Dulu Difavoritkan, Kini Sulit Dapat Siswa
Mengenang Sekolah Milik Yayasan Bhaktiyasa Singaraja
SINGARAJA, NusaBali
Sejak pemberlakuan Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui jalur zonasi pada tahun ajaran 2015/2016, sejumlah sekolah swasta di Buleleng, terpuruk. Setiap kali tahun ajaran baru, jumlah muridnya terus merosot jauh. Bahkan sudah ada sekolah swasta yang membekukan izin karena tidak dapat murid baru.
Kondisi itu terjadi pada sekolah di bawah Yayasan Bhaktiyasa Singaraja, Kota Singaraja, tepatnya Jalan Ngurah Rai Singaraja. Yayasan ini memiliki sekolah yakni jejang SMP, SMA, dan SMK jurusan Kesehatan Masyarakat. Dulu era 1970 - 80-an, sekolah miolik Yayasan Bhaktiyasa menjadi sekolah favorit. Banyak orang penting di Bali, khususnya di Buleleng, lahir dari bangku sekolah Bhaktiyasa. Sebut saja, nama Gubernur Bali I Wayan Koster, mantan Bupati Buleleng dan Wakil Bupati Buleleng Putu Bagiada dan Made Arga Pyanatih.
Seiring perjalanan waktu, sekolah Bhaktiyasa mengalami pasang surut. Kini situasi itu diperparah, dengan kebijakan PPDB melalui jalur zonasi. Sekolah pun tidak mampu lagi membiayai operasionalnya seperti gaji guru, listrik, satpam, dan biaya lainnya. Karena sebagian besar biaya operasional itu bersumber dari murid dan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Semakin banyak jumlah murid, semakin besar pula mendapatkan BOS. Namun kenyataan, sejak PPDB melalui jalur zonasi diterapkan, jumlah murid yang diterima di sekolah Bhaktyasa bisa dihitung dengan jari. “Ini yang kami rasakan memprihatinkan, pasca PPDB zonasi diterapkan kami sedikit kacau, kalang kabut, karena operasional kami lebih banyak bertumpu pada siswa. Kami tidak mengkabinghitamkan (menuduh PPDB jalur zonasi penyebabnya,Red), tetapi cobalah evaluasi berasama. Sebab dari media yang kami lihat dan baca, kan banyak persoalan,” kata Ketua Yayasan Bhaktiyasa Singaraja, Putu Mertayasa ditemui di ruang kerjanya, Selasa (2/7).
Dikatakan, sebelum kebijakan PPDB melalui jalur zonasi diterapkan, sekolahnya selalu mendapatkan siswa sampai tiga rombongan belajar (rombel), baik di SMP maupun SMA/SMK. Namun sejak PPDB jalur zonasi pada tahun ajaran 2015/2016 diterapkan, jumlah siswanya menurun dratis. Tingkat SMA hanya mendapat tiga siswa, sedangkan tingkat SMP tersisa hanya 13 orang yang akan naik ke kelas 9. Dan tahun ajaran 2019/2020, kondisi itu semakin parah karena belum ada limpahan siswa terutama tingkat SMP. Sedangkan tingkat SMA/SMK sudah dibekukan, karena tidak ada siswa lagi, setelah melipahkan 3 siswa ke sekolah swasta lainnya. “Yang siswa 3 orang SMA itu sudah kami titipkan ke sekolah swasta lainnya. Karena kami tidak mampu lagi menanggung biaya operasional. Sekarang tinggal SMP saja, kalau SMA/SMK-nya sudah tutup, kami belum kembalikan izinnya, karena kami ingin agar sekolah yang dulu favorit ini bisa dipertahankan,” ungkap Mertayasa.
Selama ini biaya operasional sekolah ditanggung melalui tiga sumber yakni dari dana BOS, dana partisipasi orang tua murid dan subsidi dari pihak Yayasan. Dana BOS dalam setahun hanya dapat Rp 1 juta per siswa, dan partisipasi orang tua murid hanya dapat Rp 50.000 persiswa perbulan. Sisanya disubsidi dari pihak Yayasan. “Nah kami dari Yayasan, sedang mengusahakan semampunya sumber-sumber dana. Terus terang saja, kami belum menemukan sumber-sumber dana itu, tetapi saya selaku ketua yayasan akan terus berusaha,” aku Mertayasa.
Selain masalah jumlah murid yang tidak kebagian, jumlah guru juga berkurang. Dulunya hampir 90 persen guru pengajar di sekolah Bhaktiyasa adalah PNS. Namun, kini hampir seluruhnya telah diambil pemerintah untuk mengajar di sekolah negeri. “Termasuk guru kontrak pun kami tidak mendapat sekarang. Kami hanya mengadalkan guru honor saja. Astungkara mereka ini memiliki integritas tinggi, walaupun honornya tidak seberapa sebenarnya,” ujar Mertayasa.
