Anak Jalanan Gianyar Pantang Kewala Ngigel
Petualangan Estetik Dek Dog, Seniman Tari asal Pasdalem, Gianyar
GIANYAR, NusaBaIi
Bali punya banyak seniman. Ada yang seninya bertumbuh kembang sejak belia, ada pula yang ‘terjerumus’ jadi seniman dadakan. Seniman serba bisa, Kadek Agus Astawa,48, alias Dek Dog, salah seorang seniman Bali yang bertumbuh kembang sejak belia itu.
‘’Sepertinya, unik kalau dikisahkan. Dulunya, saya anak kecil yang suka menggambar. Tapi sekarang malah menekuni tarian,’’ kenang seniman tari dan patung asal Banjar Pasdalem, Kelurahan Gianyar, Kecamatan/Kabupaten Gianyar ini, Kamis (25/7).
Talenta seni di tubuh Dek Dog bertumbuh jernih sejak masih duduk di bangku SD. Kala itu, dia amat menyukai pelajaran yang masih berkelindan dengan seni. Menggambar, berkriya sani, dan menyukai tetarian Bali. Dek Dog kecil, suka menyaksikan warga banjar belajar menari hingga ngayah menari di sejumlah pura. ‘’Saya baru sadar, sepertinya saya tipe orang yang tak suka dengan kemapanan dalam berkesenian. Terbukti, saya tak fokus dengan salah satu seni,’’ jelas penari barong sejak 1989 ini.
Dek Dog menyadari, sepahit apa pun itu, hidup adalah pelajaran untuk diri dan keluarga. Dia pun tak terbayang jika harus menjalani laku diri sebagai pragina. Kerena masa kanak-kanak hingga remajanya lebih banyak dihabiskan untuk luntang-lantung di jalanan. Waktu muda dia suka minum-minuman keras bersama teman-teman. Selebihnya, sering tidur di Pasar Umum Gianyar. Amat jarang pulang. Dia hidup dari keluarga yang jauh dari mapan. Ayah dan ibunya cerai hingga sekolahnya terganggu. Dek Dog sempat bersekolah SMA sampai kelas tiga, namun tak tamat. Setelah direnungkannya dalam-dalam, dia memutuskan untuk keluar dari pergaulan ‘gelap’ itu.
Toh, pergaulan kawula mudanya banyak habis di jalanan Kota Gianyar tak melunturkan bakat seninya. Bermodal bakat seni menggambar sejak belia, Dek Dog remaja kepincut bahkan amat menyukai seni rupa terutama lukis. Dia banyak belajar melukis dengan sejumlah guru dan penekun seni rupa khas Pengosekan, di Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Salah seorang guru yang paling dia kenang di sana adalah guru melukis, Dewa Putu Warjaya. Ketekunannya belajar melukis menjadikan dirinya sebagai pelukis yang diperhitungkan, setidaknya oleh para sahabat dan guru seni. Karya-karya Dek Dog dominan menjulurkan hakikat alam dan figur pewayangan. Pesan-pesan karyanya sarat makna representasi kehidupan yang ‘riang ke dalam’, namun tetap berbungkus humanisme.
Pergulatan hidupnya yang begitu pahit menjadikan Dek Dog sebagai seniman yang terjerumus pada anti kemapanan. Dia tak mau mengunci pikirannya pada satu titik seni yang menoton dan cenderung membosankan. Tatkala menemukan satu ruang ekspresi yang diyakini, dia melompat ke ruang lain dan mengeksplor seluruh potensi seni dalam diri. Baginya seni bukan urusan puas tidak puas, melainkan wahana jelajah diri yang meluas dan tak terbatas. Namun demikian Dek Dog tetap menjadi seniman yang taat asas; menjaga keliaran naluri seni dan memosikan ‘ruang bebas’ itu terbingkai dengan nilai-nilai kehidupan, sastra, dan agama Hindu.
Maka secara tak sadar, dia telah menanami hidupnya dengan kabakuan spirit; hidup adalah seni, seni adalah seni itu sendiri. Salah satu bukti anti kemapanan itu, setelah berhasil menekuni seni rupa, saat beranjak dewasa, dia tercebur ke dunia seni drama gong. Dia memerankan Raja Buduh. ‘’Tapi beberapa kali saya lakoni seni drama gong, saya merasa belum juga puas,’’ ujar suami Desak Made Suartini ini.
