Bioskop Tukad #03 Putar Karya Sineas Dwitra J Ariana
Bioskop Tukad, sebuah acara yang diselenggarakan dalam rangka perjalanan menuju Denpasar Documentary Film Festival (DDFF) 2019, kembali diselenggarakan di Taman Kumbasari, Tukad Badung, Sabtu (20/7) malam.
DENPASAR, NusaBali
Kali ini gelaran tersebut menampilkan karya-karya Dwitra J Ariana, seorang sineas dokumenter Bali yang banyak berjaya di berbagai ajang film Nasional, bahkan internasional. Adapun karya-karya tersebut adalah Petani Terakhir, Lampion-lampion, Masean’s Message, dan Sang Pembakar.
Menurut IGK Trisna Pramana, motor utama Bioskop Tukad, pemilihan karya-karya ini berdasar pertimbangan bahwa karya-karya tersebut merupakan karya-karya terbaik yang menjadi kebanggan Bali.
“Di luar karyanya yang hebat dan sangat layak ditonton oleh publik luas, Dwitra J Ariana sendiri sebagai sutradara merupakan tokoh yang unik dan inspiratif. Kesehariannya sebagai seorang petani tak menimbun kreativitasnya sebagai pembuat film. Ini sangat menarik. Jarang ada tokoh seperti dia,” papar Trisna.
Petani Terakhir mengisahkan suasana batin Nyoman Sutama, seorang petani di Kawasan Penatih, Denpasar, satu diantara segelintir warga desa yang masih mengukuhi profesi sebagai petani. Hampir semua kawan Sutama telah menjual sawah mereka. Harga tanah yang tinggi membuat mereka tergiur untuk menangguk uang dari situ. Hasilnya bisa untuk memperbaiki rumah dan membuat kos-kosan. Hanya Nyoman Sutama yang tetap menggarap lahan warisan orangtuanya, meskipun hasil panen tak seberapa dan kesulitan mengurus sawah semakin menjadi. Suatu ketika ia mendiskusikan keinginannya untuk menjual beberapa petak sawah dengan ibunya.
Film yang diproduksi dengan dana stimulan dari DDFF ini memenangi penghargaan sebagai film dokumenter terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2016 dan masuk kompilasi S-Express yang diputar di seluruh negara Asia Tenggara.
Lampion-lampion berkisah tentang kehidupan toleransi yang kuat antara warga keturunan Tionghoa dan warga asli Bali di Desa Lampu, Bangli. Film ini tampil sebagai film terbaik Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011. FFDB adalah cikal-bakal terbentuknya DDFF. Lampion-lampion tampil sebagai nominasi film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun yang sama.
Masean’s Message berkisah tentang upaya rekonsiliasi korban tragedi G30S/PKI di Desa masean, Jembrana. Film ini juga menjadi nominasi peraih Piala Citra FFI 2016 dan diputar dalam ajang Singapore International Film Festival (SGIFF) 2017.
Sang Pembakar adalah karya Dwitra J. Ariana bersama Ucu Agustin dan Hari Suprayitno. Sang Pembakar merupakan hasil Single Shot Cinema(SSC)Workshop yang diselenggarakan oleh Ecco Film dan disponsori oleh Ford Foundation. Ketiga sutradara adalah peserta workshop yang dimentor langsung oleh Leonard Retel Helmrich. Leonard mendampingi peserta secara penuh untuk dapat memproduksi film dengan metode SSC.
Sang Pembakar berkisah tentang posisi dilema yang dihadapi petani-petani kelapa sawit di Muaro Jambi, Sumatera saat harus membuka kebun. Biaya sewa alat berat sangat mahal, sementara membakar hutan adalah cara yang mereka sadari melanggar peraturan.
Bioskop Tukad diselenggarakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa jika kita merawat sungai dengan baik, maka sungai-sungai tak hanya berfungsi sebagai saluran air semata. Ia juga dapat sebagai tempat berekreasi, berkreasi, dan aktivitas positif lainnya.
