Perda Desa Adat Jadi Prasasti Samuhan Tiga
Gubernur Bali I Wayan Koster akhirnya mengesahkan Ranperda tentang Desa Adat menjadi Perda Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
GIANYAR, NusaBali
Perda ini disahkan melalui paruman Pencanangan Perda Desa Adat di Bali, di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, pada Anggara Kliwon Kulantir, Selasa (4/6), bertepatan Hari Suci Kajeng Kliwon.
Pengesahan Perda dengan penandatanganan oleh Gubernur Koster pada prasasti yang dinamai ‘Prasasti Samuhan Tiga’. Paruman tersebut dihadiri puluhan sulinggih dan pinandita, tokoh adat dari unsur MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) Provinsi Bali, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) se Bali, PHDI Bali dan kabupaten/kota, anggota DPRD Bali, Bupati/Wakil Bupati, unsur DPRD kabupaten /kota, para pejabat pemerintahan, 1.493 bendesa se Bali, dan undangan lainnya. Gubernur Koster memaparkan secara lugas sekitar dua jam tentang isi dan semangat yang terkandung dalam Perda Desa Adat di Bali ini. Ia mengaku, mengawal ketat Ranperda ini hingga jadi Perda. Mulai dari nol di rumah jabatan Gubernur di Jaya Saba, Denpasar, pembahasan hingga mendapatkan persetujuan di DPRD Bali pada 19 Desember 2018. Namun untuk permohonan persetujuan mesti menunggu selama sebulan di Depdagri. Hal ini karena ternyata mengalami ganjalan hingga dirinya langsung mendatangi Kemendgari. “Saya minta Dirjen yang menangani Ranperda ini untuk membuat rapat tanggal 22 Mei 2019. Saya pun hadir dan berdebat, pasal per pasal yang dianggap bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Saya kan ahli legislasi di DPR RI,’’ jelas gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini disambut aplaus ribuan hadirin.
Gubernur Koster mengaku bangga dengan keberadaan Perda ini dengan nama Perda tentang Desa Adat di Bali yang merupakan implementasi nyata dari visi 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali' melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Dengan Perda ini, maka keberadaan desa adat tak berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, melainkan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Perda anyar ini memuat sejumlah poin penting yang tak diatur dalam Perda tentang Desa Adat sebelumnya. Antara lain, lembaga MUDP berubah menjadi Majelis Desa adat (MDA) Tingkat Provinsi Bali dan MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) jadi MDA Tingkat Kabupaten/Kota. Kantor MDA Provinsi Bali akan dibangun di kawasan Niti Mandala, Denpasar yang kini lokasi Kantor Bawaslu Provinsi Bali di Jalan Mohamad Yamin. Untuk Kantor MDA Kabupaten/Kota akan dibangun masing-masing di atas lahan 2 are, berlantai 3. Kantor MDA ini bergabung dengan PHDI kabupaten/kota. Target, tahun 2020 kantor-kantor tersebut telah dibangun. “Pengabungan kantor ini (MDA dan PHDI) agar efisien. Tentu di dalamnya ada fasilitas mobil, tenaga administrasi, uang minyak dan honor-honor,’’ jelasnya.
Sekretaris MUDP Provinsi Bali Ketut Sumarta yang ikut tergabung dalam tim pembahasan materi Ranperda ini, menambahkan, dengan Perda ini maka sumber-sumber pendapatan DA (desa adat) didasarkan pada pararem DA yang telah dikaji dan diregistrasikan di OPD (Organisasi Perangkat Desa) yang menangani urusan Desa Adat. DA dapat bekerjasama dengan pihak lain baik dalam bidang ekonomi, pembangunan kawasan perdesaan DA, maupun yang lainnya. Pihak lain dimaksud yakni sesama DA, dengan desa dinas/kelurahan, dan atau pihak lainnya. DA melakukan kegiatan ekonomi sektor keuangan berupa LPD dan sektor riil berupa Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). Salah satu bentuk BUPDA itu bisa berupa toko modern. DA dapat mendirikan dan mengelola pendidikan formal maupun nonformal berbasis agama Hindu. Bentuknya, bisa pasraman sesuai kearifan lokal Bali yang bisa mendapatkan bantuan dana dari APBN (sesuai dengan Permenag No 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. ‘’Jika terjadi persoalan pelik, maka memungkinkan diselesaikan dengan hukum adat oleh Kerta Desa Adat. Segala hal yang menyangkut tentang desa adat ini akan dinaungi oleh sebuah OPD di kabupaten/kota,’’ jelasnya.
