GTS Institute Bali Edukasi Pengembangan Karakter Calon Ayah dan Ibu
Menuju Generasi Emas Tahun 2045
Pembentukan generasi emas akan menentukan bagaimana nantinya bangsa ini dibangun di tangan generasi muda
DENPASAR, NusaBali
Membangun karakter sumber daya manusia (SDM) bukanlah hal mudah. Hasilnya juga tidak langsung terlihat. Namun, mau tidak mau upaya membangun karakter SDM ini adalah hal yang paling penting dilakukan untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik. Komitmen inilah yang sedari awal ingin dilakukan oleh GTS (Good-Trustworthy-Smart) Institute Bali yang menggelar Program Pengembangan Karakter Emas Calon Ayah dan Ibu Menuju Generasi Emas Tahun 2045. Mendapat dukungan dari Ditjen Bimas Hindu, GTS Institute Bali memulai langkah dengan menyelenggarakan diklat bertajuk ‘Mendidik Anak Suputra Dalam Kandungan Ibu’ selama 5-6 September 2019 di Auditorium Perdiknas Denpasar.
“Program pengembangan karakter emas calon ayah dan ibu ini sebenarnya bukan program yang seksi, yang sekali dimulai langsung menunjukkan hasil. Tidak seperti makan cabai, yang sekali makan langsung pedas. Jadi, ini benar-benar memerlukan proses yang panjang. Jika tidak berani memulai, sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud,” ujar Direktur Eksekutif GTS Institute Bali, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH, saat pembukaan diklat, Kamis (5/9).
Tini Gorda mengaku ‘galau’ memikirkan perbaikan regenerasi SDM menuju 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Mengingat tahun 2045 tinggal 26 tahun lagi, Tini Gorda berpikir pembentukan karakter harus dimulai dari sekarang, karena pembentukan karakter sendiri tidaklah instan. Maka terpikirlah untuk mengedukasi pasangan muda yang nantinya akan menjadi calon ayah dan ibu untuk mulai memahami pentingnya membentuk karakter baik pada anak, utamanya mulai dari dalam kandungan.
“Jadi ini adalah sebuah stimulant yang sudah diapresiasi oleh Kementrian (Ditjen Bimas Hindu, red). Saya punya ide dan kalau ini terus menjadi suatu gerakan, ini akan menjadi modal awal untuk memperbaiki SDM Hindu. Mudah-mudahan dengan sisa waktu 26 tahun menuju generasi emas tahun 2045, ini bisa menjadi ‘kegalauan’ bersama melihat pembangunan karakter SDM sebagai modal utama untuk membangun bangsa,” jelas Tini Gorda.
Meski demikian, Tini Gorda menyadari banyak tantangan untuk menyiapkan generasi emas tahun 2045 ini. Namun demikian, menurutnya ini adalah tugas yang sangat mulia. Karena pembentukan generasi emas nantinya akan menentukan bagaimana nantinya bangsa ini dibangun di tangan generasi muda. “Tantangan pasti banyak. Pembangunan ‘infrastruktur’ SDM ini hasilnya kan tidak cepat terlihat. Tapi adalah sebuah tanggung jawab dan tugas mulia untuk menyadarkan bahwa penting sekali mempersiapkan suatu kelahiran untuk 26 tahun ke depan,” imbuhnya.
Ratusan peserta mengikuti diklat ini berasal dari kalangan pelajar SMA/SMK dan mahasiswa se-Bali serta masyarakat umum. Mereka dibekali berbagai ilmu mulai dari tantangan mendidik anak baik sebelum dan sesudah lahir, anak suputra menurut agama Hindu, 1.000 hari pertama kehidupan anak, pengetahuan tentang kepribadian calon ayah dan ibu, serta pengetahuan rumah sehat dan bahagia.
Sementara itu, Ketua Perdiknas Denpasar, Dr AAA Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda SSos MSi, yang membuka diklat secara resmi mendukung penuh program GTS Institute Bali. Menurutnya, ini adalah langkah awal yang baik yang membuka wawasan generasi muda untuk menyiapkan generasi yang lebih baik yakni anak suputra. Apalagi dalam diklat tidak hanya dibahas konsep secara keagamaan, namun juga konsep secara medis dan psikologisnya.
