Krama Pancasari Tampilkan Tari Sakral Sang Hyang Penyalin
Dipercaya sebagai Penolak Bala Saat Pancaroba, Sesolahan Diiringi Kidung
SINGARAJA, NusaBali
Acara pembukaan Twin Lake Festival VI 2019 di pelataran parkir Pura Ulun Danu Buyan, Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Rabu (3/7) sore, bukan hanya dimeriahkan atraksi kolosal Tari Rejang Renteng 405 Penari. Sebuah tarian sakral milik Desa Adat Pancasari, yakni tari Sang Hyang Penyalin, juga berkesempatan tampil. Tari Sang Hyang Penyalin adalah kesenian sakral yang diyakini sebagai penolak bala saat musim Pancaroba.
Tari Sang Hyang Penyalin yang ditampilkan dalam acara pembukaan Twin Lake Festival VI 2019 di tepi Danau Buyan, Rabu sore, dibawakan oleh Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Desa Pancasari. Sebelum tampil, sekaa kesenian yang sejak awal sudah melakukan persiapan matang untuk menarikan tarian sakral ini, terlebih dulu ngaturang piu-ning di Pura Ulun Danu Buyan dan palinggih di pinggir Danau Buyan.
Pantauan NusaBali, usai atur piuning, seorang krama dari Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri bergerak di barian terdepan sambil membawa pasepan, lalu diikuti sejumlah sekaa membawa tirta, bokor berisi kembang, dan tedung putih. Di belakang mereka, terlihat dua krama lanang (laki) paruh baya membawa masing-masing satu batang rotan sepanjang 2 meter yang digulung. Sedangkan sekaa kidung berada di barisan paling belakang.
Pertunjukan sakral Sang Hyang Penyalin dimulai dengan lantunan kekidungan menggunakan lirik bahasa yang sulit dipahami. Tiba-tiba, dua krama lanang paruh baya yang memegang rotan tergulung, mulai menari dengan gerakan mengguncang-guncangkan rotannya. Rotan yang dikeramatkan krama Desa Adat Pancasari itulah yang disebut Sang Hyang Penyalin, diyakini sebagai media untuk menyalurkan kekuatan dewa-dewi.
Rotan yang awalnya lentur, begitu mendapat kekuatan magis dari kidung yang dinyanyikan, mendadak jadi keras dan bergerak kesana kemari dipegangi oleh krama yang ngiring (menarikannya). Pertunjukan sakral Sang Hyang Penyalin ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung Twin Lake Festival VI, kemarin sore.
Saat prosesi ngiringang Ida Sang Hyang Penyalin di Twin Lake Festival itu, Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri memberikan kesempatan kepada hadirin ikut masolah. Bahkan, ada bule asal Belanda yang coba menarikan Sang Hyang Penyalin. Namun, tidak semua dari mereka yang mencoba mampu nyolahang (menarikan) dengan mulus Sang Hyang Penyalin.
Kelian Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Gede Adi Mustika, mengatakan tarian sakral Sang Hyang Penyalin di Desa Pancasari awalnya dibawa oleh krama asal Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem yang merantau ke desa di tepi Danau Buyan ini sekitar tahun 1958. Namun, tari Sang Hyang Penyalin sudah ada sejak tahun 1803.
Tarian sakral Sang Hyang Penyalin ini dipercaya sebagai sarana penolak bala saat musim Pancaroba. Tarian Sang Hyang Penyalin selalu ditampilkan pada Tilem Kaenem (bulan mati keenam sistem penanggalan Bali), tepat saat sandikala, yang merupakan musim Pancaroba ketika wabah penyakit datang.
“Tari Sang Hyang Penyalin ini adalah tarian sakral yang sudah dilestarian sejak tiga generasi terdahulu. Tarian sakral ini diyakini dapat menyomiakan bhuta kala yang kedatanganya saat Tilem Kaenem. Melalui Sang Hyang Penyalin ini, dewa-dewi menari untuk menyenangkan bhuta kala agar tidak ngerebeda dan meminta tumbal serta kerusakan lainnya,” ungkap Gede Adi Mustika.
Menurut Adi Mustika, tarian Sang Hyang Penyalin pertama kali ditarikan oleh dua panglingsir asal Desa Bugbug yang pertama datang ke Desa Pancasari saat kawasan ini diterjang bencana banjir dan wabah penyakit. Hewan ternak krama Pancasari kala itu banyak yang mati tanpa sebab. Dengan ditarikannya Sang Hyang Penyalin, bencana dan gerubug kontan reda.
Seiring berjalannya waktu, tarian sakral Sang Hyang Penyalin ini kemudian diadopsi oleh seluruh krama Desa Pancasari. Tari Sang Hyang Penyalin bukan hanya ditampilkan saat Tilem Kaenem untuk nyomia bhuta kala, namun juga pada Tilem Kasanga (sehari sebelum Nyepi Tahun Baru Saka). Selain itu, tarin sakral ini juga ditampilkan pada setiap piodalan di pura-pura yang ada di wewidangan Desa Adat Pancasari.
Tari Sang Hyang Penyalin yang sudah bertahan di Desa Pancasari selama tiga generasi ini, terbilang unik. Selain menggunakan rotan (penyalin) sebagai media penghubung antara manusia dengan dewa-dewi, tarian sakral ini juga masih menggunakan kekidungan sebagai pengiring, bukannya gambelan sebagaimana tarian umumnya.
Adi Mustika mengatakan, Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri yang secara sukarela ngayah masolah Sang Hyang Penyalin, wajib melakukan prosesi nedunang taksu lanang istri (laki perempuan) dari Pura Dalam Dasar Pancasari, sebelum masolah. Habis itu, diikuti dengan prosesi mapiuning.
Menurut Adi Mustika, tidak ada kriteria khusus bagi krama yang ngayah nyolahang Sang Hyang Penyalin. Siapa saja boleh pegang rotan sakral. Hanya saja, Sang Hyang Penyalin tidak selalu mau menari. Konon, jika Sang Hyang Penyalin tidak berkenan, rotan yang dipegang akan lemas dan tak mau kekeh (tegang), meskipun diguncang-guncang sekuat tenaga.
“Rotan (penyalin) itu memang salah satu tumbuhan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Tapi, tidak bisa sembarangan sembarangan cari rotan untuk Sang Hyang Penyalin. Biasanya, kami cari rotan saat rahina Soma Pemacekan Agung,” papar Adi Mustika yang kemarin didampingi tetua Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Nengah Suneden.
Bukan hanya melalui dewasa ayu (hari baik), tapi rotan yang dipilih untuk tarian sakral Sang Hyang Penyalin juga harus yang hanya tumbuh satu batang dan ujungnya mengarah ke tenggara. Biasanya, rotan untuk Sang Hyang Penyalin ini dicari di hutan kawasan Desa Pancasari.
Rotan yang telah terpilih kemudian diberi lilitan benang tri datu pada pangkalnya, sedangkan di bagian ujungnya diikatkan gongseng dan dedaunan untuk menandai sebagai bagian atas. Rotan yang panjangnya sekitar 2 meter itu kemudian dipasupati (diisi energi) sebelum ditarikan. *k23
Tari Sang Hyang Penyalin yang ditampilkan dalam acara pembukaan Twin Lake Festival VI 2019 di tepi Danau Buyan, Rabu sore, dibawakan oleh Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Desa Pancasari. Sebelum tampil, sekaa kesenian yang sejak awal sudah melakukan persiapan matang untuk menarikan tarian sakral ini, terlebih dulu ngaturang piu-ning di Pura Ulun Danu Buyan dan palinggih di pinggir Danau Buyan.
Pantauan NusaBali, usai atur piuning, seorang krama dari Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri bergerak di barian terdepan sambil membawa pasepan, lalu diikuti sejumlah sekaa membawa tirta, bokor berisi kembang, dan tedung putih. Di belakang mereka, terlihat dua krama lanang (laki) paruh baya membawa masing-masing satu batang rotan sepanjang 2 meter yang digulung. Sedangkan sekaa kidung berada di barisan paling belakang.
Pertunjukan sakral Sang Hyang Penyalin dimulai dengan lantunan kekidungan menggunakan lirik bahasa yang sulit dipahami. Tiba-tiba, dua krama lanang paruh baya yang memegang rotan tergulung, mulai menari dengan gerakan mengguncang-guncangkan rotannya. Rotan yang dikeramatkan krama Desa Adat Pancasari itulah yang disebut Sang Hyang Penyalin, diyakini sebagai media untuk menyalurkan kekuatan dewa-dewi.
Rotan yang awalnya lentur, begitu mendapat kekuatan magis dari kidung yang dinyanyikan, mendadak jadi keras dan bergerak kesana kemari dipegangi oleh krama yang ngiring (menarikannya). Pertunjukan sakral Sang Hyang Penyalin ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung Twin Lake Festival VI, kemarin sore.
Saat prosesi ngiringang Ida Sang Hyang Penyalin di Twin Lake Festival itu, Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri memberikan kesempatan kepada hadirin ikut masolah. Bahkan, ada bule asal Belanda yang coba menarikan Sang Hyang Penyalin. Namun, tidak semua dari mereka yang mencoba mampu nyolahang (menarikan) dengan mulus Sang Hyang Penyalin.
Kelian Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Gede Adi Mustika, mengatakan tarian sakral Sang Hyang Penyalin di Desa Pancasari awalnya dibawa oleh krama asal Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem yang merantau ke desa di tepi Danau Buyan ini sekitar tahun 1958. Namun, tari Sang Hyang Penyalin sudah ada sejak tahun 1803.
Tarian sakral Sang Hyang Penyalin ini dipercaya sebagai sarana penolak bala saat musim Pancaroba. Tarian Sang Hyang Penyalin selalu ditampilkan pada Tilem Kaenem (bulan mati keenam sistem penanggalan Bali), tepat saat sandikala, yang merupakan musim Pancaroba ketika wabah penyakit datang.
“Tari Sang Hyang Penyalin ini adalah tarian sakral yang sudah dilestarian sejak tiga generasi terdahulu. Tarian sakral ini diyakini dapat menyomiakan bhuta kala yang kedatanganya saat Tilem Kaenem. Melalui Sang Hyang Penyalin ini, dewa-dewi menari untuk menyenangkan bhuta kala agar tidak ngerebeda dan meminta tumbal serta kerusakan lainnya,” ungkap Gede Adi Mustika.
Menurut Adi Mustika, tarian Sang Hyang Penyalin pertama kali ditarikan oleh dua panglingsir asal Desa Bugbug yang pertama datang ke Desa Pancasari saat kawasan ini diterjang bencana banjir dan wabah penyakit. Hewan ternak krama Pancasari kala itu banyak yang mati tanpa sebab. Dengan ditarikannya Sang Hyang Penyalin, bencana dan gerubug kontan reda.
Seiring berjalannya waktu, tarian sakral Sang Hyang Penyalin ini kemudian diadopsi oleh seluruh krama Desa Pancasari. Tari Sang Hyang Penyalin bukan hanya ditampilkan saat Tilem Kaenem untuk nyomia bhuta kala, namun juga pada Tilem Kasanga (sehari sebelum Nyepi Tahun Baru Saka). Selain itu, tarin sakral ini juga ditampilkan pada setiap piodalan di pura-pura yang ada di wewidangan Desa Adat Pancasari.
Tari Sang Hyang Penyalin yang sudah bertahan di Desa Pancasari selama tiga generasi ini, terbilang unik. Selain menggunakan rotan (penyalin) sebagai media penghubung antara manusia dengan dewa-dewi, tarian sakral ini juga masih menggunakan kekidungan sebagai pengiring, bukannya gambelan sebagaimana tarian umumnya.
Adi Mustika mengatakan, Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri yang secara sukarela ngayah masolah Sang Hyang Penyalin, wajib melakukan prosesi nedunang taksu lanang istri (laki perempuan) dari Pura Dalam Dasar Pancasari, sebelum masolah. Habis itu, diikuti dengan prosesi mapiuning.
Menurut Adi Mustika, tidak ada kriteria khusus bagi krama yang ngayah nyolahang Sang Hyang Penyalin. Siapa saja boleh pegang rotan sakral. Hanya saja, Sang Hyang Penyalin tidak selalu mau menari. Konon, jika Sang Hyang Penyalin tidak berkenan, rotan yang dipegang akan lemas dan tak mau kekeh (tegang), meskipun diguncang-guncang sekuat tenaga.
“Rotan (penyalin) itu memang salah satu tumbuhan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Tapi, tidak bisa sembarangan sembarangan cari rotan untuk Sang Hyang Penyalin. Biasanya, kami cari rotan saat rahina Soma Pemacekan Agung,” papar Adi Mustika yang kemarin didampingi tetua Sekaa Sang Hyang Puspa Bala Giri, Nengah Suneden.
Bukan hanya melalui dewasa ayu (hari baik), tapi rotan yang dipilih untuk tarian sakral Sang Hyang Penyalin juga harus yang hanya tumbuh satu batang dan ujungnya mengarah ke tenggara. Biasanya, rotan untuk Sang Hyang Penyalin ini dicari di hutan kawasan Desa Pancasari.
Rotan yang telah terpilih kemudian diberi lilitan benang tri datu pada pangkalnya, sedangkan di bagian ujungnya diikatkan gongseng dan dedaunan untuk menandai sebagai bagian atas. Rotan yang panjangnya sekitar 2 meter itu kemudian dipasupati (diisi energi) sebelum ditarikan. *k23
Komentar