Dek Dog punya alasan kuat tentang ketakpuasannya pada seni drama gong. Karena seni ini hanya mengeksplorasi dialog, tanpa seni gerak atau tari. Oleh karena itu, kisaran tahun 1990an, dia mulai menekuni prembon dan topeng. Karena wujud seni ini tergolong kesenian Bali yang lengkap. Ada paduan kuat antara wirama (ucap-ucap dan nyanyian), wiraga (gerak dan ekspresi) dan wirasa (kemuliaan rasa) yang mengagumkan. Namun sebelum terjun ke prembon dan topeng, dia sering ngayah mapang (menarikan) Barong. ‘’Untuk penguasaan Tari Barong, saya banyak berguru dengan seniman barong (asal Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar,Red),
Pekak Kersa (alm),’’ jelasnya.
Ketekunannya ngayah Mrembon (menarikan Prembon), Nopeng (menarikan topeng), dan Mapang Barong, membukakan pintu dirinya makin mendalami seni tari Calonarang. Dek Dog mampu memerankan Pandung secara perkasa. Peran ini makin melekat pada dirinya hingga dia kini rajin menari Calonarang ke pelosok Bali dan luar Bali.
Dek Dog tetap belajar dan berguru seni pada panggung dan salah seorang dedongkot seni, Made Sija. Seniman ini adalah pembina Sanggar Seni Paripurna, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Seniman tua yang satu ini terkenal sebagai seniman serba bisa. Dia dalang wayang kulit mumpuni, penari topeng, penekun karawitan, penambang wirama yang handal. Dia juga ‘mpu’ seni dari ribuan seniman asal Bali, nusantara, bahkan luar negeri.
Hingga kini, Dek Dog pun kerap dilibatkan dalam sejumlah garapan seni di Sanggar Paripurna. Sebagaimana diketahui, dalam kancah seni mutakhir di Bali, sanggar ini terkenal dengan kesuksesannya menggarap sendratari kolosal baik di Gianyar, luar Gianyar, hingga luar Bali. Dalam garapan itu, Dek Dog lebih sering berperan sebagai Begawan. Tak hanya menari, Dek Dog juga piawai membuat tapel atau Topeng hingga Barong. Topeng-topeng buatannya selain ditarikan sendiri, juga untuk seniman lain.
Dia sangat berharap dalam menjalani seni selalu berpakem pada nilai-nilai sastra dan agama Hindu. Dengan itu, seni bisa terus menjadi bagian penting dalam hidup, untuk ngayah, bukan seni untuk hidup. ‘’Saya tak ingin kewala ngigel (sekadar menari), apalagi ngae kedek tanpa isi (tertawa tanpa makna), lan jaruh (dan porno),’’ ujar ayah dari Putu Gde Oka Dony Krisna dan Kadek Aristania ini.*lsa
‘’Sepertinya, unik kalau dikisahkan. Dulunya, saya anak kecil yang suka menggambar. Tapi sekarang malah menekuni tarian,’’ kenang seniman tari dan patung asal Banjar Pasdalem, Kelurahan Gianyar, Kecamatan/Kabupaten Gianyar ini, Kamis (25/7).
Talenta seni di tubuh Dek Dog bertumbuh jernih sejak masih duduk di bangku SD. Kala itu, dia amat menyukai pelajaran yang masih berkelindan dengan seni. Menggambar, berkriya sani, dan menyukai tetarian Bali. Dek Dog kecil, suka menyaksikan warga banjar belajar menari hingga ngayah menari di sejumlah pura. ‘’Saya baru sadar, sepertinya saya tipe orang yang tak suka dengan kemapanan dalam berkesenian. Terbukti, saya tak fokus dengan salah satu seni,’’ jelas penari barong sejak 1989 ini.
Dek Dog menyadari, sepahit apa pun itu, hidup adalah pelajaran untuk diri dan keluarga. Dia pun tak terbayang jika harus menjalani laku diri sebagai pragina. Kerena masa kanak-kanak hingga remajanya lebih banyak dihabiskan untuk luntang-lantung di jalanan. Waktu muda dia suka minum-minuman keras bersama teman-teman. Selebihnya, sering tidur di Pasar Umum Gianyar. Amat jarang pulang. Dia hidup dari keluarga yang jauh dari mapan. Ayah dan ibunya cerai hingga sekolahnya terganggu. Dek Dog sempat bersekolah SMA sampai kelas tiga, namun tak tamat. Setelah direnungkannya dalam-dalam, dia memutuskan untuk keluar dari pergaulan ‘gelap’ itu.
