KontraS Desak Pemerintah Bentuk TPF 22 Mei
Terima 7 pengaduan, disimpulkan ada pelanggaran hukum serta HAM
JAKARTA, NusaBali
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers meminta pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa 22 Mei 2019.
Pernyataan itu disampaikan oleh Koordinator KontraS Yati Andriyani setelah menerima tujuh aduan terkait peristiwa kerusuhan 21-22 Mei dan menyimpulkan bahwa ada pelanggaran hukum serta HAM dalam penanganan kerusuhan di Jakarta pada 22 Mei.
"Tim ini di antaranya bekerja untuk menemukan fakta-fakta peristiwa dan rekomendasi, melakukan pengawasan atas proses hukum yang berjalan, memberikan perlindungan bagi saksi atau pelapor," kata Yati di Jakarta, seperti dilansir cnnindonesia, Minggu (2/6).
Kata dia, pembentukan Tim Pencari Fakta Independen ini dapat menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana lembaga-lembaga korektif negara menjalankan fungsinya secara efektif, sekaligus mengukur sejauh mana pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Sebanyak delapan orang dilaporkan meninggal dan ratusan orang terluka dalam peristiwa 21-22 Mei 2019. Massa ketika itu berunjuk rasa di depan gedung Bawaslu menolak hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan umum (KPU) yang menyatakan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang dalam Pilpres 2019 berdasarkan rekapitulasi perhitungan suara KPU.
"Kami menyimpulkan bahwa kasus tewasnya delapan orang selama kerusuhan 21-22 Mei ini masih belum bisa dijelaskan dengan terang, baik sisi penyebab kematian, aktor yang menembak korban dan senjata yang digunakan, dan status korban (apakah peserta aksi atau bukan)," katanya.
Sejauh ini, KontraS dan LBH telah menerima tujuh aduan dugaan pelanggaran HAM berkaitan dengan peristiwa 21-22 Mei.
"Kami ingin mengatakan bahwa kami memahami kompleksitas persoalan dalam peristiwa 21-22 Mei, dan kami juga menghormati kerja kepolisian untuk melakukan upaya pengamanan dan penegakan hukum," kata Yati.
Namun, menurutnya tetap ada rambu-rambu hukum dan hak asasi manusia yang harus menjadi rujukan prioritas kepolisian dalam upaya-upaya penegakan hukum atau penyelesaian kasus 22 mei.
Yati pun memaparkan bahwa dalam hukum, yang penting dalam pengungkapan adalah pemenuhan prinsip Fair Trial, atau asas praduga tak bersalah.
"Harus tetap diperhatikan dengan sebegitu banyak jumlah yang ditangkap dan ditahan, bagaimana verifikasinya, akan menentukan apakah mereka bersalah atau tidak," katanya.
Lebih lanjut Yati mengatakan, peradilan harus bebas dan tak memihak, tidak hanya saat pengadilan tapi juga dari penyidikan sampai pengadilan. Menurutnya, mereka yang ditangkap, dibawa, ditahan memiliki hak persamaan di depan hukum.
"Tak boleh didiskriminasi hanya karena dianggap terkait terlibat atau melakukan tindak pidana yang belum terbukti. Terbukti atau tidaknya itu di pengadilan," katanya.
Selain itu, perlu juga jaminan HAM dalam penyelidikan aksi 22 Mei. "HAM tidak mengenal apa tindakan mereka, latar belakang mereka, selama mereka warga negara, manusia, prinsip-prinsip HAM harus dikedepankan," katanya. *
Pernyataan itu disampaikan oleh Koordinator KontraS Yati Andriyani setelah menerima tujuh aduan terkait peristiwa kerusuhan 21-22 Mei dan menyimpulkan bahwa ada pelanggaran hukum serta HAM dalam penanganan kerusuhan di Jakarta pada 22 Mei.
"Tim ini di antaranya bekerja untuk menemukan fakta-fakta peristiwa dan rekomendasi, melakukan pengawasan atas proses hukum yang berjalan, memberikan perlindungan bagi saksi atau pelapor," kata Yati di Jakarta, seperti dilansir cnnindonesia, Minggu (2/6).
Kata dia, pembentukan Tim Pencari Fakta Independen ini dapat menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana lembaga-lembaga korektif negara menjalankan fungsinya secara efektif, sekaligus mengukur sejauh mana pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Sebanyak delapan orang dilaporkan meninggal dan ratusan orang terluka dalam peristiwa 21-22 Mei 2019. Massa ketika itu berunjuk rasa di depan gedung Bawaslu menolak hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan umum (KPU) yang menyatakan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang dalam Pilpres 2019 berdasarkan rekapitulasi perhitungan suara KPU.
"Kami menyimpulkan bahwa kasus tewasnya delapan orang selama kerusuhan 21-22 Mei ini masih belum bisa dijelaskan dengan terang, baik sisi penyebab kematian, aktor yang menembak korban dan senjata yang digunakan, dan status korban (apakah peserta aksi atau bukan)," katanya.
Sejauh ini, KontraS dan LBH telah menerima tujuh aduan dugaan pelanggaran HAM berkaitan dengan peristiwa 21-22 Mei.
"Kami ingin mengatakan bahwa kami memahami kompleksitas persoalan dalam peristiwa 21-22 Mei, dan kami juga menghormati kerja kepolisian untuk melakukan upaya pengamanan dan penegakan hukum," kata Yati.
Namun, menurutnya tetap ada rambu-rambu hukum dan hak asasi manusia yang harus menjadi rujukan prioritas kepolisian dalam upaya-upaya penegakan hukum atau penyelesaian kasus 22 mei.
Yati pun memaparkan bahwa dalam hukum, yang penting dalam pengungkapan adalah pemenuhan prinsip Fair Trial, atau asas praduga tak bersalah.
"Harus tetap diperhatikan dengan sebegitu banyak jumlah yang ditangkap dan ditahan, bagaimana verifikasinya, akan menentukan apakah mereka bersalah atau tidak," katanya.
Lebih lanjut Yati mengatakan, peradilan harus bebas dan tak memihak, tidak hanya saat pengadilan tapi juga dari penyidikan sampai pengadilan. Menurutnya, mereka yang ditangkap, dibawa, ditahan memiliki hak persamaan di depan hukum.
"Tak boleh didiskriminasi hanya karena dianggap terkait terlibat atau melakukan tindak pidana yang belum terbukti. Terbukti atau tidaknya itu di pengadilan," katanya.
Selain itu, perlu juga jaminan HAM dalam penyelidikan aksi 22 Mei. "HAM tidak mengenal apa tindakan mereka, latar belakang mereka, selama mereka warga negara, manusia, prinsip-prinsip HAM harus dikedepankan," katanya. *
1
Komentar