Giliran Eks Sekda Bali yang Disebut
Menurut terdakwa Alit, eks Plt Kepada Bappeda sangat berperan dalam terbitnya rekomendasi Gubernur untuk perizinan perluasan Pelabuhan Benoa.
Eksepsi Mantan Ketua Kadin dalam Kasus Dugaan Penipuan
DENPASAR, NusaBali
Selain menyebut nama anak mantan Gubernur Bali, terdakwa kasus penipuan perijinan proyek pengembangan Pelabuhan Benoa yang merupakan mantan Ketua Kadin Bali, AA Alit Wiraputra juga menyebut nama mantan Sekda Provinsi Bali, Cokorda Ngurah Pemayun dalam eksepsi (keberatan atas dakwaan) yang dibacakan di PN Denpasar, Senin (24/6).
Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim pimpinan Ida Ayu Adnya Dewi, Alit melalui kuasa hukumnya Wayan Santoso dkk mempertanyakan penyidik yang tidak pernah memeriksa Plt Kepala Bappeda saat itu, Cokorda Ngurah Pemayun. Padahal menurut Alit, eks Plt Kepada Bappeda tersebut sangat berperan dalam terbitnya rekomendasi Gubernur untuk perizinan perluasan Pelabuhan Benoa.
“Pelapor menyebut tidak pernah menerima semua perijinan. Apa artinya rekomendasi DPRD Bali tertanggal 21 Januari 2014 yang ditujukan kepada PT Segitiga Emas yang dikeluarkan melalui kajian FS dari Bappeda Provinsi Bali?,” ujar kuasa hukum Alit yang diwakili Wayan Santoso dkk.
”Sedangkan sampai saat ini mantan Plt Bappeda, Cokorda Ngurah Pemayun yang kemudian menjadi Sekda Provonsi Bali dalam mengeluarkan rekomendasi Gubernur atas nama PT Nusa Mega Penida tertanggal 4 Agustus 2014 tidak pernah di BAP oleh penyidik sebagai saksi yang ikut berperan dalam rekomendasi Gubernur,” lanjutnya dalam eksepsi.
Sementara nama Putu Pasek Sandoz Prawirottama yang merupakan anak mantan Gubernur Bali kembali disebut berperan memberikan saran dan konsultasi prosedur mengurus perijinan proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa. Selain itu, Sandoz juga disebut menerima aliran dana sebesar Rp 8,3 miliar.
Dengan rincian Sandoz mendapat Rp 7,5 Miliar dan USD $80.000 apabila ditotal Rp 8,3 miliar, Candra Wijaya sebesar Rp 4,6 miliar dan I Made Jayantara sebesar Rp1,1 miliar. “Sementara terdakwa hanya menerima Rp 2 miliar. Yang artinya terdakwa tidak berdiri sendiri dalam menerima dana tersebut tapi dibagikan sesuai peran masing-masing,” bebernya.
Dalam eksepsi, kuasa hukum Alit juga menyebut perkara ini merupakan perkara perdata tapi dipaksakan menjadi perkara pidana.
Dakwaan jaksa disebut prematur untuk diajukan ke depan persidangan PN Denpasar. Apalagi perkara pidana ini mengandung unsur ingkar janji atau wanprestasi yang harus diuji dan diperjelas dulu secara hukum perdata. “Karenanya surat dakwaan JPU sepantasnya dinyatakan tidak dapat diterima dan terdakwa harus lepas dari seluruh tuntutan hukum,” lanjutnya.
Seperti diketahui, dalam berkas dakwaan, Alit Ketek didakwa dengan dakwaan alternatif. Dalam dakwaan pertama, JPU menjerat Alit dengan Pasal 378 KUHP. “Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan mempergunakan nama palsu atau sifat palsu, dengan mempergunakan tipu muslihat atau mempergunakan sususanan kata-kata bohong, menggerakan korban Sutrisno Lukito Disatro, untuk diri sendiri atau atas nama PT Bangun Segitiga Mas untuk menyerahkan uang sebesar Rp 16, 1 miliar,” tegas JPU dalam dakwaan. *rez
1
Komentar