Toh, pergaulan kawula mudanya banyak habis di jalanan Kota Gianyar tak melunturkan bakat seninya. Bermodal bakat seni menggambar sejak belia, Dek Dog remaja kepincut bahkan amat menyukai seni rupa terutama lukis. Dia banyak belajar melukis dengan sejumlah guru dan penekun seni rupa khas Pengosekan, di Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Salah seorang guru yang paling dia kenang di sana adalah guru melukis, Dewa Putu Warjaya. Ketekunannya belajar melukis menjadikan dirinya sebagai pelukis yang diperhitungkan, setidaknya oleh para sahabat dan guru seni. Karya-karya Dek Dog dominan menjulurkan hakikat alam dan figur pewayangan. Pesan-pesan karyanya sarat makna representasi kehidupan yang ‘riang ke dalam’, namun tetap berbungkus humanisme.
Pergulatan hidupnya yang begitu pahit menjadikan Dek Dog sebagai seniman yang terjerumus pada anti kemapanan. Dia tak mau mengunci pikirannya pada satu titik seni yang menoton dan cenderung membosankan. Tatkala menemukan satu ruang ekspresi yang diyakini, dia melompat ke ruang lain dan mengeksplor seluruh potensi seni dalam diri. Baginya seni bukan urusan puas tidak puas, melainkan wahana jelajah diri yang meluas dan tak terbatas. Namun demikian Dek Dog tetap menjadi seniman yang taat asas; menjaga keliaran naluri seni dan memosikan ‘ruang bebas’ itu terbingkai dengan nilai-nilai kehidupan, sastra, dan agama Hindu.
Maka secara tak sadar, dia telah menanami hidupnya dengan kabakuan spirit; hidup adalah seni, seni adalah seni itu sendiri. Salah satu bukti anti kemapanan itu, setelah berhasil menekuni seni rupa, saat beranjak dewasa, dia tercebur ke dunia seni drama gong. Dia memerankan Raja Buduh. ‘’Tapi beberapa kali saya lakoni seni drama gong, saya merasa belum juga puas,’’ ujar suami Desak Made Suartini ini.
Dek Dog punya alasan kuat tentang ketakpuasannya pada seni drama gong. Karena seni ini hanya mengeksplorasi dialog, tanpa seni gerak atau tari. Oleh karena itu, kisaran tahun 1990an, dia mulai menekuni prembon dan topeng. Karena wujud seni ini tergolong kesenian Bali yang lengkap. Ada paduan kuat antara wirama (ucap-ucap dan nyanyian), wiraga (gerak dan ekspresi) dan wirasa (kemuliaan rasa) yang mengagumkan. Namun sebelum terjun ke prembon dan topeng, dia sering ngayah mapang (menarikan) Barong. ‘’Untuk penguasaan Tari Barong, saya banyak berguru dengan seniman barong (asal Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar,Red),
Pekak Kersa (alm),’’ jelasnya.
Ketekunannya ngayah Mrembon (menarikan Prembon), Nopeng (menarikan topeng), dan Mapang Barong, membukakan pintu dirinya makin mendalami seni tari Calonarang. Dek Dog mampu memerankan Pandung secara perkasa. Peran ini makin melekat pada dirinya hingga dia kini rajin menari Calonarang ke pelosok Bali dan luar Bali.
Dek Dog tetap belajar dan berguru seni pada panggung dan salah seorang dedongkot seni, Made Sija. Seniman ini adalah pembina Sanggar Seni Paripurna, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Seniman tua yang satu ini terkenal sebagai seniman serba bisa. Dia dalang wayang kulit mumpuni, penari topeng, penekun karawitan, penambang wirama yang handal. Dia juga ‘mpu’ seni dari ribuan seniman asal Bali, nusantara, bahkan luar negeri.
Hingga kini, Dek Dog pun kerap dilibatkan dalam sejumlah garapan seni di Sanggar Paripurna. Sebagaimana diketahui, dalam kancah seni mutakhir di Bali, sanggar ini terkenal dengan kesuksesannya menggarap sendratari kolosal baik di Gianyar, luar Gianyar, hingga luar Bali. Dalam garapan itu, Dek Dog lebih sering berperan sebagai Begawan. Tak hanya menari, Dek Dog juga piawai membuat tapel atau Topeng hingga Barong. Topeng-topeng buatannya selain ditarikan sendiri, juga untuk seniman lain.
Dia sangat berharap dalam menjalani seni selalu berpakem pada nilai-nilai sastra dan agama Hindu. Dengan itu, seni bisa terus menjadi bagian penting dalam hidup, untuk ngayah, bukan seni untuk hidup. ‘’Saya tak ingin kewala ngigel (sekadar menari), apalagi ngae kedek tanpa isi (tertawa tanpa makna), lan jaruh (dan porno),’’ ujar ayah dari Putu Gde Oka Dony Krisna dan Kadek Aristania ini.*lsa
Komentar