Kasus Penyiksaan Dominan Dilakukan Polisi
Penyiksaan menyebabkan 16 korban tewas serta 114 luka-luka
JAKARTA, NusaBalik
Peneliti Kontras Rivanlee Anandar memaparkan laporan terkait situasi dan kondisi praktik penyiksaan di Indonesia selama periode Juni 2018-Mei 2019. Laporan tersebut dipaparkan dalam peringatan Hari Penyiksaan Internasional 2019 pada 26 Juni 2019 di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (26/6).
Berdasarkan data pemantauan kontras, ada 72 kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Praktik penyiksaan terjadi dominan di 5 provinsi yaitu, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
"Kita mendata provinsi seluruh Indonesia, lalu kita lihat pada lima daerah ini. Pertama ada Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa tenggara timur, dan Papua," kata Rivanlee di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (26/6) seperti dilansir kompas.
Rivanlee mengatakan, cakupan pemberitaan tentang penyiksaan cenderung sedikit karena akses informasi yang minim, terdapat isu nasional yang sedang naik, dan tertutupnya akses dari keluarga korban untuk memberikan informasi karena tekanan dari aparat.
"Jadi tiga hal tersebut menurut kami menjadi salah satu penyebab mengapa pemberitaan penyiksaan satu tahun belakangan cenderung sedikit," ujarnya.
Rivanlee mengatakan, kasus penyiksaan di 5 provinsi tersebut memiliki karakter masing-masing. Ia mengatakan, penyiksaan yang terjadi di Aceh karena masih pro kontra mendukung hukum cambuk, dan kasus Bernadus Feka dari Nusa Tenggara Timur.
"Seperti kasus Bernadus Feka dipukuli dan disiksa tanpa alasan yang jelas," tuturnya.
Rivanlee mengungkapkan, kasus-kasus penyiksaan itu menyebabkan 16 korban tewas serta 114 luka-luka. Ia mengatakan, korban paling banyak berasal dari warga sipil, disusul kemudian tahanan.
"Korban itu paling banyak adalah warga sipil, dia yang belum diberikan status sebagai saksi satu tersangka kemudian disusul oleh tahanan. Menyebabkan 114 jiwa luka-luka dan 16 jiwa tewas,” kata dia.
Rivanlee mengatakan, jenis kasus penyiksaan dan tindakan tak manusiawi yang dilakukan aparat kepolisian paling banyak terjadi dalam kasus salah tangkap dibandingkan murni kriminal. Ia mengatakan, pratik penyiksaan dengan jenis salah tangkap terjadi sebanyak 51 kasus dan 21 kasus murni kriminal.
"Persoalan modus (salah tangkap) kita temukan dalam pendampingan kontras dengan motif pengakuan (korban) dan kita melihat ada kegagalan polisi dalam mengahadapi suatu peristiwa," kata Rivanlee
Selanjutnya, Kordinator Kontras Yati Adriyani mengatakan, laporan yang dipaparkan Kontras tersebut disusun menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif. "Kami mengumpulkan informasi dan data, berdasarkan analisa hukum dan juga aturan internasional yang ada," kata Yati.
Yati juga mengatakan, penyusunan laporan tersebut berdasarkan pemantauan dan investigasi peristiwa penyiksaan yang pernah terjadi di Indonesia, dokumen dan pendampingan hukum oleh Kontras.
"Berdasarkan pendampingan hukum atau mendampingan mitigasi dan nonmitigasi yang kami lakukan di Kontras. Ketiga merujuk pada dokumen sekunder terkait persoalan ini," pungkasnya. *
Berdasarkan data pemantauan kontras, ada 72 kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Praktik penyiksaan terjadi dominan di 5 provinsi yaitu, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
"Kita mendata provinsi seluruh Indonesia, lalu kita lihat pada lima daerah ini. Pertama ada Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa tenggara timur, dan Papua," kata Rivanlee di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (26/6) seperti dilansir kompas.
Rivanlee mengatakan, cakupan pemberitaan tentang penyiksaan cenderung sedikit karena akses informasi yang minim, terdapat isu nasional yang sedang naik, dan tertutupnya akses dari keluarga korban untuk memberikan informasi karena tekanan dari aparat.
"Jadi tiga hal tersebut menurut kami menjadi salah satu penyebab mengapa pemberitaan penyiksaan satu tahun belakangan cenderung sedikit," ujarnya.
Rivanlee mengatakan, kasus penyiksaan di 5 provinsi tersebut memiliki karakter masing-masing. Ia mengatakan, penyiksaan yang terjadi di Aceh karena masih pro kontra mendukung hukum cambuk, dan kasus Bernadus Feka dari Nusa Tenggara Timur.
"Seperti kasus Bernadus Feka dipukuli dan disiksa tanpa alasan yang jelas," tuturnya.
Rivanlee mengungkapkan, kasus-kasus penyiksaan itu menyebabkan 16 korban tewas serta 114 luka-luka. Ia mengatakan, korban paling banyak berasal dari warga sipil, disusul kemudian tahanan.
"Korban itu paling banyak adalah warga sipil, dia yang belum diberikan status sebagai saksi satu tersangka kemudian disusul oleh tahanan. Menyebabkan 114 jiwa luka-luka dan 16 jiwa tewas,” kata dia.
Rivanlee mengatakan, jenis kasus penyiksaan dan tindakan tak manusiawi yang dilakukan aparat kepolisian paling banyak terjadi dalam kasus salah tangkap dibandingkan murni kriminal. Ia mengatakan, pratik penyiksaan dengan jenis salah tangkap terjadi sebanyak 51 kasus dan 21 kasus murni kriminal.
"Persoalan modus (salah tangkap) kita temukan dalam pendampingan kontras dengan motif pengakuan (korban) dan kita melihat ada kegagalan polisi dalam mengahadapi suatu peristiwa," kata Rivanlee
Selanjutnya, Kordinator Kontras Yati Adriyani mengatakan, laporan yang dipaparkan Kontras tersebut disusun menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif. "Kami mengumpulkan informasi dan data, berdasarkan analisa hukum dan juga aturan internasional yang ada," kata Yati.
Yati juga mengatakan, penyusunan laporan tersebut berdasarkan pemantauan dan investigasi peristiwa penyiksaan yang pernah terjadi di Indonesia, dokumen dan pendampingan hukum oleh Kontras.
"Berdasarkan pendampingan hukum atau mendampingan mitigasi dan nonmitigasi yang kami lakukan di Kontras. Ketiga merujuk pada dokumen sekunder terkait persoalan ini," pungkasnya. *
Komentar