Warga Tegal Jambangan Pertanyakan Keabsahan Sertifikat
Warga Tegal Jambangan, Desa Sayan Kecamatan Ubud, Gianyar, mempertanyakan kejelasan sertifikat lahan seluas 35 hektare yang diklaim oleh pangempon Pura Kemuda Sari Saraswati, Ubud.
GIANYAR, NusaBali
Sebab warga ini mengaku telah berabad-abad tinggal hingga beranak cucu di Tegal Jambangan. Pertanyaan warga itu dilontarkan melalui pengacaranya, Putu Arsana, beberapa waktu lalu. Kata dia, warga juga bertanya-tanya karena pangempon pura itu hanya berbekal status kepemilikan lahan duwe pura luas 20 are, dengan mudahnya menerbitkan sertifikat 35 hektare. Sertifikat sudah diterbitkan berdasarkan prona tahun 1995 oleh Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Gianyar. Putu Arsana menilai tidak benar bahwa warga pemilik lahan di Tegal Jambangan merupakan penyakap tanah. Hal tersebut, kata dia, berdasarkan surat Iuran Pembangunan Daerah (IPDA) tahun 1976-1977, semuanya tercatat atas nama tetua warga. “Kalau dibilang penyakap, kan tidak masuk akal," jelasnya. Disebutkan, dalam perkara perdata terungkap pengempon pura hanya mengajukan bukti kepemilikan tanah seluas 20 are, padahal sertifikat yang diterbitkan untuk tanah itu seluas kurang lebih 35 hektare. "Secara prinsip, yang dipermasalahkan adalah penerbitan sertifikat itu terindikasi bodong. Kalau pihak pengempon bisa menjelaskan bagaimana proses penerbitan sertifikat dari awal dan masuk akal, kami siap akan meninggalkan Tegal Jambangan,” tegasnya.
Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menuntut kejelasan status tanah itu. Namun hingga kini warga tidak mendapatkan kejelasan. “Sudah sejak tahun 2008 saya dampingi. Sudah kemana-mana, bahkan sampai ke Komnas Ham,” terangnya.
Salah satu warga yang ikut ke Komnas Ham, Dewa Made Suwanda,58, sangat menyayangkan minimnya respon atas aduan warga Tegal Jambangan. “Kami mengadu dalam keadaan lelah dan tertindas. Tindaklanjutnya sampai sekarang tidak ada kejelasan. Sangat disayangkan Komnas Ham seolah tidak mau membela rakyat kecil. Semua aspirasi seolah diabaikan,” sesalnya.
Dikonfirmasi terpisah, pengacara Pangempon Pura Taman Kemuda Saraswati, Ubud, Cokorda Oka Yudhana, bersama dua rekannya, I Wayan Ambon Antara dan I Wayan Suyasa memberikan keterangan, terkait kronologis Tegal Jambangan. Pura Taman Kemuda Saraswati merupakan salah satu Pura Kahyangan milik Puri Agung Ubud, di Kelurahan Ubud. Puri Ubud menugaskan Puri Saren Kauh untuk mengempon pura tersebut sampai saat ini.
Sebagai rasa tanggung jawab atas kelangsungan pura ini, leluhur Cok Ibah, Tjokorda Agung Suyasa, pernah membeli tanah tegalan dari Puri Sayan seluar 30 hektar yang kemudian didaftarkan sebagai tanah duwe. Pada 2 September 1957, terbitlah Surat Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia (DD/Petok D), kemudian berdasarkan prona tahun 1995, oleh BPN Gianyar diterbutkan sertifikat hak milik dari tanah-tanah tersebut atas nama Duwe Pura Taman Kemuda Saraswati.
“Untuk memberi manfaat atas keberadaan tanah-tanah tersebut, baik kepada pura itu sendiri maupun masyarakat sekitar, maka sudah sangat bijaksana leluhur klien kami mengijinkan masyarakat yang datang ke puri untuk menggarap tanah-tanah tersebut masyarakat yang diijinkan bukan hanya berasal dari Desa Sayan, tetapi ada juga dari Kutaraga (Badung), dengan syarat para penggerap menyetor hasil dan melakukan ayahan di Pura Taman Kemuda Saraswati,” ujar Cok Yudhana.
