Pahami Kehamilan Berisiko Tinggi Sebelum Tambah Anak
Belum lama ini, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Bali yang menyarankan agar masyarakat Bali memiliki empat anak.
DENPASAR, NusaBali
Tentu Pemerintah Provinsi Bali menginginkan keluarga yang berkualitas namun tetap melestarikan nama Nyoman dan Ketut. Sah-sah saja bila ada yang menginginkan punya empat anak. Namun dari sisi kesehatan, pasangan suami istri perlu memahami kehamilan yang berisiko tinggi sebelum memutuskan memiliki anak lagi.
“Setiap kehamilan memiliki risiko, namun ada yang berisiko rendah dan berisiko tinggi,” ujar dokter spesialis Obgin RSUP Sanglah dr Made Bagus Dwi Aryana SpOG, Jumat (19/7).
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas kehamilan seseorang. Pun dengan kehamilan berisiko tinggi. Dwi Aryana menjelaskan, pertama, ada kehamilan berisiko tinggi yang berpotensi gawat obstetric (APGO). Faktornya yaitu hamil terlalu muda (usia 16 tahun), hamil terlalu tua (usia 35 tahun ke atas), hamil lagi di usia tua lebih dari 35 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan kehamilan pertama pun bisa berisiko, karena setiap kehamilan memiliki risiko.
Kemudian faktor lainnya, karena terlalu dekat jarak anaknya yaitu kurang dari dua tahun, terlalu banyak melahirkan (lebih dari 4 kali), dan terlalu pendek tinggi ibu yaitu 145 cm. Termasuk kehamilan berpotensi gawat obstetric yaitu pernah melahirkan dengan bedah sesar (SC), pernah bersalin dengan bedah vaginal, dan pernah gagal hamil sebelumnya (abortus).
Sementara itu, ada juga kehamilan berisiko tinggi yang gawat obstetric (AGO). Kehamilan berisiko jenis ini biasanya kehamilan dengan penyakit yang diderita ibu seperti asma, diabetes mellitus, jantung, icterus, PMS, HIV/AIDS, malaria, tensi tinggi. “Selain itu juga kehamilan kembar, jumlah ketuban banyak, kehamilan lewat waktu persalinan, kehamilan dengan kondisi bayi meninggal dalam kandungan, bayi dengan posisinya sungsang dan letak lintang,” jelasnya.
Sedangkan yang ketiga ada yang dinamakan kehamilan berisiko tinggi yang gawat darurat obstetric (AGDO). Kehamilan jenis ini, karena terjadi perdarahan dalam kehamilan, dan pre eklamsia berat atau eklamsia. Pendarahan bisa juga disebabkan gizinya kurang dan ibunya anemia.
Diungkapkan dr Dwi Aryana, sering hamil di usia ibu yang makin tua juga mempengaruhi kehamilan. Semakin tua seseorang hamil, semakin mudah ia terkena penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, kelainan jantung. “Selain itu, semakin tua ibu itu hamil, ada potensi down syndrome juga pada anaknya, di atas 35 atau di atas 40,” imbuhnya.
Di sisi lain, jika terlalu sering hamil, maka otot-otot di rahim, penyangga dan penyokong di rahim lelah. Pada saat rahim lelah, hal tersebut mempermudah terjadinya perdarahan pasca persalinan. “Misalnya hamil empat kali, lima kali, enam kali, capek ototnya. Setiap dia hamil, otot itu meregang dan berkontraksi,” katanya. *ind
Tentu Pemerintah Provinsi Bali menginginkan keluarga yang berkualitas namun tetap melestarikan nama Nyoman dan Ketut. Sah-sah saja bila ada yang menginginkan punya empat anak. Namun dari sisi kesehatan, pasangan suami istri perlu memahami kehamilan yang berisiko tinggi sebelum memutuskan memiliki anak lagi.
“Setiap kehamilan memiliki risiko, namun ada yang berisiko rendah dan berisiko tinggi,” ujar dokter spesialis Obgin RSUP Sanglah dr Made Bagus Dwi Aryana SpOG, Jumat (19/7).
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas kehamilan seseorang. Pun dengan kehamilan berisiko tinggi. Dwi Aryana menjelaskan, pertama, ada kehamilan berisiko tinggi yang berpotensi gawat obstetric (APGO). Faktornya yaitu hamil terlalu muda (usia 16 tahun), hamil terlalu tua (usia 35 tahun ke atas), hamil lagi di usia tua lebih dari 35 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan kehamilan pertama pun bisa berisiko, karena setiap kehamilan memiliki risiko.
Kemudian faktor lainnya, karena terlalu dekat jarak anaknya yaitu kurang dari dua tahun, terlalu banyak melahirkan (lebih dari 4 kali), dan terlalu pendek tinggi ibu yaitu 145 cm. Termasuk kehamilan berpotensi gawat obstetric yaitu pernah melahirkan dengan bedah sesar (SC), pernah bersalin dengan bedah vaginal, dan pernah gagal hamil sebelumnya (abortus).
Sementara itu, ada juga kehamilan berisiko tinggi yang gawat obstetric (AGO). Kehamilan berisiko jenis ini biasanya kehamilan dengan penyakit yang diderita ibu seperti asma, diabetes mellitus, jantung, icterus, PMS, HIV/AIDS, malaria, tensi tinggi. “Selain itu juga kehamilan kembar, jumlah ketuban banyak, kehamilan lewat waktu persalinan, kehamilan dengan kondisi bayi meninggal dalam kandungan, bayi dengan posisinya sungsang dan letak lintang,” jelasnya.
Sedangkan yang ketiga ada yang dinamakan kehamilan berisiko tinggi yang gawat darurat obstetric (AGDO). Kehamilan jenis ini, karena terjadi perdarahan dalam kehamilan, dan pre eklamsia berat atau eklamsia. Pendarahan bisa juga disebabkan gizinya kurang dan ibunya anemia.
Diungkapkan dr Dwi Aryana, sering hamil di usia ibu yang makin tua juga mempengaruhi kehamilan. Semakin tua seseorang hamil, semakin mudah ia terkena penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, kelainan jantung. “Selain itu, semakin tua ibu itu hamil, ada potensi down syndrome juga pada anaknya, di atas 35 atau di atas 40,” imbuhnya.
Di sisi lain, jika terlalu sering hamil, maka otot-otot di rahim, penyangga dan penyokong di rahim lelah. Pada saat rahim lelah, hal tersebut mempermudah terjadinya perdarahan pasca persalinan. “Misalnya hamil empat kali, lima kali, enam kali, capek ototnya. Setiap dia hamil, otot itu meregang dan berkontraksi,” katanya. *ind
1
Komentar