Ortu Siswa Mesadu Lagi ke Dewan
Puluhan orangtua bersama anaknya kembali mengadu (mesadu) ke DPRD Bali menyampaikan keluhan masih tidak diterimanya anak-anak mereka di SMA/SMK negeri, meskipun Gubernur Bali Wayan Koster sudah mengeluarkan surat edaran terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahap kedua yang seleksinya berdasarkan pemeringkatan Nilai Ujian Nasional (NUN).
DENPASAR, NusaBali
"Berapa jumlah yang belum terakomodasi, berapa yang sudah masuk ke swasta, dari pengumuman besoklah kami akan mengambil keputusan solusi 1, 2, atau 3," kata Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta saat menerima pengaduan para orangtua siswa tersebut, di Wantilan DPRD Bali, di Denpasar, Senin (8/7) siang.
Sebelumnya para orang tua siswa juga sudah menyampaikan keluhannya kepada Dewan Bali pada Kamis (4/7) lalu yang saat itu diterima oleh Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Wirya, Kepala Disdik Bali Ketut Ngurah Boy Jayawibawa dan anggota Komisi IV lainnya.
Menurut Parta, alternatif solusi yang ditawarkan bisa dengan menambah ruang kelas baru, jika tidak cukup juga dengan menambah kelas sore, dan yang terakhir harus menambah sekolah baru.
Bahkan pihaknya segera berkoordinasi dengan Gubernur Bali untuk menyelesaikan ‘kisruh’ PPDB jenjang SMA/SMK Negeri tahun pelajaran 2019/2020 ini. "Policy tertinggi harus Dewan dengan Gubernur, bukan Dewan dengan Sekdis Disdik yang datang ini. Apalagi menyangkut urusan anggaran juga," ujarnya.
Parta mengatakan pihaknya tidak akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait solusi persoalan PPDB tahun ini. "Ini urusan daerah, Menteri sudah mengeluarkan zonasi ternyata hasilnya begini, kita selesaikan di daerah," ucap politisi PDI Perjuangan ini.
Terkait Surat Edaran Gubernur Bali bernomor 422.1/36200/BPTEKDIK/DISDIK tertanggal 5 Juli 2019 yang diharapkan dengan adanya optimalisasi daya tampung dapat menampung semua anak-anak yang tidak masuk melalui Jalur Zonasi, diakuinya belum dapat menyelesaikan persoalan PPDB karena anak-anak yang sudah mendaftar di sekolah swasta juga ikut seleksi tahap ini. "Yang sudah di swasta jangan nambah lagi ke sekolah negeri karena jadi tambah ruwet, yang sudah bayar apalagi, cukuplah di sekolah swasta, agar tidak tambah ruwet. Nanti makin banyak, susah kami mengambil keputusan," ujarnya.
Untuk membantu meringankan biaya pendidikan di SMA/SMK swasta, Parta memastikan akan dibantu Pemprov Bali melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa). "Sudah kami anggarkan di 2019 ini untuk membantu sekolah swasta yang tidak mandiri," kata Parta.
Politisi yang lolos ke Senayan dalam Pemilu 2019 ini mengatakan, SMA/SMK swasta khususnya yang berada di pedesaan sangat membutuhkan adanya dana pendamping BOS dari pemerintah daerah, walaupun ada juga sekolah swasta yang tidak mau menerima BOSDa.
Sementara itu, Eli Setiawati, salah satu orangtua siswa menyayangkan banyaknya siswa-siswi yang sebelumnya sudah mendaftar di sekolah swasta, justru ikut mendaftar lagi di SMA Negeri setelah mengetahui adanya SE Gubernur Bali soal PPDB tahap kedua dengan pemeringkatan nilai UN tersebut. Akibatnya kuota daya tampung sekolah yang masih ada, direbut kembali oleh banyak siswa. "Kemana anak-anak kami akan bersekolah?," ucapnya.
Menurutnya, sistem PPDB Jalur Zonasi pada tahun lalu masih lebih fair karena ada penghargaan terhadap nilai UN siswa. Eli mengkhawatirkan dengan sistem PPDB saat ini akan menurunkan semangat siswa untuk belajar. karena meskipun berprestasi, namun tetap sulit bahkan bisa tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di SMA/SMK negeri jika posisi rumah jauh dari sekolah.
Posisi tempat tinggalnya di Peguyangan Kangin, Denpasar, yang jaraknya sekitar 3,76 kilometer dari SMA negeri terdekat telah menyebabkan anaknya tidak diterima di SMA negeri. Eli mengaku masih menemukan oknum siswa yang menggunakan surat keterangan domisili bodong, namun namanya masih ada di daftar siswa yang diterima di SMA Negeri. Ada juga warga yang memiliki KK Denpasar, namun memiliki surat keterangan domisili Denpasar juga.
Gede Rusna, orangtua siswa lainnya yang tinggal di Dalung, Kuta, Kabupaten Badung mengaku sakit hati karena dengan selisih jarak 300 meter, anaknya tidak berhasil diterima di SMAN 1 Kuta Utara, Badung. "Siswa yang diterima yang jarak rumahnya terjauh 1,2 kilometer, sedangkan jarak rumah saya dengan SMAN 1 Kuta Utara 1,5 kilometer," ucapnya.