Lanjut Cok Yudhana, untuk memastikan dan mengawasi berjalannya penggarapan dan penyetoran hasil, pengempon pura menunjuk sejumlah orang sebagai sedahan. Ada yang membuat pondokan di lokasi penggarapan. Pondok tersebut selain sebagai tempat berteduh, juga sebagai tempat mengumpulkan hasil kebun yang kemudian disetorkan ke pengempon pura.
“Saat ini, banyak penggarap yang sudah meninggal. Saat ini cucu-cucunya, tidak meneruskannya, karena tanah tidak efektif lagi, sehingga beberapa ada yang dijual, ada yang masih duwe pura, dan ada yang dikerjasamakan, dengan tujuan supaya tanah tidak terbengkalai. Sebagai rasa terima kasih pada leuhurnya, keturunan pengharap juga sudah dikasi kompesasi, per are tanah yang digarap dikasih Rp 10 juta,” ujarnya. *nvi
Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menuntut kejelasan status tanah itu. Namun hingga kini warga tidak mendapatkan kejelasan. “Sudah sejak tahun 2008 saya dampingi. Sudah kemana-mana, bahkan sampai ke Komnas Ham,” terangnya.
Salah satu warga yang ikut ke Komnas Ham, Dewa Made Suwanda,58, sangat menyayangkan minimnya respon atas aduan warga Tegal Jambangan. “Kami mengadu dalam keadaan lelah dan tertindas. Tindaklanjutnya sampai sekarang tidak ada kejelasan. Sangat disayangkan Komnas Ham seolah tidak mau membela rakyat kecil. Semua aspirasi seolah diabaikan,” sesalnya.
Dikonfirmasi terpisah, pengacara Pangempon Pura Taman Kemuda Saraswati, Ubud, Cokorda Oka Yudhana, bersama dua rekannya, I Wayan Ambon Antara dan I Wayan Suyasa memberikan keterangan, terkait kronologis Tegal Jambangan. Pura Taman Kemuda Saraswati merupakan salah satu Pura Kahyangan milik Puri Agung Ubud, di Kelurahan Ubud. Puri Ubud menugaskan Puri Saren Kauh untuk mengempon pura tersebut sampai saat ini.
Sebagai rasa tanggung jawab atas kelangsungan pura ini, leluhur Cok Ibah, Tjokorda Agung Suyasa, pernah membeli tanah tegalan dari Puri Sayan seluar 30 hektar yang kemudian didaftarkan sebagai tanah duwe. Pada 2 September 1957, terbitlah Surat Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia (DD/Petok D), kemudian berdasarkan prona tahun 1995, oleh BPN Gianyar diterbutkan sertifikat hak milik dari tanah-tanah tersebut atas nama Duwe Pura Taman Kemuda Saraswati.
“Untuk memberi manfaat atas keberadaan tanah-tanah tersebut, baik kepada pura itu sendiri maupun masyarakat sekitar, maka sudah sangat bijaksana leluhur klien kami mengijinkan masyarakat yang datang ke puri untuk menggarap tanah-tanah tersebut masyarakat yang diijinkan bukan hanya berasal dari Desa Sayan, tetapi ada juga dari Kutaraga (Badung), dengan syarat para penggerap menyetor hasil dan melakukan ayahan di Pura Taman Kemuda Saraswati,” ujar Cok Yudhana.
Lanjut Cok Yudhana, untuk memastikan dan mengawasi berjalannya penggarapan dan penyetoran hasil, pengempon pura menunjuk sejumlah orang sebagai sedahan. Ada yang membuat pondokan di lokasi penggarapan. Pondok tersebut selain sebagai tempat berteduh, juga sebagai tempat mengumpulkan hasil kebun yang kemudian disetorkan ke pengempon pura.
“Saat ini, banyak penggarap yang sudah meninggal. Saat ini cucu-cucunya, tidak meneruskannya, karena tanah tidak efektif lagi, sehingga beberapa ada yang dijual, ada yang masih duwe pura, dan ada yang dikerjasamakan, dengan tujuan supaya tanah tidak terbengkalai. Sebagai rasa terima kasih pada leuhurnya, keturunan pengharap juga sudah dikasi kompesasi, per are tanah yang digarap dikasih Rp 10 juta,” ujarnya. *nvi
Komentar