungguhnya tidak. Sesungguhnya penyamaran atau pakaian yang berbeda ini hanya untuk kepentingan perutnya semata. SEJAK zaman dahulu pergerakan manusia disebabkan oleh alasan dasarnya, yakni kebertahanan untuk hidup. Di samping udara yang tersedia bebas di alam, makanan adalah hal yang paling utama yang manusia terus perjuangkan. Teks di atas menyebut, apapun jenis pakaiannya, penyamaran apapun yang digunakan, semua itu semata-mata untuk kepentingan perut. Orang boleh mengambil profesi tertentu, apakah menjadi orang hebat atau menjadi pengemis, menjadi pertapa atau atheis, semuanya berpusar pada wilayah perut. Jika untuk urusan yang satu ini, mereka bisa melakukan apa saja. Di samping karena tuntutan tubuh yang bersifat alami, mereka juga tidak mampu melepaskan diri dari keterikatan atas tendensi alaminya itu.
Sehingga dengan demikian, kita mestinya tidak perlu heran ketika orang terus berputar-putar untuk urusan perutnya. Orang Bali sering menyebut ‘pang makudus jalikane’, atau ‘pang sing malingeb payuk jakane’. Ini mengindikaskan bahwa mereka tetap melakukan aktivitas, mengambil pekerjaan agar keperluan bahan pangan tetap terpenuhi. Boleh dikatakan bahwa orang rela bekerja keras siang dan malam adalah karena urusan ini (kemudian diikuti oleh keinginan lain). Ketika mereka tidak mampu melakukan sesuatu dengan cara yang baik, mereka terpaksa melakukannya dengan cara-cara kebalikannya. Mereka berupaya memenuhi kebutuhannya itu dengan cara-cara yang diizinkan, tetapi ketika semua usaha yang dilakukannya menemukan titik buntu, mereka terpaksa menggunakan cara-cara yang dilarang atau merugikan orang lain. Bahkan, tidak sedikit orang berpura-pura dengan mengambil simbol-simbol agama dan sebagainya untuk tujuan itu.
Teks di atas ingin memberikan pesan bahwa pada zamannya orang sering menggunakan topeng atau jubah tradisi agama untuk keperluan perut. Mengapa menggunakan itu? Karena zaman itu, menjadi sanyasi atau pertapa, dengan menggunakan pakaian oranye kemudian keliling negeri sebagai peminta-minta adalah umum waktu itu. Para Yogi maupun para sanyasin menggunakan teknik ini sebagai bagian dari sadhananya. Karena ini kelihatan gampang oleh orang-orang tertentu (yang notabene bukan bermaksud sebagai Yogi atau sanyasi), mereka pun ikut menggunakan cara-cara Yogi atau sanyasi agar kebutuhan pokoknya terpenuhi. Di sini lah kemudian muncul yogi atau sanyasi gadungan. Tetapi, oleh karena sulit mengenali yang mana yogi atau sanyasi sungguhan dan yang mana peminta-minta beneran sulit dikenali karena pakaian atau ornamen atau perilaku mereka hampir mirip.
Dalam konteks kesadaran spiritual, mereka termasuk penipu. Tetapi dalam konteks hidup dan kehidupan, mereka adalah sebuah fakta dan tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Mereka selalu ada dari zaman ke zaman sebagai sebuah bentukan keadaan, baik sosial maupun individual. Bentuk sosial maksudnya adalah ketika mereka tidak mampu bersaing berebut kue (pekerjaan), atau tidak mendapat akses ke arah itu, mereka secara terpaksa melakukan bentuk-bentuk kegiatan tersebut. Bentukan individu maksudnya adalah oleh karena pribadi manusianya yang malas, tidak mau berusaha dan ingin gampang. Mereka melihat bahwa dengan menjadi pertapa atau sanyasi mereka mudah mendapatkan makanan tanpa harus bekerja, mereka pun mengambil peran tersebut, meskipun bukan sebagai Yogi atau sanyasi sungguhan.
Bagaimana menyikapi hal tersebut? Masalahnya, mengapa disikapi, apa pentingnya hal itu disikapi? Bukankah saat ini pun, kalau dicari banyak orang yang mengenakan baju-baju yang disepakati suci seperti di atas dipakai sebagai profesi untuk mengumpulkan kekayaan? Secara eksistensi, hal seperti ini tidak bisa disalahkan. Mengapa? Karena alam memberikan ruang untuk itu. Ruang apa? Ruang untuk lapar. Oleh karena perut lapar dan menuntut untuk dipenuhi, segala sesuatu bisa dijadikan komoditas untuk memenuhi kebutuhan itu. Hanya saja apakah mereka mampu mengembangkan kesadarannya saat menjalankan profesi itu atau tidak. Jika mereka melihat bahwa profesi itu hanya alat dan tetap larut dalam kesadaran spiritual, mereka akan mencapai. Tetapi, jika kesadaran mereka masih berkisar di perut saja dan tidak pernah berkembang, maka mereka akan selamanya ada di sana. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar