nusabali

Bebas Merdeka Pekak Cekol

  • www.nusabali.com-bebas-merdeka-pekak-cekol

Banyak orang berpendapat, bebas itu tidak sama dengan merdeka. Yang diburu-buru sesungguhnya adalah kebebasan. Orang-orang bebas pasti merdeka. Jika orang merdeka belum tentu sepenuhnya bebas.

Bebas dan merdeka itu, karenanya, bisa sederhana, bisa juga ruwet. Seseorang seumur hidup berjuang untuk bebas, tak pernah tercapai. Ketika sekolah ia menumpang di rumah kerabat, harus bekerja seperti pembantu rumah tangga. Syukur ia mendapat beasiswa, tapi ia akhirnya terikat harus bekerja sesuai keinginan pemberi beasiswa. Tatkala pacaran, menikah, ia terikat sama istri. Beranak pinak ia bertanggungjawab pada keluarga. Tatkala menjadi kakek, ia mengurus cucu. “Sesungguhnya seumur hidup saya tidak bebas dan tidak merdeka,” jelasnya.

Jadi, sesungguhnya, bebas dan merdeka itu apakah nyata ada? Di Sukawati, Gianyar, pernah hidup seorang lelaki dipanggil Pekak Cekol. Tahun 1970-an, ketika itu, Pekak Cekol dikenal sebagai lelaki sederhana. Sesungguhnya ia seniman besar, karena pintar menembang, menabuh, dan menari. Ia tinggal di Banjar Gelulung, menikmati hidup ketika dusun masih rimbun oleh pohon bunut dan sukun. Jalan desa belum diaspal, listrik belum masuk, suasana asri. Sepanjang hari dusun itu teduh, dan Pekak Cekol duduk, tidur-tiduran di antara rindang pohon. Ia hampir tak pernah memegang uang. Jika butuh makanan, ia datang ke warung, menukarkan kukusan yang ia anyam, sendok batok kelapa dan peralatan dapur yang ia kerjakan, dengan kopi, nyamikan, arak, tuak, atau bubur. Sesudah itu terbungkuk-bungkuk pulang sambil menembang. Selalu begitu hampir saban hari.

Ia bares (pemurah, suka memberi) kepada siapa saja. Jika anak-anak dusun memetik jambu, mangga atau belimbing di rumahnya, dengan suka hati ia mengizinkan. Tentu istrinya tidak senang, tapi Pekak Cekol akan membela anak-anak itu. “Biarkan saja, mereka anak-anak yang sedang menikmati kebebasan dan kemerdekaan,” ujarnya. Ia juga bares kepada burung-burung. Ia menganjurkan burung-burung tak usah dihalau ketika tahu istrinya mengusir hama burung ketika padi mulai bernas. “Biarkan saja, mereka hanya memakan padi-padi itu sepenuh tembolok. Lihatlah, burung-burung itu tidak membawa karung merampok padi kita.”

Pekak Cekol mengenakan baju itu ke itu saja. Lusuh, robek di sana-sini, dan selalu terbuka di bagian dada, karena kancingnya lepas, tanggal entah ke mana. Ia juga tak akan mandi jika memang merasa nyaman tidak mandi. Anak-anak menyukainya, karena ia senang bercerita dan mendongeng. Ia benar-benar menikmati hidup, seperti seorang sanyasin yang lepas dari tuntutan dan jeratan duniawi. Orang-orang yang mengenalnya sering berkomentar, “Hidup seperti Pekak Cekol itulah hidup yang bebas merdeka.

Komentar