Kini pihak Yayasan berharap, di tahun ajaran 2019/2020, mendapat limpahan siswa tingkat SMP, agar sekolah Bhaktiyasa tetap beroperasi. Pihak Yayasan juga berharap, ada campur tanggan dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten mencarikan solusi ditengah situasi tersebut.*k19
Kondisi itu terjadi pada sekolah di bawah Yayasan Bhaktiyasa Singaraja, Kota Singaraja, tepatnya Jalan Ngurah Rai Singaraja. Yayasan ini memiliki sekolah yakni jejang SMP, SMA, dan SMK jurusan Kesehatan Masyarakat. Dulu era 1970 - 80-an, sekolah miolik Yayasan Bhaktiyasa menjadi sekolah favorit. Banyak orang penting di Bali, khususnya di Buleleng, lahir dari bangku sekolah Bhaktiyasa. Sebut saja, nama Gubernur Bali I Wayan Koster, mantan Bupati Buleleng dan Wakil Bupati Buleleng Putu Bagiada dan Made Arga Pyanatih.
Seiring perjalanan waktu, sekolah Bhaktiyasa mengalami pasang surut. Kini situasi itu diperparah, dengan kebijakan PPDB melalui jalur zonasi. Sekolah pun tidak mampu lagi membiayai operasionalnya seperti gaji guru, listrik, satpam, dan biaya lainnya. Karena sebagian besar biaya operasional itu bersumber dari murid dan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Semakin banyak jumlah murid, semakin besar pula mendapatkan BOS. Namun kenyataan, sejak PPDB melalui jalur zonasi diterapkan, jumlah murid yang diterima di sekolah Bhaktyasa bisa dihitung dengan jari. “Ini yang kami rasakan memprihatinkan, pasca PPDB zonasi diterapkan kami sedikit kacau, kalang kabut, karena operasional kami lebih banyak bertumpu pada siswa. Kami tidak mengkabinghitamkan (menuduh PPDB jalur zonasi penyebabnya,Red), tetapi cobalah evaluasi berasama. Sebab dari media yang kami lihat dan baca, kan banyak persoalan,” kata Ketua Yayasan Bhaktiyasa Singaraja, Putu Mertayasa ditemui di ruang kerjanya, Selasa (2/7).
Dikatakan, sebelum kebijakan PPDB melalui jalur zonasi diterapkan, sekolahnya selalu mendapatkan siswa sampai tiga rombongan belajar (rombel), baik di SMP maupun SMA/SMK. Namun sejak PPDB jalur zonasi pada tahun ajaran 2015/2016 diterapkan, jumlah siswanya menurun dratis. Tingkat SMA hanya mendapat tiga siswa, sedangkan tingkat SMP tersisa hanya 13 orang yang akan naik ke kelas 9. Dan tahun ajaran 2019/2020, kondisi itu semakin parah karena belum ada limpahan siswa terutama tingkat SMP. Sedangkan tingkat SMA/SMK sudah dibekukan, karena tidak ada siswa lagi, setelah melipahkan 3 siswa ke sekolah swasta lainnya. “Yang siswa 3 orang SMA itu sudah kami titipkan ke sekolah swasta lainnya. Karena kami tidak mampu lagi menanggung biaya operasional. Sekarang tinggal SMP saja, kalau SMA/SMK-nya sudah tutup, kami belum kembalikan izinnya, karena kami ingin agar sekolah yang dulu favorit ini bisa dipertahankan,” ungkap Mertayasa.
Selama ini biaya operasional sekolah ditanggung melalui tiga sumber yakni dari dana BOS, dana partisipasi orang tua murid dan subsidi dari pihak Yayasan. Dana BOS dalam setahun hanya dapat Rp 1 juta per siswa, dan partisipasi orang tua murid hanya dapat Rp 50.000 persiswa perbulan. Sisanya disubsidi dari pihak Yayasan. “Nah kami dari Yayasan, sedang mengusahakan semampunya sumber-sumber dana. Terus terang saja, kami belum menemukan sumber-sumber dana itu, tetapi saya selaku ketua yayasan akan terus berusaha,” aku Mertayasa.
Selain masalah jumlah murid yang tidak kebagian, jumlah guru juga berkurang. Dulunya hampir 90 persen guru pengajar di sekolah Bhaktiyasa adalah PNS. Namun, kini hampir seluruhnya telah diambil pemerintah untuk mengajar di sekolah negeri. “Termasuk guru kontrak pun kami tidak mendapat sekarang. Kami hanya mengadalkan guru honor saja. Astungkara mereka ini memiliki integritas tinggi, walaupun honornya tidak seberapa sebenarnya,” ujar Mertayasa.
Kini pihak Yayasan berharap, di tahun ajaran 2019/2020, mendapat limpahan siswa tingkat SMP, agar sekolah Bhaktiyasa tetap beroperasi. Pihak Yayasan juga berharap, ada campur tanggan dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten mencarikan solusi ditengah situasi tersebut.*k19
1
Komentar