'Membidik' Turis dengan Diplomasi Budaya
Persilangan Budaya Lintas Bangsa, Berimbas pada Pariwisata
DENPASAR, NusaBali
Persilangan atau akulturasi budaya antara bangsa diyakini berimbas pada bidang lain, di luar bidang budaya (seni). Salah satunya sektor pariwisata. Hal tersebut karena seni merupakan salah satu bentuk diplomasi untuk merekatkan, menarik orang untuk berwisata. Walau secara ensensial atau intrinsik, bukanlah utama dari event akulturasi budaya. Namun pengaruhnya terhadap pariwisata, tidak bisa ditampik.
Hal tersebut terungkap di sela-sela persiapan pameran tunggal pelukis Djaya Tjandra Kirana di Santrian Gallery Sanur, Denpasar, Rabu (26/6). “Karya seni seni akulturasi dua bangsa, jelas menimbulkan kerekatan memberi pengaruh (terhadap pariwisata). Ini merupakan bentuk diplomasi juga,” ujar Dollar Astawa, Manager Gallery Santrian. Dia merujuk lukisan karya Djaya Tjandra Kirana yang bertajuk ‘Culture in Colours’, yang diantaranya dominan mengekspresikan hubungan budaya Bali/Indonesia dengan Tiongkok, dengan India, Arab dan lainnya. “Itu nilai promosi, nilai penyebarannya itu ada, sehingga pengaruhnya ada” jelas Dollar Astawa, pria asal Payangan, Gianyar.
Wisman China misalnya, lanjut Dollar Astawa tentu merasa rekat dan mengapresiasi ketika menyaksikan karya lukis yang menunjukkan akulturasi budaya Bali/Indonesia- China. Apalagi karakter dan basic pariwisata Bali, adalah pariwisata budaya. Cabang seni termasuk di dalamnya.
Ada 19 lukisan karya Djaya Tjandra Kirana yang dipamerkan di Gallery Santrian, Sanur, 28 Juni – 9 Agustus 2019. Diantaranya The Bride in My House, Barong Ket, The Priest dan lainnya. “Saya bangga, lahir tumbuh dan tua di Bali, dimana tempat yang sarat dengan budaya dan ragam tradisi yang unik,” ujar perupa 74 tahun, yang juga seorang fotografer.
Menurut Tjandra, wacana berkesenian akan bermuara pada karya visual. Melalui karya, seseorang bisa digugat, disanjung dan dipuji sebagai sebuah pencapaian. Meski demikian, dia mengaku tak terlalu hirau dengan sesuatu yang terjadi setelah karyanya terselesaikan. Biasanya hanya jadi bahan refleksi visual untuk karya berikutnya.
Dia menjelaskan, akulturasi dan perkembangan silang budaya, khususnya kebudayaan bangsa lain, seperti China, India dan Arab serta yang lainnya, secara khusus dia cermati. “Hal itulah diantaranya melekat dalam karya yang saya pamerkan,” katanya.
Pemilik Santrian Gallery Ida Bagus Gede Sidharta Putra, mengatakan karya-karya Tjandra merupakan pengejawantahan peribahasa, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. “Aktivitas seni, adat dan tradisi dan keseharian masyarakat Bali sangat kental dalam karyanya,” ujar Gusde, sapaan Ida Bagus Gede Sidharta Putra. Dia berharap semangat berkesenian yang masih menggelora di usia senja, menular kepada seniman yang lebih muda. *k17
Hal tersebut terungkap di sela-sela persiapan pameran tunggal pelukis Djaya Tjandra Kirana di Santrian Gallery Sanur, Denpasar, Rabu (26/6). “Karya seni seni akulturasi dua bangsa, jelas menimbulkan kerekatan memberi pengaruh (terhadap pariwisata). Ini merupakan bentuk diplomasi juga,” ujar Dollar Astawa, Manager Gallery Santrian. Dia merujuk lukisan karya Djaya Tjandra Kirana yang bertajuk ‘Culture in Colours’, yang diantaranya dominan mengekspresikan hubungan budaya Bali/Indonesia dengan Tiongkok, dengan India, Arab dan lainnya. “Itu nilai promosi, nilai penyebarannya itu ada, sehingga pengaruhnya ada” jelas Dollar Astawa, pria asal Payangan, Gianyar.
Wisman China misalnya, lanjut Dollar Astawa tentu merasa rekat dan mengapresiasi ketika menyaksikan karya lukis yang menunjukkan akulturasi budaya Bali/Indonesia- China. Apalagi karakter dan basic pariwisata Bali, adalah pariwisata budaya. Cabang seni termasuk di dalamnya.
Ada 19 lukisan karya Djaya Tjandra Kirana yang dipamerkan di Gallery Santrian, Sanur, 28 Juni – 9 Agustus 2019. Diantaranya The Bride in My House, Barong Ket, The Priest dan lainnya. “Saya bangga, lahir tumbuh dan tua di Bali, dimana tempat yang sarat dengan budaya dan ragam tradisi yang unik,” ujar perupa 74 tahun, yang juga seorang fotografer.
Menurut Tjandra, wacana berkesenian akan bermuara pada karya visual. Melalui karya, seseorang bisa digugat, disanjung dan dipuji sebagai sebuah pencapaian. Meski demikian, dia mengaku tak terlalu hirau dengan sesuatu yang terjadi setelah karyanya terselesaikan. Biasanya hanya jadi bahan refleksi visual untuk karya berikutnya.
Dia menjelaskan, akulturasi dan perkembangan silang budaya, khususnya kebudayaan bangsa lain, seperti China, India dan Arab serta yang lainnya, secara khusus dia cermati. “Hal itulah diantaranya melekat dalam karya yang saya pamerkan,” katanya.
Pemilik Santrian Gallery Ida Bagus Gede Sidharta Putra, mengatakan karya-karya Tjandra merupakan pengejawantahan peribahasa, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. “Aktivitas seni, adat dan tradisi dan keseharian masyarakat Bali sangat kental dalam karyanya,” ujar Gusde, sapaan Ida Bagus Gede Sidharta Putra. Dia berharap semangat berkesenian yang masih menggelora di usia senja, menular kepada seniman yang lebih muda. *k17
1
Komentar