Perajin Barong I Wayan Reka Layak Dipertimbangkan Dapat Wija Kusuma
I Wayan Reka,77, merupakan salah satu perajin Barong ternama dari Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
GIANYAR, NusaBali
Karya-karyanya yang bernuansa sakral banyak tersebar di Pura Khayangan Tiga hampir di seluruh Bali.
Sedangkan karya-karya propannya banyak diminati kolektor nusantara, Jepang, Amerika hingga Prancis. Salah satu barong hasil karyanya bahkan telah dibeli oleh Ibu Tien Soeharto, saat mengikuti pameran di NusaDua. Sayangnya, seniman alam ini tidak ingat tahun berapa momen spesial itu terjadi. Seingatnya, Ibu Tien ketika itu kunjungan ke Bali selaku ibu negara mendampingi Presiden Soeharto yang Presiden RI kedua Indonesia, menjabat dari tahun 1967 - 1998.
Tidak saja mahir membuat Barong, suami dari Ni Ketut Kanti ini spesialis membuat pakaian tari Bali, Rangda, Topeng, Wayang, dan sejenisnya. Maka amat pantas ayah empat anak ini dipertimbangkan untuk mendapatkan penghargaan Wija Kusuma.
Ditemui di kediamannya, Selasa (25/6) kemarin, Wayan Reka mengaku sudah cukup banyak mengantongi piagam penghargaan. Namun belum pernah sekali pun mendapat penghargaan khusus Wija Kusuma. “Paling sering tiyang (saya) dapat penghargaan sebagai peserta pameran dan juara,” jelasnya.
Dari sederet piagam berbingkai yang dipajangnya di tembok rumahnya, Wayan Reka tercatat cukup sering mewakili Kabupaten Gianyar. Salah satunya tercatat sebagai Juara II Lomba Kerajinan Membuat Cenderamata dari Kulit pada PKB XIX (19) Tahun 1997. Sementara jauh sebelumnya, Wayan Reka aktif terlibat sebagai peserta pameran PKB sejak tahun 1984.
Kiprah Wayan Reka di bidang kerajinan Barong tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Seperti diketahui, Banjar Puaya, Desa Batuan merupakan sentra pembuatan kerajinan Barong, Rangda dan sejenisnya. “Tiyang (saya) mulai belajar ngukir kayu sejak tahun 1969. Ketika itu masih sekolah dasar,” terangnya. Wayan Reka belajar otodidak dari kakek dan ayahnya. Selain mengolah kayu menjadi tapel, Wayan Reka lanjutkan berkecimpung menjadi pengrajin kulit. Wayan Reka mulai membuat pakaian tari, hingga cukup dikenal oleh para seniman Bali ternama. Dua di antaranya, Prof Dr I Made Bandem dan Prof I Wayan Dibia yang sama-sama asal Kecamatan Sukawati, Gianyar. “Kokar saat itu masih di Jalan Ratna, Denpasar. Tiyang yang selalu diminta untuk membuatkan pakaian tari untuk pentas,” terangnya.
Beberapa jenis pakaian tari yang dia buat seperti Manukrawa, Margapati, Legong Keraton, Ramayana dan Pakaian Arja. “Tiyang waktu itu dibantu sekitar 16 orang pekerja. Sekarang sebagian sudah mandiri,” ungkapnya. Saat itu, Wayan Reka merasakan masa-masa kejayaan. Permintaan membuat barong maupun pakaian tari banjir dari seluruh Bali. Wayan Reka juga kerap diminta untuk membuat atau memperbaiki barong ke luar Bali. Tahun 1973, Wayan Reka mulai diminta datang ke Jakarta oleh Sanggar Saraswati pimpinan Gusti Kompyang Raka asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati. Selanjutnya sekitar tahun 1978, Wayan Reka dan rekan berkesempatan untuk membuat barong untuk koleksi Universitas Indonesia (UI) dan ditempatkan di Balai Kota Jakarta. “Waktu itu rasanya masih ikut dengan kakak misan. Barongnya diselesaikan di Bali, dirakit di Jakarta,” terangnya. Di ibu kota, Wayan Reka dan rekan menetap sekitar tiga minggu, kemudian kembali lagi untuk menetap dan berkarya di Bali. Selain Jakarta, Wayan Reka juga diundang membuat barong
di daerah Kuningan, Jawa Barat tahun 2013. Barong karyanya juga menjadi salah satu koleksi Museum Sapto Udoyo Jogjakarta. “Dulu, tiyang lupa tahunnya. Ada juga ngirim ke Lampung. Kalau itu untuk disakralkan,” jelas Kelian Dinas Banjar Puaya dua periode mulai tahun 1978 - 1980 ini. Oleh karena usia, Wayan Reka tak bisa menghindari dari sakit penuaan. Dia divonis menderita sakit batu ginjal hinga harus dioperasi sekitar tahun 2015. Meski gerak fisiknya kini tampak mulai terbatas, raut wajah Wayan Reka mengisahkan kiprahnya di bidang kerajinan barong tampak bersemangat. Dia juga tampak menggunakan alat bantu dengar pada telinga sebelah kiri. Dalam kondisi pemulihan pasca sakit, Wayan Reka tetap berkarya. Bahkan baru-baru ini ia selesai ngodakin Barong sesuhunan di sekitar Desa Tampaksiring.
