Mengapa Orang Bali Senang Berseragam?
Mereka yang bersekolah sebelum 1980-an pasti mengalami hari-hari ke sekolah tanpa bersepatu, dikenal sebagai kaki ayam.
Juga tidak mengenakan pakaian seragam. Kala itu pakaian siswa macam-macam, kebanyakan lusuh, jarang dicuci, tak sedikit yang dekil dan bau. Karena sama-sama kusam, tak ada siswa yang saling menyandingkan dan memamerkan pakaian yang mereka kenakan. Banyak baju dan celana direndam dengan pewarna Wantex agar tampak baru, walau tetap kentara barang lama.
Mereka bahagia dengan pakaian berbeda, kendati sama-sama berkaki ayam. Tidak ada seseorang dengan pakaian yang lebih bagus atau lebih jelek. Anak orang kaya tidak berpakaian lebih bagus, cuma lebih bersih. Tidak ada gosip Si Wayan bajunya lebih mentereng dibanding Si Made.
Pada 17 Maret 1982 turun Surat Keputusan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang mengatur tentang penggunaan seragam sekolah bagi para siswa. Sejak itulah siswa mengenakan pakaian seragam yang menjadi identitas mereka. Penggunaan seragam ini ada yang membuat siswa bahagia, tapi ada pula yang tidak menyukainya.
Ada yang beralasan, siswa sebaiknya memang berseragam, agar pakaian tidak membedakan kaya dan miskin. Agar yang kaya, yang bisa membeli pakaian bagus, tidak punya kesempatan pamer. Si miskin juga tetap percaya diri karena mengenakan pakaian sama dengan yang dikenakan anak-anak orang kaya.
Lambat laun seragam tidak hanya dikenal di kalangan militer dan sekolah. Banyak orang merasa, berseragam menyuguhkan kenyamanan, memberi identitas. Seragam membuahkan kebanggaan, yang perlahan-lahan pemakainya merasakan menjalani proses kelahiran baru: sosok baru, perasaan baru, sikap baru, juga kemewahan baru. Itu mungkin sebabnya mengenakan seragam kian digandrungi banyak orang.
Sudah lazim ibu-ibu PKK berdebat tentang seragam yang sebaiknya mereka kenakan jika ada lomba desa. Mereka senang berbeda, punya kesempatan berlomba membandingkan pakaian yang mereka kenakan, punya komunitas, dan punya bahan untuk bergosip.
“Pakaian seragam yang akan kita beli bisa dimanfaatkan untuk kegiatan upacara adat dan agama di banjar dan desa,” seru Ketua PKK menjelaskan, agar para ibu-ibu itu sudi menyisihkan uang dapur untuk membeli brokat buat kebaya, dan endek untuk kamben.
Di Bali, di kalangan kaum wanita, berkebaya dan berkain seragam kini menjadi kebutuhan, kewajiban, tidak lagi semata tren. Jika sebuah keluarga menyelenggarakan hajatan adat pernikahan atau krama banjar serta desa berkegiatan upacara adat, para perempuan sibuk membahas kebaya seragam. “Yang cocok warna ungu,” ujar salah seorang. “Biar kelihatan kita muda, penuh semangat, dan romantis.”
Yang lain menimpali, “Kalau ungu atau pink, jadi kelihatan genit kita ah, hihihi.... Terlalu mengundang perhatian.”
Maka muncul usul lain, ”Sebaiknya kuning muda saja atau krem, kainnya coklat, serasi, klasik, sepadan dengan upacara pernikahan dan metatah.”
Pembahasan tentang pakaian seragam itu bisa berhari-hari sebelum menghasilkan keputusan akhir. Tentu ada yang kurang sreg, tapi harus mengikuti suara terbanyak, karena mereka mengaku sosok-sosok yang demokratis.
Tentu menarik menilik, mengapa wanita Bali senang mengenakan seragam. Ada yang berkomentar, karena orang Bali itu pesolek, sehingga kegiatan upacara adat dan keagamaan menjadi ajang untuk pamer tata rias diri. Mereka memutuskan harus berseragam, karena biar bisa memilih kebaya dan kain baru. Kalau tidak seragam, masing-masing akan mengenakan kebaya dan kain lama. Biar keren dan mantap, ya harus berkebaya anyar.
Hampir semua sekaa gong tampil mengenakan pakaian seragam, dengan kemeja warna mencolok, gemerlap, dan destar tergarap apik. Sekaa gamelan yang hebat sering dipuji karena kostumnya bagus dan hampir selalu pasti meriah. Apalagi jika sekaa gong kebyar wanita, pakaian seragam mereka digarap sangat menarik, harus disesuaikan dengan tata rias rambut dan aksesori yang dikenakan.
Sekaa pesantian yang melantunkan tembang-tembang rohani dan surgawi, jika tampil di acara-acara adat dan keagamaan, terdiri dari lanang dan wanita, juga tak mau ketinggalan, pasti mengenakan pakaian seragam. Mereka tidak percaya diri jika tampil dengan pakaian yang beraneka warna dan corak. Kebaya, kain, kemeja, dan destar seragam membuat mereka merasa hebat dan penuh semangat tampil.
Tapi muncul juga komentar lain, bahwa orang Bali sungguh-sungguh berjiwa bisnis. Para wanitanya membeli seragam baru agar para perajin kain endek dan kebaya bisa maju, berpenghasilan lebih, dan terus bertumbuh. Mereka tak peduli banyak yang memesan bahan kebaya ke bukan orang Bali, sehingga muncul pula kesan, betapa orang Bali itu sungguh penuh toleransi, membesarkan pebisnis orang luar, dengan cara terus menerus mengembangkan kegemaran memakai seragam kebaya dan kain baru.
Di Bali memang sering terjadi seperti itu: krama sibuk berkegiatan, yang memetik keuntungan justru orang lain, bukan orang-orang Bali. Ini tidak aneh, dan nyata. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar