Kemendikbud Warning Penerbit Buku Pelajaran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI menegaskan buku nonteks pelajaran yang dikeluarkan oleh penerbit harus layak digunakan peserta didik, antara lain tanpa mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan bias gender.
JAKARTA, NusaBali
"Buku itu harus layak diberikan kepada peserta didik mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA," kata Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud Profesor Dadang Sunendar pada kegiatan penilaian buku nonteks di Jakarta, Kamis (25/7).
Buku-buku nonteks, kata dia, dibuat oleh masyarakat atau penerbit lalu diusulkan kepada pemerintah melalui lembaga terkait untuk diperiksa apakah layak atau tidak digunakan oleh peserta didik. Pemerintah telah menetapkan empat kriteria utama yang harus dipenuhi buku nonteks, yaitu masalah isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan suatu buku.
Salah seorang penilai materi Bahasa Indonesia, Lina Meilinawati, mengatakan masih menemukan sejumlah buku-buku nonteks yang bias gender. Sebagai contoh, ia menemukan buku yang lebih menggambarkan peran aktif laki-laki, sedangkan perempuan bersifat pasif.
Seharusnya, kata dia, hal itu tidak boleh diterapkan karena mengarah pada persoalan gender. Contoh lainnya, katanya, masih ditemukan buku-buku yang kesetaraan wilayah belum begitu merata antara Indonesia bagian barat dan timur. Padahal, kata dia, eksplorasi geografis suatu wilayah harus seimbang. "Tetapi persoalan itu hanya sedikit kita temukan dari 492 judul buku yang dinilai hari ini," kata dosen UNPAD Bandung tersebut.
Selain itu, kata dia, persoalan bahasa, alur cerita atau materi yang disajikan dalam buku masih banyak terputus sehingga membingungkan peserta didik dalam memahaminya. Meskipun demikian, ia menilai buku-buku yang dihasilkan penerbit sudah mulai banyak kemajuan, terutama dari segi tampilan.
Hanya saja, katanya, dari segi isi buku belum begitu banyak perubahan dan cenderung menggurui maupun menasihati peserta didik. Seharusnya, ujar dia, buku yang diterbitkan lebih mengarah kepada paparan sehingga memacu daya nalar anak. "Kemampuan berpikir kritis inilah yang kurang dikembangkan dalam buku-buku kita," katanya. *rez
Buku-buku nonteks, kata dia, dibuat oleh masyarakat atau penerbit lalu diusulkan kepada pemerintah melalui lembaga terkait untuk diperiksa apakah layak atau tidak digunakan oleh peserta didik. Pemerintah telah menetapkan empat kriteria utama yang harus dipenuhi buku nonteks, yaitu masalah isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan suatu buku.
Salah seorang penilai materi Bahasa Indonesia, Lina Meilinawati, mengatakan masih menemukan sejumlah buku-buku nonteks yang bias gender. Sebagai contoh, ia menemukan buku yang lebih menggambarkan peran aktif laki-laki, sedangkan perempuan bersifat pasif.
Seharusnya, kata dia, hal itu tidak boleh diterapkan karena mengarah pada persoalan gender. Contoh lainnya, katanya, masih ditemukan buku-buku yang kesetaraan wilayah belum begitu merata antara Indonesia bagian barat dan timur. Padahal, kata dia, eksplorasi geografis suatu wilayah harus seimbang. "Tetapi persoalan itu hanya sedikit kita temukan dari 492 judul buku yang dinilai hari ini," kata dosen UNPAD Bandung tersebut.
Selain itu, kata dia, persoalan bahasa, alur cerita atau materi yang disajikan dalam buku masih banyak terputus sehingga membingungkan peserta didik dalam memahaminya. Meskipun demikian, ia menilai buku-buku yang dihasilkan penerbit sudah mulai banyak kemajuan, terutama dari segi tampilan.
Hanya saja, katanya, dari segi isi buku belum begitu banyak perubahan dan cenderung menggurui maupun menasihati peserta didik. Seharusnya, ujar dia, buku yang diterbitkan lebih mengarah kepada paparan sehingga memacu daya nalar anak. "Kemampuan berpikir kritis inilah yang kurang dikembangkan dalam buku-buku kita," katanya. *rez
Komentar