KESEHATAN: Stres, Makan
Stres dan depresi adalah hal yang kerap terjadi, terutama di kota-kota besar.
Menurut survei Zipjet tahun 2017, misalnya, Jakarta berada di peringkat 18 teratas kota dengan penduduk paling stres dengan total skor 7,84. Karena itu, tak heran jika berbagai macam cara dilakukan masyarakat dalam menghadapi stres, salah satunya adalah mengonsumsi makanan atau minuman yang dianggap sebagai comfort food.
Sayangnya, tanpa disadari kebiasan tersebut justru memicu emotional eating yang jika tidak dikendalikan dapat meningkatkan asupan gula, garam dan lemak (GGL) yang mampu memicu penyakit. Psikolog dari LightHouse, Tara de Thouars mengungkapkan, emotional eating merupakan kondisi di mana makan dipilih sebagai cara untuk mengatasi stres. Makan dianggap sebagai penenang, sekaligus pelarian.
Emotional eating berasal dari dua aspek. Pertama dari sisi fisik, ketika seseorang mengalami stres biasanya akan mengalami perubahan kimiawi di otak, dopamin dan serotonin. Dua hal itu memiliki peranan besar mengatur mood. Nah, saat stres, kadar keduanya turun, sehingga mood tidak baik. Kedua, dari sisi psikologis, setiap manusia memiliki survival insting, di mana jika ada sesuatu yang tidak nyaman maka ia akan mencari sesuatu untuk menyeimbangkan. Untuk menyeimbangkan emosi, salah satu yang dipilih adalah makanan.
Tara menambahkan, ada alasan di balik hubungan antara stres dan makan. Menurutnya, emosi dan logika tidak bisa jalan bersama. Ketika emosi naik, maka logika akan turun, begitu pun sebaliknya. “Karena itu, apa pun keputusan yang kita buat, jika dalam keadaan emosi tinggi, keputusannya biasanya enggak tepat, termasuk makan,” katanya.
Makan kan perilaku pengambilan keputusan. Ketika dalam kondisi stres, pengambilan keputusan makan biasanya tidak tepat, misalnya berlebihan dari yang dibutuhkan dan pilihan makanannya tak sehat. Tara mengingatkan, tak mempermasalahkan jika makan dianggap sebagai penenang ketika stres, selama tidak berlebihan. Data dari American Psychological Association, menyebutkan 38 persen orang dewasa mengaku saat mereka mengonsumsi makanan tidak sehat secara berlebihan karena munculnya stres, separuhnya merasa menyesal kemudian.
Emotional eating memiliki beberapa tanda yang bisa dikenali, seperti secara tiba-tiba muncul keinginan makan makanan yang spesifik, atau cenderung makan lebih dari biasanya tapi setelahnya kita merasa bersalah. “Ketika kita makan dalam kondisi yang sebenarnya sedang tidak lapar, tubuh kita sebenarnya sedang tidak membutuhkan kalori. Bila kondisi ini terus berulang, maka kelebihan kalori akan disimpan sebagai lemak dan dapat menyebabkan obesitas,” kata Manager Program Klinik LightHouse Vera Yudhi H. Napitupulu. Sedangkan obesitas sendiri berpotensi mengakibatkan berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, sakit sendi, dan penyakit empedu. *
Komentar