Sekolah Swasta Merasa Dirugikan Carut Marut PPDB
Carut marut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Bali, membuat sekolah swasta kecewa dan mengelus dada.
DENPASAR, NusaBali
Masalahnya, sistem PPDB yang seharusnya berpijak pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 seringkali tidak dijalankan secara konsisten, sehingga sekolah swasta dirugikan.
Kekecewaan ini terungkap saat pertemuan Badan Musyawarah Pergu-ruan Swasta (BPMS) Kabupaten/Kota se-Bali di Perdiknas Denpasar, Kamis (11/7). Dalam pertemuan itu, disoroti kasus di Denpasar, yang dibuka PPDB SMP Negeri gelombang kedua dengan seleksi Nilai UN (NUN). Sementara di tingkat Provinsi Bali juga hampir sama, dilakukan seleksi berdasarkan perankingan NUN sesuai Surat Edaran (SE) Gubernur, meskipun tidak diistilahkan sebagai PPDB gelombang kedua, melainkan optimalisasi daya tampung.
“Pemerintah harus menutup kran sekolah negeri sesuai dengan kuota. Seharusnya, ketika sekolah negeri sudah full, arahkan ke sekolah swasta yang ada di sekitarnya. Sekolah swasta belum ada yang tutup,” ungkap Ketua BPMS Provinsi Bali, MS Chandra Jaya, dalam pertemuan kemarin.
Menurut Chandra Jaya, bila alasan yang digunakan adalah sekolah swasta mahal, pemerintah seharusnya membantu dengan subsidi. Kalau sekolah negeri dianggap gratis, maka swasta bayar Rp 1 pun akan dirasa mahal, apabila pembayaran itu diperbandingkan. Masyarakat terjebak dengan kata gratis.
“Sikap kami, pemerintah juga harus mengevaluasi sekolah gratis terhadap negeri. Pemerintah kan tidak adil di sini. Kalau negeri gratis, swasta disuruh bayar. Kemudian, swasta dibilang mahal. Supaya tidak mahal, makanya APBD bawa ke situ (sekolah swasta, Red),” pintanya.
Membangun sekolah baru, kata Chandra, bukanlah sebuah solusi yang tepat. Pemerintah seharusnya juga mendorong sekolah swasta agar berkembang dan berkualitas. Dengan begitu, pemerintah terbantu untuk mewujudkan seluruh anak-anak di Bali tertampung semua untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. “Sikap BMPS menolak pendirian sekolah negeri baru. Apalagi, dibangun di sekitar sekolah swasta yang sudah ada. Pemerintah seharusnya dorong swasta biar maju, edukasi masyarakat kalau sekolah di mana saja sama. Saya tidak pernah mendengar pernyataan para penguasa negeri ini untuk mengarahkan masyarakat agar memilih sekolah swasta. Ironis memang,” keluh Chandra.
Akibat carut marut PPDB ini, tanpa disadari telah mempengaruhi masyarakat untuk beramai-ramai ‘meninggalkan’ sekolah swasta. Banyak sekolah swasta yang kekurangan murid dan teracam tutup, sebagaimana terjadi di Karangasem, Jembrana, Badung, dan Gianyar. “Setelah dibuka pendaftaran lagi pakai NUN, banyak siswa yang pindah ke sekolah negeri,” protes Chandra.
Sementara, sekretaris BMPS Bali, Blasius, menyatakan fenomena sekolah swasta tutup ini terjadi dalam 2 tahun terakhir, sejak bergulirnya sekolah negeri yang gratis. Karena sepinya peserta didik baru, ada sekolah swasta yang sudah tutup, sementara yang lainnya mulai tidak menerima siswa baru.
“Terancam tutup, karena hanya satu-dua peserta yang mendaftar. Namun, secara pasti data riil itu ada di kabupaten/kota seperti di Klungkung, Tabanan, dan Jembrana. Kalau pemerintah mau mengambil kebijakan, tanya juga pihak terkait. Ada BMPS di setiap kabupaten/kota dan provinsi. Kita di swasta belum ada yang tutup pendaftaran. Semestinya, ada koordinasi,” tegas Blasius.