Untuk satu barong standar berukuran 2 sampai 3 meter, Wayan Reka dibantu pekerjanya memerlukan waktu sekitar 3 sampai 6 bulan. Satu barong, biasa dibandrol seharga Rp 80 juta hingga ratusan juta. “Kalau pakai prada mas biasanya lebih mahal,” jelas bapak dari Ni Wayan Suparti, I Made Artawa, I Nyoman Sujaya dan I Ketut Sudarma ini. Mengenai karya-karyanya yang dikirim ke luar negeri, diakui seluruhnya melalui perantara. “Banyak yang dikirim ke luar negeri. Tapi itu lewat perantara. Diambil disini, dikirim ke Jepang, Amerika dan Prancis. Kadang-kadang, tamu datag langsung kesini untuk beli,” terangnya. Selain dikoleksi oleh Bu Tien Soeharto, sepasang barong karnya juga pernah diminati oleh Mantan Bupati Bangli Nengah Arnawa. “Ada tiga barong yang ditempatkan di Gurukula Bangli,” jelasnya. Jika dihitung, seluruh Bali Wayan Reka mengerjakan barong sakral sekitar 90 barong. Kini sebagai estafet hidupnya dalam berkarya, diserahkan pada anak ketiganya yakni I Nyoman Sujaya. “Keempat anak tyang sejatinya sebagai penerus, tapi Nyoman yang lebih fokus,” imbuhnya.*nvi
Sedangkan karya-karya propannya banyak diminati kolektor nusantara, Jepang, Amerika hingga Prancis. Salah satu barong hasil karyanya bahkan telah dibeli oleh Ibu Tien Soeharto, saat mengikuti pameran di NusaDua. Sayangnya, seniman alam ini tidak ingat tahun berapa momen spesial itu terjadi. Seingatnya, Ibu Tien ketika itu kunjungan ke Bali selaku ibu negara mendampingi Presiden Soeharto yang Presiden RI kedua Indonesia, menjabat dari tahun 1967 - 1998.
Tidak saja mahir membuat Barong, suami dari Ni Ketut Kanti ini spesialis membuat pakaian tari Bali, Rangda, Topeng, Wayang, dan sejenisnya. Maka amat pantas ayah empat anak ini dipertimbangkan untuk mendapatkan penghargaan Wija Kusuma.
Ditemui di kediamannya, Selasa (25/6) kemarin, Wayan Reka mengaku sudah cukup banyak mengantongi piagam penghargaan. Namun belum pernah sekali pun mendapat penghargaan khusus Wija Kusuma. “Paling sering tiyang (saya) dapat penghargaan sebagai peserta pameran dan juara,” jelasnya.
Dari sederet piagam berbingkai yang dipajangnya di tembok rumahnya, Wayan Reka tercatat cukup sering mewakili Kabupaten Gianyar. Salah satunya tercatat sebagai Juara II Lomba Kerajinan Membuat Cenderamata dari Kulit pada PKB XIX (19) Tahun 1997. Sementara jauh sebelumnya, Wayan Reka aktif terlibat sebagai peserta pameran PKB sejak tahun 1984.
