Fanatik Bumbu Rajang
Jika bertanya pada orang Bali, bumbu apa yang paling mereka suka, paling meriah, yang luar biasa, mereka pasti akan menjawab: bumbu rajang.
Orang Bali juga menyebutnya sebagai basa genep, bumbu lengkap. Bumbu lengkap ini ibarat kalender Bali, adalah kalender paling lengkap di dunia. Tidak hanya hari baik disuguhkan, tapi juga hari-hari buruk yang harus dihindari.
Rajang bermakna dicincang, basa berarti bumbu, dan genep artinya lengkap. Bumbu rajang itu bumbu lengkap yang dicincang. Begitu lengkap, sehingga ia disebut basa gede, bumbu yang paling besar, megah, tidak ada yang sanggup mengalahkan, dan pasti sangat populer di hari penampahan Galungan dan Kuningan.
Seberapa lengkap bumbu rajang itu? Ada yang menyebut basa genep mengandung belasan rempah. Ada orang Bali yang sangat bangga pada basa genep dengan mengatakan, bumbu ini mengandung 48 macam bahan dari beraneka ragam. Si pemberi informasi sendiri tidak bisa merinci ke-48 jenis bumbu itu. Yang jelas, dia semakin bangga ketika mengungkapkan bahwa basa genep itu sudah ada sejak lebih 2.000 tahun silam, sebelum masehi.
Guru besar sejarah Universitas Udayana Anak Agung Bagus Wirawan, seperti dilansir Kompas.com memperkirakan bumbu genep ada sejak zaman Bali kuno. ”Di lontar bumbu genep tercatat dengan istilah usaba. Tradisi menulis lontar telah ada sejak orang Bali mengenal sistem pertanian subak 2.000 tahun silam. Sebelumnya, usaba mungkin sudah ada tetapi tidak tercatat,” ujar Wirawan. Usaba, kemudian dikenal sebagai ngusaba, merupakan upacara selamatan dalam subak atau desa.
Basa genep yang dikenal sekarang tentu sudah mengalami evolusi. Bisa jadi ini bumbu primitif, sehingga sangat melekat dalam sanubari rasa orang Bali. Lidah dan perut orang Bali seakan-akan tak terpisahkan dengan kuliner dengan bumbu rajang ini. Wajar, jika banyak yang fanatik sama basa gede. Apa pun masakannya, basa genep bumbunya. Memasak sayur, memanggang ayam, membuat lawar, memasak babi, berkuah maupun digoreng, senantiasa dengan basa genep.
Banyak orang Bali yang membuat basa gede dalam jumlah banyak, kemudian disimpan di kulkas, digunakan sewaktu-waktu, siap siaga diperlukan. Membuat sup ikan, bumbu rajang juga dimanfaatkan. Basa gede ini pun kemudian dikenal sebagai sebagai bumbu dasar, bumbu dari segala bumbu dalam kuliner Bali. Kalau dalam seni pertunjukan, ia ibarat tari gambuh, ibu dari semua tari Bali.
Ada beberapa pemuda Bali yang kos di Denpasar, acap masak sendiri, selalu tergantung pada bumbu genep ini. Begitu fanatik mereka sama bumbu rajang, jika pulang kampung membuat basa genep dan dibawa ke tempat kos. Kalau lagi buru-buru ke tempat kerja atau kuliah, mereka masak mie, bukan mie kemasan dengan bumbu bawaan, tapi mie bungkus diisi kuah, ditambah sayur, dan bumbunya basa genep. Tentu sebagian orang ini aneh, memasak mie dengan bumbu rajang. Namun mereka suka, sangat menikmati, seperti menyeruput komoh (sup) yang biasa disantap bersama lawar.
Membuat basa genep butuh waktu lama, harus serius dan pintar membuat takaran rempah-rempah. Acap kali kebanyakan rempah bumbu jadi terasa keras. Jika jenis bungkil (umbi-umbian) seperti kunyit, isen (lengkuas), tidak pas takarannya, bumbu jadi terasa pengap dan membuat tenggorokan tercekat, saluran hidung perih, ketika menyantap masakan. Dibutuhkan mandor (penanggung jawab masakan) yang piawai untuk menghasilkan bumbu yang nyangluh (gurih).
Jika ada upacara adat di pura atau di banjar, yang membutuhkan adonan kuliner seperti lawar dalam jumlah banyak, pembuatan bumbu rajang harus disiapkan dengan teliti. Lazimnya ada waktu khusus yang tidak bersamaan dengan hari H membuat masakan, sering sehari sebelumnya. Yang terlibat pun warga banjar.
Masakan Bali itu memang dikerjakan dengan santai, sambil bergelak tawa, tapi serius (dilakoni oleh para mandor). Itu mungkin sebabnya masakan seperti lawar atau komoh yang dikerjakan ketika upacara odalan di pura atau di banjar menjadi sedap dan mantap, karena digarap dengan riang gembira dan suntuk. Mereka yang berkali menikmati lawar mantap dengan basa gede inilah yang kemudian menjadi fanatik bumbu rajang. Kapan pun, di mana pun, selama itu di Bali, mereka ingin makan masakan dengan bumbu rajang. Apa pun makanannya, bumbunya basa gede.
Tidak ada catatan pasti, kapan bumbu rajang ini dikenal. Tak jelas juga bagaimana asal usulnya, kendati bumbu ini sudah hadir sejak lebih 2.000 tahun. Kaum fanatik bumbu ini tahunya membuat bumbu rajang agar mantap rasanya, harus melalui tiga proses.
Proses pertama, bahan-bahan bumbu itu dicincang (dirajang), tidak boleh diulek seperti membuat bumbu pecel atau sambal. Apalagi dibelender, itu pantang. Bumbu rajang itu harus dicincang, namanya saja bumbu rajang, ya dirajang. Tapi, banyak ibu-ibu yang membuat bumbu rajang dibelender, wah, itu salah besar, kacau. Bumbu yang sudah dirajang digoreng dengan minyak kelapa tandusan, yang dikerjakan manual, jangan minyak pabrik, agar rasanya alami, khas.
Proses kedua adalah bahan-bahan dibakar, seperti cekuh, terasi, isen, pala, baru kemudian dirajang. Hasil rajangan bakar ini dipisahkan tersendiri, tidak ikut digoreng. Proses ketiga ada yang disangrai, seperti ketumbar, merica, pala, terasi, kemudian dibuat serbuk, dipisahkan. Jadi, basa gede itu terdiri dari yang digoreng, dibakar, dan dinyanyah (sangrai). Ketika akan membumbui adonan, lawar misalnya, bumbu yang digoreng ini menjadi bumbu utama, sedangkan serbuk hasil sangrai dan yang dibakar menjadi penyedap, diadon dan ditaburkan secukupnya. Karena itu, bumbu ini dicampur menjelang akhir adonan jadi, sehingga makanan menjadi nyangluh, sedap disantap, meningkatkan gairah dan nikmat, tanpa ditambah penyedap rasa.
Tiga macam proses bumbu ini, oleh kaum fanatik bumbu rajang, juga dimanfaatkan untuk membuat masakan lain, seperti komoh, pepes ikan, tum, sup, tahu goreng, dan hampir semua jenis masakan. Saking fanatiknya orang-orang sama basa gede, mie goreng pun mereka olah dengan basa genep. Seperti apa ya kuat sodokan rasanya? *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar