Magangsing (Instrumen Menyamabraya Krama Catur Desa)
Dulunya, atraksi Magangsing dijadikan sarana hiburan petani kopi seusai musim panen di wilayah empat desa bertetangga di Buleleng: Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing, Desa Uma Jero
Lomba Gangsing Ramaikan Twin Lake Festival 2016 di Danau Tamblingan
SINGARAJA, NusaBali
Magangsing adalah salah satu jenis permainan tradisional, yang keberadaan kini tinggal bertahan di beberapa kawasan di Bali. Salah satunya, di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakni Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Uma Jero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng). Di kawasan ini, Magangsing dijadikan instrumen menyamabraya bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Atraksi Magangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan kembali digelar untuk memeriahkan Twin Lake Festival 2016 di tepi Danau Tamblingan, Banjar Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Jumat (24/6). Lomba Magangsing serangkaian Twin Lake Festival ini diikuti sekaa dari 6 desa bertetangga. Selain empat desa dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, juga ikut terlibat sekaa gangsing asal Desa Padawa (Kecamatan Banjar, Buleleng) dan Bengkel (Kecamatan Banjar, Buleleng). Penentuan pemenang ditentukan dari gangsing yang putarannya bertahan paling lama
Lomba Magangsing kemarin menjadi salah satu atraksi paling menarik dalam Twin Lake Festival 2016 yang digelar Pemkab Buleleng di dua danau kembar, yakni Danau Buyan (Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada) dan Danau Tamblingan (Desa Munduk, Kecamatan Banjar). Apalagi, banyak gangsing ukuran besar dengan linkaran 66 cm dan berat 1,6 kg ditampilkan dalam atraksi ini.
Kelian Desa Pakraman Munduk, Jro Putu Ardana, mengatakan atraksi Magangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan selama ini rutin dilaksanakan. “Dulunya, krama Catur Desa biasa menggelar atraksi Magangsing setelah musim panen kopi,” ujar Jro Putu Ardana saat ditemui NusaBali di tepi Danau Tamblingan, Jumat kemarin.
Jro Ardana mengatakan, atraksi Magangsing merupakan salah satu sarana untuk menyamabraya bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Saat ini, atraksi Magangsing hanya bisa ditemui di beberapa kawasan di Bali. Selain di wilayah Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, juga ada atraksi Magangsing di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan.
“Khusus di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, permainan gangsing awalnya merupakan hiburan bagi petani kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, permainan gangsing semakin diminati oleh seluruh lapisan masyarakat setempat, termasuk kalangan yang bukan bekerja sebagai petani kopi,” kata Jro Ardana.
Dari situ kemudian terbentuk sejumlah Sekaa Gangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, sehingga rutin dilaksanakan atrraksi Magangsing. Gangsing yang digunakan pun hasil produksi sendiri. Untuk pembuatan gangsing dari kayu, kini telah ditentukan standarisasinya: panjang lingkaran 66 cm dan berat maksimal 1,6 kg. Secara umum, gangsing-gangsing produksi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan tidak diperjualbelikan dan hanya dipakai sendiri.
Pembuatan sebuah gangsing biasanya memerlukan waktu sekitardua hari, lengkap dengan mengatur keseimbangannya. Sedangkan kayu yang bagus digunakan untuk bahan gangsing adalah kayu Jeruk Bali dan kayu Lemo, karena teksturnya keras. Bisa juga menggunakan kayu Kemuning dan Kelengkeng.
Masing-masing sekaa gangsing Catur Desa Adat Dalem Tamblingan punya Gangsing Sakti. Disebut sakti, karena memberi keberuntungan kepada pemiliknya. Pemberian nama gangsing jagoan tersebut pun dinilai dari ketangguhannya saat diadu dan juga lama berputarnya saat kontes.
Nama-nama Gangsing Sakti itu diambil dari tokoh pewayangan, tokoh kerajaan, hingga tokoh film kartun. Misalnya, Gangsing Arjuna, Gangsing Ken Dedes, Gangsing Jro Nini, hingga Gangsing Tom & Jery. Menurut Jro Ardana, ketenaran gangsing-gangsing jagoan tersebut ada masanya. Satu gangsing tidak dapat ditentukan umur dan kekuatannya.