Kiprah Wayan Reka di bidang kerajinan Barong tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Seperti diketahui, Banjar Puaya, Desa Batuan merupakan sentra pembuatan kerajinan Barong, Rangda dan sejenisnya. “Tiyang (saya) mulai belajar ngukir kayu sejak tahun 1969. Ketika itu masih sekolah dasar,” terangnya. Wayan Reka belajar otodidak dari kakek dan ayahnya. Selain mengolah kayu menjadi tapel, Wayan Reka lanjutkan berkecimpung menjadi pengrajin kulit. Wayan Reka mulai membuat pakaian tari, hingga cukup dikenal oleh para seniman Bali ternama. Dua di antaranya, Prof Dr I Made Bandem dan Prof I Wayan Dibia yang sama-sama asal Kecamatan Sukawati, Gianyar. “Kokar saat itu masih di Jalan Ratna, Denpasar. Tiyang yang selalu diminta untuk membuatkan pakaian tari untuk pentas,” terangnya.
Beberapa jenis pakaian tari yang dia buat seperti Manukrawa, Margapati, Legong Keraton, Ramayana dan Pakaian Arja. “Tiyang waktu itu dibantu sekitar 16 orang pekerja. Sekarang sebagian sudah mandiri,” ungkapnya. Saat itu, Wayan Reka merasakan masa-masa kejayaan. Permintaan membuat barong maupun pakaian tari banjir dari seluruh Bali. Wayan Reka juga kerap diminta untuk membuat atau memperbaiki barong ke luar Bali. Tahun 1973, Wayan Reka mulai diminta datang ke Jakarta oleh Sanggar Saraswati pimpinan Gusti Kompyang Raka asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati. Selanjutnya sekitar tahun 1978, Wayan Reka dan rekan berkesempatan untuk membuat barong untuk koleksi Universitas Indonesia (UI) dan ditempatkan di Balai Kota Jakarta. “Waktu itu rasanya masih ikut dengan kakak misan. Barongnya diselesaikan di Bali, dirakit di Jakarta,” terangnya. Di ibu kota, Wayan Reka dan rekan menetap sekitar tiga minggu, kemudian kembali lagi untuk menetap dan berkarya di Bali. Selain Jakarta, Wayan Reka juga diundang membuat barong
di daerah Kuningan, Jawa Barat tahun 2013. Barong karyanya juga menjadi salah satu koleksi Museum Sapto Udoyo Jogjakarta. “Dulu, tiyang lupa tahunnya. Ada juga ngirim ke Lampung. Kalau itu untuk disakralkan,” jelas Kelian Dinas Banjar Puaya dua periode mulai tahun 1978 - 1980 ini. Oleh karena usia, Wayan Reka tak bisa menghindari dari sakit penuaan. Dia divonis menderita sakit batu ginjal hinga harus dioperasi sekitar tahun 2015. Meski gerak fisiknya kini tampak mulai terbatas, raut wajah Wayan Reka mengisahkan kiprahnya di bidang kerajinan barong tampak bersemangat. Dia juga tampak menggunakan alat bantu dengar pada telinga sebelah kiri. Dalam kondisi pemulihan pasca sakit, Wayan Reka tetap berkarya. Bahkan baru-baru ini ia selesai ngodakin Barong sesuhunan di sekitar Desa Tampaksiring.
Untuk satu barong standar berukuran 2 sampai 3 meter, Wayan Reka dibantu pekerjanya memerlukan waktu sekitar 3 sampai 6 bulan. Satu barong, biasa dibandrol seharga Rp 80 juta hingga ratusan juta. “Kalau pakai prada mas biasanya lebih mahal,” jelas bapak dari Ni Wayan Suparti, I Made Artawa, I Nyoman Sujaya dan I Ketut Sudarma ini. Mengenai karya-karyanya yang dikirim ke luar negeri, diakui seluruhnya melalui perantara. “Banyak yang dikirim ke luar negeri. Tapi itu lewat perantara. Diambil disini, dikirim ke Jepang, Amerika dan Prancis. Kadang-kadang, tamu datag langsung kesini untuk beli,” terangnya. Selain dikoleksi oleh Bu Tien Soeharto, sepasang barong karnya juga pernah diminati oleh Mantan Bupati Bangli Nengah Arnawa. “Ada tiga barong yang ditempatkan di Gurukula Bangli,” jelasnya. Jika dihitung, seluruh Bali Wayan Reka mengerjakan barong sakral sekitar 90 barong. Kini sebagai estafet hidupnya dalam berkarya, diserahkan pada anak ketiganya yakni I Nyoman Sujaya. “Keempat anak tyang sejatinya sebagai penerus, tapi Nyoman yang lebih fokus,” imbuhnya.*nvi
1
Komentar