Usai acara pencanangan itu, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengaku menyambut baik penerapan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini. Menurutnya, penguatan desa adat di Bali mestinya dilakukan sejak dulu. ‘’Di desa adat memang sudah ada perarem. Namun dengan Perda ini, desa adat dipayungi dengan baik sehingga nantinya desa adat dan bendesanya tak lagi ragu-ragu mengambil kebijakan,’’ jelasnya.Terkait materi tentang perekonomian desa adat sebagaimana diatur dalam Perda ini, jelas Bupati Suwirta, agar ada pembahasan lebih lanjut. Menurutnya, lembaga perekonomian desa yang sudah ada dan sudah kuat bisa dilebur menjadi lembaga ekonomi adat. “Sehingga tak mabuaka (sengaja) membuat baru lembaga ekonomi adat ini,’’ jelasnya.Menurut Bupati Suwirta tak ada yang krusial dalam penerapan Perda ini. Karena kewenangan pengaturan tentang desa adat ini ditarik ke Pemprov Bali. Namun pemerintah pusat wajib juga mendanai kegiatan desa adat sehingga nantinya kewengan di kabupaten/kota lebih ringan. ‘’Dengan Perda ini, kewenangan desa adat tentu akan lebih kuat,’’ ujarnya. *lsa
Pengesahan Perda dengan penandatanganan oleh Gubernur Koster pada prasasti yang dinamai ‘Prasasti Samuhan Tiga’. Paruman tersebut dihadiri puluhan sulinggih dan pinandita, tokoh adat dari unsur MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) Provinsi Bali, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) se Bali, PHDI Bali dan kabupaten/kota, anggota DPRD Bali, Bupati/Wakil Bupati, unsur DPRD kabupaten /kota, para pejabat pemerintahan, 1.493 bendesa se Bali, dan undangan lainnya. Gubernur Koster memaparkan secara lugas sekitar dua jam tentang isi dan semangat yang terkandung dalam Perda Desa Adat di Bali ini. Ia mengaku, mengawal ketat Ranperda ini hingga jadi Perda. Mulai dari nol di rumah jabatan Gubernur di Jaya Saba, Denpasar, pembahasan hingga mendapatkan persetujuan di DPRD Bali pada 19 Desember 2018. Namun untuk permohonan persetujuan mesti menunggu selama sebulan di Depdagri. Hal ini karena ternyata mengalami ganjalan hingga dirinya langsung mendatangi Kemendgari. “Saya minta Dirjen yang menangani Ranperda ini untuk membuat rapat tanggal 22 Mei 2019. Saya pun hadir dan berdebat, pasal per pasal yang dianggap bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Saya kan ahli legislasi di DPR RI,’’ jelas gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini disambut aplaus ribuan hadirin.
Gubernur Koster mengaku bangga dengan keberadaan Perda ini dengan nama Perda tentang Desa Adat di Bali yang merupakan implementasi nyata dari visi 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali' melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Dengan Perda ini, maka keberadaan desa adat tak berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, melainkan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Perda anyar ini memuat sejumlah poin penting yang tak diatur dalam Perda tentang Desa Adat sebelumnya. Antara lain, lembaga MUDP berubah menjadi Majelis Desa adat (MDA) Tingkat Provinsi Bali dan MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) jadi MDA Tingkat Kabupaten/Kota. Kantor MDA Provinsi Bali akan dibangun di kawasan Niti Mandala, Denpasar yang kini lokasi Kantor Bawaslu Provinsi Bali di Jalan Mohamad Yamin. Untuk Kantor MDA Kabupaten/Kota akan dibangun masing-masing di atas lahan 2 are, berlantai 3. Kantor MDA ini bergabung dengan PHDI kabupaten/kota. Target, tahun 2020 kantor-kantor tersebut telah dibangun. “Pengabungan kantor ini (MDA dan PHDI) agar efisien. Tentu di dalamnya ada fasilitas mobil, tenaga administrasi, uang minyak dan honor-honor,’’ jelasnya.
Sekretaris MUDP Provinsi Bali Ketut Sumarta yang ikut tergabung dalam tim pembahasan materi Ranperda ini, menambahkan, dengan Perda ini maka sumber-sumber pendapatan DA (desa adat) didasarkan pada pararem DA yang telah dikaji dan diregistrasikan di OPD (Organisasi Perangkat Desa) yang menangani urusan Desa Adat. DA dapat bekerjasama dengan pihak lain baik dalam bidang ekonomi, pembangunan kawasan perdesaan DA, maupun yang lainnya. Pihak lain dimaksud yakni sesama DA, dengan desa dinas/kelurahan, dan atau pihak lainnya. DA melakukan kegiatan ekonomi sektor keuangan berupa LPD dan sektor riil berupa Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). Salah satu bentuk BUPDA itu bisa berupa toko modern. DA dapat mendirikan dan mengelola pendidikan formal maupun nonformal berbasis agama Hindu. Bentuknya, bisa pasraman sesuai kearifan lokal Bali yang bisa mendapatkan bantuan dana dari APBN (sesuai dengan Permenag No 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. ‘’Jika terjadi persoalan pelik, maka memungkinkan diselesaikan dengan hukum adat oleh Kerta Desa Adat. Segala hal yang menyangkut tentang desa adat ini akan dinaungi oleh sebuah OPD di kabupaten/kota,’’ jelasnya.
Usai acara pencanangan itu, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengaku menyambut baik penerapan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini. Menurutnya, penguatan desa adat di Bali mestinya dilakukan sejak dulu. ‘’Di desa adat memang sudah ada perarem. Namun dengan Perda ini, desa adat dipayungi dengan baik sehingga nantinya desa adat dan bendesanya tak lagi ragu-ragu mengambil kebijakan,’’ jelasnya.Terkait materi tentang perekonomian desa adat sebagaimana diatur dalam Perda ini, jelas Bupati Suwirta, agar ada pembahasan lebih lanjut. Menurutnya, lembaga perekonomian desa yang sudah ada dan sudah kuat bisa dilebur menjadi lembaga ekonomi adat. “Sehingga tak mabuaka (sengaja) membuat baru lembaga ekonomi adat ini,’’ jelasnya.Menurut Bupati Suwirta tak ada yang krusial dalam penerapan Perda ini. Karena kewenangan pengaturan tentang desa adat ini ditarik ke Pemprov Bali. Namun pemerintah pusat wajib juga mendanai kegiatan desa adat sehingga nantinya kewengan di kabupaten/kota lebih ringan. ‘’Dengan Perda ini, kewenangan desa adat tentu akan lebih kuat,’’ ujarnya. *lsa
1
Komentar