Permainan Gangsing yang biasanya dimainkan dua sekaa gangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan maksimal dimainkan oleh 12 orang dalam satu sekaa. Namun, yang memukulkan gangsingnya ke arena hanya empat 4 orang saja. Aturan permainannya sangat sederhana: gangsing siapa yang dapat bertahan lebih banyak dan berputar lebih lama, itulah yang diputuskan sebagai pemenang.
Sebelum lomba dimulai, setiap sekaa gangsing biasanya selalu mengadakan ritual wajib berupa matur piuning untuk kelancaran lomba. Setiap gangsing baru juga harus dipasupati (diupacari untuk mengisi energi), sebelum diterjunkan ke arena lomba. Ritual pasupati tersebut dimaksudkan untuk memberikan keberuntungan kepada gangsing tersebut agar dapat berputar dan bertahan lama.
Urutan selanjutnya, gangsing-gangsing yang akan diadu selalu disetel kembali ke-seimbangannya. Penyetelan gangsing sebelum diadu, tidaklah gampang. Jro Ardana mengatakan, penyetelan gangsing harus dilakukan di arena lomba, dengan mempertimbangkan waktu dan cuaca saat bertanding nanti.
Menurut Jro Ardana, sekaa gangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sering mendapat undangan untuk tampil dalam even yang menonjolkan potensi dan keunggulan wilayah di Buleleng. “Bahkan, kamiu pernah diundang tampil sampai ke tingkat nasional. Kami pernah meraih gelar juara pertama dalam Lomba Magangsing Se-Indonesia,” kenang Jro Ardana.
Jro Ardana memaparkan, atraksi Magangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sudah ada sejak lama, jauh sebelum tahun 1950. Saat itu, warga setempat memainkan gangsing berdiameter 10 cm. Kemudian, periode 1950-1070-an, ukuran gangsing berkembang jadi diameter 15 cm.
Memasuki periode 1970-1990-an, terjadi lagi perubahan ukuran gangsing. Pada masa itu, disebut dengan gangsing bebas. Para sekaa gangsing yang ada bebas membuat gangsing dengan ukuran sebesar-besarnya. Sampai kemudian ada yang meluncurkan gangsing terbesar berdiameter 40 cm, dengan keliling mencapai 135 cm. Karena dianggap tidak adil dalam lomba, maka pasca era 1990-an digagaslah standarisasi gangsing yang berlaku sampai saat ini, yakni dengan keliling maksimal 66 cm dan berat 1,6 kg. 7 k23
SINGARAJA, NusaBali
Magangsing adalah salah satu jenis permainan tradisional, yang keberadaan kini tinggal bertahan di beberapa kawasan di Bali. Salah satunya, di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakni Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Uma Jero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng). Di kawasan ini, Magangsing dijadikan instrumen menyamabraya bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Atraksi Magangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan kembali digelar untuk memeriahkan Twin Lake Festival 2016 di tepi Danau Tamblingan, Banjar Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Jumat (24/6). Lomba Magangsing serangkaian Twin Lake Festival ini diikuti sekaa dari 6 desa bertetangga. Selain empat desa dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, juga ikut terlibat sekaa gangsing asal Desa Padawa (Kecamatan Banjar, Buleleng) dan Bengkel (Kecamatan Banjar, Buleleng). Penentuan pemenang ditentukan dari gangsing yang putarannya bertahan paling lama
Lomba Magangsing kemarin menjadi salah satu atraksi paling menarik dalam Twin Lake Festival 2016 yang digelar Pemkab Buleleng di dua danau kembar, yakni Danau Buyan (Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada) dan Danau Tamblingan (Desa Munduk, Kecamatan Banjar). Apalagi, banyak gangsing ukuran besar dengan linkaran 66 cm dan berat 1,6 kg ditampilkan dalam atraksi ini.
Kelian Desa Pakraman Munduk, Jro Putu Ardana, mengatakan atraksi Magangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan selama ini rutin dilaksanakan. “Dulunya, krama Catur Desa biasa menggelar atraksi Magangsing setelah musim panen kopi,” ujar Jro Putu Ardana saat ditemui NusaBali di tepi Danau Tamblingan, Jumat kemarin.
Jro Ardana mengatakan, atraksi Magangsing merupakan salah satu sarana untuk menyamabraya bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Saat ini, atraksi Magangsing hanya bisa ditemui di beberapa kawasan di Bali. Selain di wilayah Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, juga ada atraksi Magangsing di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan.