“Kali ini kami berupaya menarik film dokumenter menjadi sesuatu yang akrab bagi masyarakat. Kami memperkenalkan kepada publik bahwa film dokumenter tak melulu berbicara tentang sesuatu yang serius, tetapi juga hal-hal biasa bahkan klise dalam keseharian kita,” ujar Maria Ekaristi, Direktur DDFF. *
Menurut IGK Trisna Pramana, motor utama Bioskop Tukad, pemilihan karya-karya ini berdasar pertimbangan bahwa karya-karya tersebut merupakan karya-karya terbaik yang menjadi kebanggan Bali.
“Di luar karyanya yang hebat dan sangat layak ditonton oleh publik luas, Dwitra J Ariana sendiri sebagai sutradara merupakan tokoh yang unik dan inspiratif. Kesehariannya sebagai seorang petani tak menimbun kreativitasnya sebagai pembuat film. Ini sangat menarik. Jarang ada tokoh seperti dia,” papar Trisna.
Petani Terakhir mengisahkan suasana batin Nyoman Sutama, seorang petani di Kawasan Penatih, Denpasar, satu diantara segelintir warga desa yang masih mengukuhi profesi sebagai petani. Hampir semua kawan Sutama telah menjual sawah mereka. Harga tanah yang tinggi membuat mereka tergiur untuk menangguk uang dari situ. Hasilnya bisa untuk memperbaiki rumah dan membuat kos-kosan. Hanya Nyoman Sutama yang tetap menggarap lahan warisan orangtuanya, meskipun hasil panen tak seberapa dan kesulitan mengurus sawah semakin menjadi. Suatu ketika ia mendiskusikan keinginannya untuk menjual beberapa petak sawah dengan ibunya.
Film yang diproduksi dengan dana stimulan dari DDFF ini memenangi penghargaan sebagai film dokumenter terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2016 dan masuk kompilasi S-Express yang diputar di seluruh negara Asia Tenggara.
Lampion-lampion berkisah tentang kehidupan toleransi yang kuat antara warga keturunan Tionghoa dan warga asli Bali di Desa Lampu, Bangli. Film ini tampil sebagai film terbaik Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011. FFDB adalah cikal-bakal terbentuknya DDFF. Lampion-lampion tampil sebagai nominasi film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun yang sama.
Masean’s Message berkisah tentang upaya rekonsiliasi korban tragedi G30S/PKI di Desa masean, Jembrana. Film ini juga menjadi nominasi peraih Piala Citra FFI 2016 dan diputar dalam ajang Singapore International Film Festival (SGIFF) 2017.
Sang Pembakar adalah karya Dwitra J. Ariana bersama Ucu Agustin dan Hari Suprayitno. Sang Pembakar merupakan hasil Single Shot Cinema(SSC)Workshop yang diselenggarakan oleh Ecco Film dan disponsori oleh Ford Foundation. Ketiga sutradara adalah peserta workshop yang dimentor langsung oleh Leonard Retel Helmrich. Leonard mendampingi peserta secara penuh untuk dapat memproduksi film dengan metode SSC.
Sang Pembakar berkisah tentang posisi dilema yang dihadapi petani-petani kelapa sawit di Muaro Jambi, Sumatera saat harus membuka kebun. Biaya sewa alat berat sangat mahal, sementara membakar hutan adalah cara yang mereka sadari melanggar peraturan.
Bioskop Tukad diselenggarakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa jika kita merawat sungai dengan baik, maka sungai-sungai tak hanya berfungsi sebagai saluran air semata. Ia juga dapat sebagai tempat berekreasi, berkreasi, dan aktivitas positif lainnya.
“Kali ini kami berupaya menarik film dokumenter menjadi sesuatu yang akrab bagi masyarakat. Kami memperkenalkan kepada publik bahwa film dokumenter tak melulu berbicara tentang sesuatu yang serius, tetapi juga hal-hal biasa bahkan klise dalam keseharian kita,” ujar Maria Ekaristi, Direktur DDFF. *
1
Komentar