Setelah keluarnya SE Gubernur Bali nomor 422.1/36200/BPTEKDIK/DISDIK itu, Rusna juga kembali mendaftarkan anaknya. Hanya saja, kuota yang tersisa sebanyak 20 orang, sedangkan anaknya mendapatkan nomor 256 karena banyak juga yang sudah mendaftar di sekolah swasta, kembali berebut kuota di sekolah negeri. *nat
"Berapa jumlah yang belum terakomodasi, berapa yang sudah masuk ke swasta, dari pengumuman besoklah kami akan mengambil keputusan solusi 1, 2, atau 3," kata Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta saat menerima pengaduan para orangtua siswa tersebut, di Wantilan DPRD Bali, di Denpasar, Senin (8/7) siang.
Sebelumnya para orang tua siswa juga sudah menyampaikan keluhannya kepada Dewan Bali pada Kamis (4/7) lalu yang saat itu diterima oleh Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Wirya, Kepala Disdik Bali Ketut Ngurah Boy Jayawibawa dan anggota Komisi IV lainnya.
Menurut Parta, alternatif solusi yang ditawarkan bisa dengan menambah ruang kelas baru, jika tidak cukup juga dengan menambah kelas sore, dan yang terakhir harus menambah sekolah baru.
Bahkan pihaknya segera berkoordinasi dengan Gubernur Bali untuk menyelesaikan ‘kisruh’ PPDB jenjang SMA/SMK Negeri tahun pelajaran 2019/2020 ini. "Policy tertinggi harus Dewan dengan Gubernur, bukan Dewan dengan Sekdis Disdik yang datang ini. Apalagi menyangkut urusan anggaran juga," ujarnya.
Parta mengatakan pihaknya tidak akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait solusi persoalan PPDB tahun ini. "Ini urusan daerah, Menteri sudah mengeluarkan zonasi ternyata hasilnya begini, kita selesaikan di daerah," ucap politisi PDI Perjuangan ini.
Terkait Surat Edaran Gubernur Bali bernomor 422.1/36200/BPTEKDIK/DISDIK tertanggal 5 Juli 2019 yang diharapkan dengan adanya optimalisasi daya tampung dapat menampung semua anak-anak yang tidak masuk melalui Jalur Zonasi, diakuinya belum dapat menyelesaikan persoalan PPDB karena anak-anak yang sudah mendaftar di sekolah swasta juga ikut seleksi tahap ini. "Yang sudah di swasta jangan nambah lagi ke sekolah negeri karena jadi tambah ruwet, yang sudah bayar apalagi, cukuplah di sekolah swasta, agar tidak tambah ruwet. Nanti makin banyak, susah kami mengambil keputusan," ujarnya.
Untuk membantu meringankan biaya pendidikan di SMA/SMK swasta, Parta memastikan akan dibantu Pemprov Bali melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa). "Sudah kami anggarkan di 2019 ini untuk membantu sekolah swasta yang tidak mandiri," kata Parta.
Politisi yang lolos ke Senayan dalam Pemilu 2019 ini mengatakan, SMA/SMK swasta khususnya yang berada di pedesaan sangat membutuhkan adanya dana pendamping BOS dari pemerintah daerah, walaupun ada juga sekolah swasta yang tidak mau menerima BOSDa.
Sementara itu, Eli Setiawati, salah satu orangtua siswa menyayangkan banyaknya siswa-siswi yang sebelumnya sudah mendaftar di sekolah swasta, justru ikut mendaftar lagi di SMA Negeri setelah mengetahui adanya SE Gubernur Bali soal PPDB tahap kedua dengan pemeringkatan nilai UN tersebut. Akibatnya kuota daya tampung sekolah yang masih ada, direbut kembali oleh banyak siswa. "Kemana anak-anak kami akan bersekolah?," ucapnya.
Menurutnya, sistem PPDB Jalur Zonasi pada tahun lalu masih lebih fair karena ada penghargaan terhadap nilai UN siswa. Eli mengkhawatirkan dengan sistem PPDB saat ini akan menurunkan semangat siswa untuk belajar. karena meskipun berprestasi, namun tetap sulit bahkan bisa tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di SMA/SMK negeri jika posisi rumah jauh dari sekolah.
Posisi tempat tinggalnya di Peguyangan Kangin, Denpasar, yang jaraknya sekitar 3,76 kilometer dari SMA negeri terdekat telah menyebabkan anaknya tidak diterima di SMA negeri. Eli mengaku masih menemukan oknum siswa yang menggunakan surat keterangan domisili bodong, namun namanya masih ada di daftar siswa yang diterima di SMA Negeri. Ada juga warga yang memiliki KK Denpasar, namun memiliki surat keterangan domisili Denpasar juga.
Gede Rusna, orangtua siswa lainnya yang tinggal di Dalung, Kuta, Kabupaten Badung mengaku sakit hati karena dengan selisih jarak 300 meter, anaknya tidak berhasil diterima di SMAN 1 Kuta Utara, Badung. "Siswa yang diterima yang jarak rumahnya terjauh 1,2 kilometer, sedangkan jarak rumah saya dengan SMAN 1 Kuta Utara 1,5 kilometer," ucapnya.
Setelah keluarnya SE Gubernur Bali nomor 422.1/36200/BPTEKDIK/DISDIK itu, Rusna juga kembali mendaftarkan anaknya. Hanya saja, kuota yang tersisa sebanyak 20 orang, sedangkan anaknya mendapatkan nomor 256 karena banyak juga yang sudah mendaftar di sekolah swasta, kembali berebut kuota di sekolah negeri. *nat
Komentar