Sementara itu, Ketua BMPS Kota Denpasar, Nyoman Subrata, mengaku sangat kecewa dengan PPDB yang kebanyakan dilanggar. Apalagi, sampai jumlah dalam satu rombel dilanggar tidak sesuai dapodik. Seharusnya, dalam satu rombongan belajar (Rombel) SMA maksimal 36 orang, SMP maksimal 32 orang, dan SD maksimal 28 orang. “Tapi, kenyataannya bahkan ada yang buka double shift, seperti di SMPN 2 Denpasar, SMPN 5 Denpasar. Apa artinya Permendikbud itu kalau semua dilanggar oleh Dinas Pendidikan? Ini jelas merugikan sekolah swasta,” sergah Subrata.
“Sampai saat ini kami sekolah swasta masih buka. Bahkan, masih kekurangan calon siswa sesuai dengan daya tampung kami. Contoh, Perdiknas di sini juga kekurangan siswa. Kami di Harapan Nusantara baru menerima 140 siswa dari daya tampung 200 orang. Saya rasa yang mengatakan sekolah swasta sudah tutup itu rekayasa oknum orangtua siswa biar anaknya bisa sekolah di negeri,” lanjut Subrata.
Subrata merasa sekolah swasta dianaktirikan. Kalau penting baru dibutuhkan, jika tak butuh ya didepak begitu saja. Akibat PPDB yang banyak dilanggar ini, akhirnya sekolah swasta kebanyakan kekurangan siswa. “Jumlah sekolah swasta di Denpasar saat ini ada 64 sekolah untuk SMP. Rata-rata sekolah swasta di sini masih kekurangan siswa. Kami menginginkan sekolah negeri jangan melanggar daya tampung yang sudah ditentukan,” pintanya.
Sementara, setelah pertemuan di Perdiknas kemarin, rencananya BMPS Kabupaten/Kota akan menemui Gubernur Bali Wayan Koster untuk mencarikan solusi agar sekolah swasta juga terayomi. “Kita carikan waktu yang baik untuk ketemu Pak Gubernur. Kalau dalam jangka waktu satu-dua hari, mungkin nggak akan bisa memperbaiki situasi. Artinya, ini untuk perbaikan PPDB di tahun depan,” imbuh Subrata. *ind
Kekecewaan ini terungkap saat pertemuan Badan Musyawarah Pergu-ruan Swasta (BPMS) Kabupaten/Kota se-Bali di Perdiknas Denpasar, Kamis (11/7). Dalam pertemuan itu, disoroti kasus di Denpasar, yang dibuka PPDB SMP Negeri gelombang kedua dengan seleksi Nilai UN (NUN). Sementara di tingkat Provinsi Bali juga hampir sama, dilakukan seleksi berdasarkan perankingan NUN sesuai Surat Edaran (SE) Gubernur, meskipun tidak diistilahkan sebagai PPDB gelombang kedua, melainkan optimalisasi daya tampung.
“Pemerintah harus menutup kran sekolah negeri sesuai dengan kuota. Seharusnya, ketika sekolah negeri sudah full, arahkan ke sekolah swasta yang ada di sekitarnya. Sekolah swasta belum ada yang tutup,” ungkap Ketua BPMS Provinsi Bali, MS Chandra Jaya, dalam pertemuan kemarin.
Menurut Chandra Jaya, bila alasan yang digunakan adalah sekolah swasta mahal, pemerintah seharusnya membantu dengan subsidi. Kalau sekolah negeri dianggap gratis, maka swasta bayar Rp 1 pun akan dirasa mahal, apabila pembayaran itu diperbandingkan. Masyarakat terjebak dengan kata gratis.
“Sikap kami, pemerintah juga harus mengevaluasi sekolah gratis terhadap negeri. Pemerintah kan tidak adil di sini. Kalau negeri gratis, swasta disuruh bayar. Kemudian, swasta dibilang mahal. Supaya tidak mahal, makanya APBD bawa ke situ (sekolah swasta, Red),” pintanya.
