Praktek Aturan Zonasi Dinilai Tak Maksimal
Persaingan orangtua untuk mendapatkan sekolah yang baik untuk anaknya dengan berbagai cara, setiap tahun akan membuat gaduh.
Gaduh PPDB Berulang Lagi di Tahun 2019
DENPASAR, NusaBali
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) setiap tahun selalu gaduh. Meskipun kebijakan pemerintah sebenarnya sudah bertujuan untuk keadilan. Namun prakteknya di lapangan masih belum maksimal.
Ketua LSM Bali Sruti yang juga pengamat politik dan pemerintahan, Luh Riniti Rahayu, Minggu (23/6) di Denpasar mengatakan sesuai Permendikbud No 51 tahun 2018 yang mengatur PPDB sesuai zonasi 90 % dan jalur prestasi serta perpindahan orangtua masing-masing 5%, sesungguhnya untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang pendidikan yang menjadi kewajiban negara.
Kata dia, keadilan sosial yang ingin diwujudkan dalam kebijakan politik zonasi pendidikan ini mencerdaskan bangsa yang berkeadilan tanpa diskriminasi antara si kaya dan si miskin, antara anak peserta didik pintar dan yang belum pintar. "Seharusnya semua pemangku kepentingan dan masyarakat menyambut positif kebijakan zonasi ini. masalahnya adalah politik zonasi yang diwujudkan dalam permendikbud tersebut tidak dapat terimplementasi dengan baik," ujar Riniti. Ditambahkan Riniti, adanya otonomi daerah menjadikan pemerintah daerah adalah ujung tombak pelaksanaan PPDB ini.
"Dan tentu saja kondisi masing-masing pemda di seluruh Indonesia berbeda-beda. Masalah akan muncul terutama di daerah-daerah kota besar dengan banyak sekolah unggulan. Sekolah unggulan dan sekolah non unggulan atau sekolah pinggiran yang selama ini terbentuk oleh sistem sebelumnya membuat wali murid tetap berlomba-lomba mendapatkan sekolah terbaik bagi anak-anaknya," tegas akademisi dari Universitas Ngurah Rai Denpasar ini.
Riniti membeber persaingan orangtua untuk mendapatkan sekolah yang baik untuk anaknya dengan berbagai cara, setiap tahun akan membuat gaduh. Apalagi sistem yang dipakai dalam proses penerimaan baik online, maupun manual tidak mampu mengantisipasi membeludaknya permintaan pendaftaran.
"Tingginya perbedaan sekolah favorit dan non favorit selama ini menyebabkan penerapan kebijakan zonasi yang belum dipersiapkan dengan matang mendapat penolakan banyak masyarakat," tegas Riniti.
Disebutkan Riniti, meskipun ini adalah masa transisi menuju keadilan sosial di bidang pendidikan, persiapan matang yang melibatkan semua pihak harus dilakukan. Misalnya sosialisasinya harus intensif, menjangkau ke semua lini dan lapisan masyarakat. Kesadaran masyarakat harus dibangun untuk ikut mendukung kebijakan ini, sistem dan perangkat dalam proses penerimaan PPDB harus ada perbaikan dari tahun sebelumnya.
Sebanyak 20% dana APBD harus dialokasikan kepada pendidikan, sehingga infrastruktur dan sistem pendidikan harus siap mempergunakan dana 20 % tersebut dengan efisien. "Ke depan, tidak cukup melalui permendikbud nomor 51 tahun 2018 saja, namun harus naik tingkat menjadi perpres, agar Kemendikbud tidak bekerja sendiri, agar dapat berkoordinasi atau bekerjasama dengan kementerian lain," ujar Riniti.
Bagaimana menghapus stigma sekolah favorit yang kesannya buat gaduh? Solusinya kata Riniti, sebaiknya demi keadilan sosial, sekolah negeri tidak boleh lagi menerima anak-anak berdasarkan NEM tinggi. "Sekolah negeri harus mengutamakan masyarakat yang miskin apakah anak tersebut pintar atau kurang pintar," ujarnya. *nat
Komentar