“Khusus di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, permainan gangsing awalnya merupakan hiburan bagi petani kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, permainan gangsing semakin diminati oleh seluruh lapisan masyarakat setempat, termasuk kalangan yang bukan bekerja sebagai petani kopi,” kata Jro Ardana.
Dari situ kemudian terbentuk sejumlah Sekaa Gangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, sehingga rutin dilaksanakan atrraksi Magangsing. Gangsing yang digunakan pun hasil produksi sendiri. Untuk pembuatan gangsing dari kayu, kini telah ditentukan standarisasinya: panjang lingkaran 66 cm dan berat maksimal 1,6 kg. Secara umum, gangsing-gangsing produksi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan tidak diperjualbelikan dan hanya dipakai sendiri.
Pembuatan sebuah gangsing biasanya memerlukan waktu sekitardua hari, lengkap dengan mengatur keseimbangannya. Sedangkan kayu yang bagus digunakan untuk bahan gangsing adalah kayu Jeruk Bali dan kayu Lemo, karena teksturnya keras. Bisa juga menggunakan kayu Kemuning dan Kelengkeng.
Masing-masing sekaa gangsing Catur Desa Adat Dalem Tamblingan punya Gangsing Sakti. Disebut sakti, karena memberi keberuntungan kepada pemiliknya. Pemberian nama gangsing jagoan tersebut pun dinilai dari ketangguhannya saat diadu dan juga lama berputarnya saat kontes.
Nama-nama Gangsing Sakti itu diambil dari tokoh pewayangan, tokoh kerajaan, hingga tokoh film kartun. Misalnya, Gangsing Arjuna, Gangsing Ken Dedes, Gangsing Jro Nini, hingga Gangsing Tom & Jery. Menurut Jro Ardana, ketenaran gangsing-gangsing jagoan tersebut ada masanya. Satu gangsing tidak dapat ditentukan umur dan kekuatannya.
Permainan Gangsing yang biasanya dimainkan dua sekaa gangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan maksimal dimainkan oleh 12 orang dalam satu sekaa. Namun, yang memukulkan gangsingnya ke arena hanya empat 4 orang saja. Aturan permainannya sangat sederhana: gangsing siapa yang dapat bertahan lebih banyak dan berputar lebih lama, itulah yang diputuskan sebagai pemenang.
Sebelum lomba dimulai, setiap sekaa gangsing biasanya selalu mengadakan ritual wajib berupa matur piuning untuk kelancaran lomba. Setiap gangsing baru juga harus dipasupati (diupacari untuk mengisi energi), sebelum diterjunkan ke arena lomba. Ritual pasupati tersebut dimaksudkan untuk memberikan keberuntungan kepada gangsing tersebut agar dapat berputar dan bertahan lama.
Urutan selanjutnya, gangsing-gangsing yang akan diadu selalu disetel kembali ke-seimbangannya. Penyetelan gangsing sebelum diadu, tidaklah gampang. Jro Ardana mengatakan, penyetelan gangsing harus dilakukan di arena lomba, dengan mempertimbangkan waktu dan cuaca saat bertanding nanti.
Menurut Jro Ardana, sekaa gangsing dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sering mendapat undangan untuk tampil dalam even yang menonjolkan potensi dan keunggulan wilayah di Buleleng. “Bahkan, kamiu pernah diundang tampil sampai ke tingkat nasional. Kami pernah meraih gelar juara pertama dalam Lomba Magangsing Se-Indonesia,” kenang Jro Ardana.
Jro Ardana memaparkan, atraksi Magangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sudah ada sejak lama, jauh sebelum tahun 1950. Saat itu, warga setempat memainkan gangsing berdiameter 10 cm. Kemudian, periode 1950-1070-an, ukuran gangsing berkembang jadi diameter 15 cm.
Memasuki periode 1970-1990-an, terjadi lagi perubahan ukuran gangsing. Pada masa itu, disebut dengan gangsing bebas. Para sekaa gangsing yang ada bebas membuat gangsing dengan ukuran sebesar-besarnya. Sampai kemudian ada yang meluncurkan gangsing terbesar berdiameter 40 cm, dengan keliling mencapai 135 cm. Karena dianggap tidak adil dalam lomba, maka pasca era 1990-an digagaslah standarisasi gangsing yang berlaku sampai saat ini, yakni dengan keliling maksimal 66 cm dan berat 1,6 kg. 7 k23
Komentar