Membangun sekolah baru, kata Chandra, bukanlah sebuah solusi yang tepat. Pemerintah seharusnya juga mendorong sekolah swasta agar berkembang dan berkualitas. Dengan begitu, pemerintah terbantu untuk mewujudkan seluruh anak-anak di Bali tertampung semua untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. “Sikap BMPS menolak pendirian sekolah negeri baru. Apalagi, dibangun di sekitar sekolah swasta yang sudah ada. Pemerintah seharusnya dorong swasta biar maju, edukasi masyarakat kalau sekolah di mana saja sama. Saya tidak pernah mendengar pernyataan para penguasa negeri ini untuk mengarahkan masyarakat agar memilih sekolah swasta. Ironis memang,” keluh Chandra.
Akibat carut marut PPDB ini, tanpa disadari telah mempengaruhi masyarakat untuk beramai-ramai ‘meninggalkan’ sekolah swasta. Banyak sekolah swasta yang kekurangan murid dan teracam tutup, sebagaimana terjadi di Karangasem, Jembrana, Badung, dan Gianyar. “Setelah dibuka pendaftaran lagi pakai NUN, banyak siswa yang pindah ke sekolah negeri,” protes Chandra.
Sementara, sekretaris BMPS Bali, Blasius, menyatakan fenomena sekolah swasta tutup ini terjadi dalam 2 tahun terakhir, sejak bergulirnya sekolah negeri yang gratis. Karena sepinya peserta didik baru, ada sekolah swasta yang sudah tutup, sementara yang lainnya mulai tidak menerima siswa baru.
“Terancam tutup, karena hanya satu-dua peserta yang mendaftar. Namun, secara pasti data riil itu ada di kabupaten/kota seperti di Klungkung, Tabanan, dan Jembrana. Kalau pemerintah mau mengambil kebijakan, tanya juga pihak terkait. Ada BMPS di setiap kabupaten/kota dan provinsi. Kita di swasta belum ada yang tutup pendaftaran. Semestinya, ada koordinasi,” tegas Blasius.
Sementara itu, Ketua BMPS Kota Denpasar, Nyoman Subrata, mengaku sangat kecewa dengan PPDB yang kebanyakan dilanggar. Apalagi, sampai jumlah dalam satu rombel dilanggar tidak sesuai dapodik. Seharusnya, dalam satu rombongan belajar (Rombel) SMA maksimal 36 orang, SMP maksimal 32 orang, dan SD maksimal 28 orang. “Tapi, kenyataannya bahkan ada yang buka double shift, seperti di SMPN 2 Denpasar, SMPN 5 Denpasar. Apa artinya Permendikbud itu kalau semua dilanggar oleh Dinas Pendidikan? Ini jelas merugikan sekolah swasta,” sergah Subrata.
“Sampai saat ini kami sekolah swasta masih buka. Bahkan, masih kekurangan calon siswa sesuai dengan daya tampung kami. Contoh, Perdiknas di sini juga kekurangan siswa. Kami di Harapan Nusantara baru menerima 140 siswa dari daya tampung 200 orang. Saya rasa yang mengatakan sekolah swasta sudah tutup itu rekayasa oknum orangtua siswa biar anaknya bisa sekolah di negeri,” lanjut Subrata.
Subrata merasa sekolah swasta dianaktirikan. Kalau penting baru dibutuhkan, jika tak butuh ya didepak begitu saja. Akibat PPDB yang banyak dilanggar ini, akhirnya sekolah swasta kebanyakan kekurangan siswa. “Jumlah sekolah swasta di Denpasar saat ini ada 64 sekolah untuk SMP. Rata-rata sekolah swasta di sini masih kekurangan siswa. Kami menginginkan sekolah negeri jangan melanggar daya tampung yang sudah ditentukan,” pintanya.
Sementara, setelah pertemuan di Perdiknas kemarin, rencananya BMPS Kabupaten/Kota akan menemui Gubernur Bali Wayan Koster untuk mencarikan solusi agar sekolah swasta juga terayomi. “Kita carikan waktu yang baik untuk ketemu Pak Gubernur. Kalau dalam jangka waktu satu-dua hari, mungkin nggak akan bisa memperbaiki situasi. Artinya, ini untuk perbaikan PPDB di tahun depan,” imbuh Subrata. *ind
1
Komentar