Petani Padi Ngekoh Ikut Asuransi
Klaim Persentase Kerusakan Terlalu Tinggi
SINGARAJA, NusaBali
Antusias petani padi di Buleleng untuk mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), masih sangat rendah. Mereka ngekoh (malas,red) mengasuransikan tanaman padi mereka lantaran klaim persentase kerusakan dari Jasindo sangat tinggi. Memasuki medio tahun 2019, yang mendaftarkan lahan sawah mereka untuk diasuransikan hanya berjumlah 20,4 hektare dari target yang dipasang sebesar 400 hektare.
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, I Made Sumiarta, Senin (3/6) kemarin menjelaskan, hingga saat ini yang baru mendaftarkan sawahnya untuk diasuransikan hanya dua subak di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan Buleleng. Subak Tamblang dan Subak Lanyahan Desa Tamblang selama ini memang terkenal sebagai lahan sawah yang rentan terserang Organisme Pengganggu Tamanan (OPT).
Sedangkan sisanya dari belasan ribu hektare luas tanam padi Buleleng nampak masih enggan ikut serta mengasuransikan tanaman padinya. Padahal untuk program AUTP itu, pemerintah memberikan subsidi pembayaran premi hingga delapan puluh persen. “Sebenarnya petani peserta AUTP membanyar Rp 144 ribu per hektare per satu kali musim, tetapi disubsidi oleh pemerintah delapan puluh persen, jadi hanya bayar Rp 36 ribu dalam satu kali musim tanam 3-4 bulan,” jelas Sumiarta.
Besaran premi yang harus dibayar petani padi menurut Sumiarta tidak berat, bagi petani yang memiliki lahan sawah di wilayah yang berpotensi gagal panen tinggi. Seperti sawah di pinggir pantai, wilayah serangan OPT dan wilayah rawan bencana. Hanya saja sejauh ini antusiasme masyarakat masih tetap rendah, karena persentase risiko kerugian akan diklaim dengan kerusakan 75 persen dari luas tanam dengan klaim Rp 6 juta per hektare.
“Mungkin ini yang masih menjadi pertimbangan petani, kami nanti juga akan bicarakan dengan Jasindo, agar klaim bisa dilakukan dengan kerusakan di bawah 75 persen,” imbuh dia.
Pihaknya juga mengaku akan terus mengupayakan peningkatan kesadaran petani untuk berasuransi, mengalihkan potensi kerugiannkerugian akibat bencana atau penyakit yang bisa datang kapan saja.
Sementara itu keikutsertaan asuransi malah lebih banyak pada peternak sapi melalui Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS). Meski Dinas Pertanian belum mengantongi data keikutsertaan pasti di tahun 2019 ini, dnegan target kepesertaan 2.000 ekor, di tahun 2018 berjalan cukup sukses. Dari total 1.250 ekor yang dipasang tahun 2018 lalu, realisasi peserta AUTS sebanyak 633 ekor.
Sedikitnya 36 ekor sapi peternak pun disebut mendapatkan klaim atas risiko kematian baik karena melahirkan, penyakit dan hilang. Puluhan pemilik sapi berasuransi berhak mendapatkan klaim Rp 10 juta per ekor, hanya dengan membayar premi Rp 40 ribu per tahunnya.*k23
Antusias petani padi di Buleleng untuk mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), masih sangat rendah. Mereka ngekoh (malas,red) mengasuransikan tanaman padi mereka lantaran klaim persentase kerusakan dari Jasindo sangat tinggi. Memasuki medio tahun 2019, yang mendaftarkan lahan sawah mereka untuk diasuransikan hanya berjumlah 20,4 hektare dari target yang dipasang sebesar 400 hektare.
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, I Made Sumiarta, Senin (3/6) kemarin menjelaskan, hingga saat ini yang baru mendaftarkan sawahnya untuk diasuransikan hanya dua subak di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan Buleleng. Subak Tamblang dan Subak Lanyahan Desa Tamblang selama ini memang terkenal sebagai lahan sawah yang rentan terserang Organisme Pengganggu Tamanan (OPT).
Sedangkan sisanya dari belasan ribu hektare luas tanam padi Buleleng nampak masih enggan ikut serta mengasuransikan tanaman padinya. Padahal untuk program AUTP itu, pemerintah memberikan subsidi pembayaran premi hingga delapan puluh persen. “Sebenarnya petani peserta AUTP membanyar Rp 144 ribu per hektare per satu kali musim, tetapi disubsidi oleh pemerintah delapan puluh persen, jadi hanya bayar Rp 36 ribu dalam satu kali musim tanam 3-4 bulan,” jelas Sumiarta.
Besaran premi yang harus dibayar petani padi menurut Sumiarta tidak berat, bagi petani yang memiliki lahan sawah di wilayah yang berpotensi gagal panen tinggi. Seperti sawah di pinggir pantai, wilayah serangan OPT dan wilayah rawan bencana. Hanya saja sejauh ini antusiasme masyarakat masih tetap rendah, karena persentase risiko kerugian akan diklaim dengan kerusakan 75 persen dari luas tanam dengan klaim Rp 6 juta per hektare.
“Mungkin ini yang masih menjadi pertimbangan petani, kami nanti juga akan bicarakan dengan Jasindo, agar klaim bisa dilakukan dengan kerusakan di bawah 75 persen,” imbuh dia.
Pihaknya juga mengaku akan terus mengupayakan peningkatan kesadaran petani untuk berasuransi, mengalihkan potensi kerugiannkerugian akibat bencana atau penyakit yang bisa datang kapan saja.
Sementara itu keikutsertaan asuransi malah lebih banyak pada peternak sapi melalui Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS). Meski Dinas Pertanian belum mengantongi data keikutsertaan pasti di tahun 2019 ini, dnegan target kepesertaan 2.000 ekor, di tahun 2018 berjalan cukup sukses. Dari total 1.250 ekor yang dipasang tahun 2018 lalu, realisasi peserta AUTS sebanyak 633 ekor.
Sedikitnya 36 ekor sapi peternak pun disebut mendapatkan klaim atas risiko kematian baik karena melahirkan, penyakit dan hilang. Puluhan pemilik sapi berasuransi berhak mendapatkan klaim Rp 10 juta per ekor, hanya dengan membayar premi Rp 40 ribu per tahunnya.*k23
Komentar