“Orang berpikirnya mendidik anak itu dari Paud, TK, SMP, SMA. Tapi dalam Hindu itu ternyata dari awal memilih pasangan itu sudah harus diperhatikan. Sehingga ketika dari awal sudah diberi pemahaman, nantinya anak suputra yang sudah dibentuk di rumah, secara hipotesis akan lebih mendidik di sekolah,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Harian PHDI Badung, I Gede Rudia Adiputra yang didapuk menjadi narasumber kemarin mengatakan, program pembekalan kepada calon ayah dan calon ibu agar menjadi orangtua yang ideal ini memang sangat dibutuhkan. Karena, calon pasangan harus memahami tugas, kewajiban, dan tanggung jawab untuk membentuk anak dengan sifat-sifat yang suputra. Karena itu, sebelum masuk ke jenjang Grahasta Asrama (masa berumah tangga), seseorang diharapkan menyiapkan fisik dan mental, serta memahami tanggung jawab apa yang melekat setelah menikah. “Dalam konsep agama Hindu, selama orang itu dalam posisi Brahmacarya (masa menuntut ilmu), dia sedapat mungkin harus bisa memahami bagaimana nanti situasi dan tanggung jawab, serta menyiapkan fisik dan mental ketika menjadi Grahastin (masa berumah tangga). Dia harus memahami tanggung jawabnya ke bawah (anak), ke samping (masyarakat sosial), dan ke atas (Tuhan),” katanya. *ind
“Program pengembangan karakter emas calon ayah dan ibu ini sebenarnya bukan program yang seksi, yang sekali dimulai langsung menunjukkan hasil. Tidak seperti makan cabai, yang sekali makan langsung pedas. Jadi, ini benar-benar memerlukan proses yang panjang. Jika tidak berani memulai, sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud,” ujar Direktur Eksekutif GTS Institute Bali, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH, saat pembukaan diklat, Kamis (5/9).
Tini Gorda mengaku ‘galau’ memikirkan perbaikan regenerasi SDM menuju 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Mengingat tahun 2045 tinggal 26 tahun lagi, Tini Gorda berpikir pembentukan karakter harus dimulai dari sekarang, karena pembentukan karakter sendiri tidaklah instan. Maka terpikirlah untuk mengedukasi pasangan muda yang nantinya akan menjadi calon ayah dan ibu untuk mulai memahami pentingnya membentuk karakter baik pada anak, utamanya mulai dari dalam kandungan.
“Jadi ini adalah sebuah stimulant yang sudah diapresiasi oleh Kementrian (Ditjen Bimas Hindu, red). Saya punya ide dan kalau ini terus menjadi suatu gerakan, ini akan menjadi modal awal untuk memperbaiki SDM Hindu. Mudah-mudahan dengan sisa waktu 26 tahun menuju generasi emas tahun 2045, ini bisa menjadi ‘kegalauan’ bersama melihat pembangunan karakter SDM sebagai modal utama untuk membangun bangsa,” jelas Tini Gorda.
Meski demikian, Tini Gorda menyadari banyak tantangan untuk menyiapkan generasi emas tahun 2045 ini. Namun demikian, menurutnya ini adalah tugas yang sangat mulia. Karena pembentukan generasi emas nantinya akan menentukan bagaimana nantinya bangsa ini dibangun di tangan generasi muda. “Tantangan pasti banyak. Pembangunan ‘infrastruktur’ SDM ini hasilnya kan tidak cepat terlihat. Tapi adalah sebuah tanggung jawab dan tugas mulia untuk menyadarkan bahwa penting sekali mempersiapkan suatu kelahiran untuk 26 tahun ke depan,” imbuhnya.
Ratusan peserta mengikuti diklat ini berasal dari kalangan pelajar SMA/SMK dan mahasiswa se-Bali serta masyarakat umum. Mereka dibekali berbagai ilmu mulai dari tantangan mendidik anak baik sebelum dan sesudah lahir, anak suputra menurut agama Hindu, 1.000 hari pertama kehidupan anak, pengetahuan tentang kepribadian calon ayah dan ibu, serta pengetahuan rumah sehat dan bahagia.
Sementara itu, Ketua Perdiknas Denpasar, Dr AAA Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda SSos MSi, yang membuka diklat secara resmi mendukung penuh program GTS Institute Bali. Menurutnya, ini adalah langkah awal yang baik yang membuka wawasan generasi muda untuk menyiapkan generasi yang lebih baik yakni anak suputra. Apalagi dalam diklat tidak hanya dibahas konsep secara keagamaan, namun juga konsep secara medis dan psikologisnya.
“Orang berpikirnya mendidik anak itu dari Paud, TK, SMP, SMA. Tapi dalam Hindu itu ternyata dari awal memilih pasangan itu sudah harus diperhatikan. Sehingga ketika dari awal sudah diberi pemahaman, nantinya anak suputra yang sudah dibentuk di rumah, secara hipotesis akan lebih mendidik di sekolah,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Harian PHDI Badung, I Gede Rudia Adiputra yang didapuk menjadi narasumber kemarin mengatakan, program pembekalan kepada calon ayah dan calon ibu agar menjadi orangtua yang ideal ini memang sangat dibutuhkan. Karena, calon pasangan harus memahami tugas, kewajiban, dan tanggung jawab untuk membentuk anak dengan sifat-sifat yang suputra. Karena itu, sebelum masuk ke jenjang Grahasta Asrama (masa berumah tangga), seseorang diharapkan menyiapkan fisik dan mental, serta memahami tanggung jawab apa yang melekat setelah menikah. “Dalam konsep agama Hindu, selama orang itu dalam posisi Brahmacarya (masa menuntut ilmu), dia sedapat mungkin harus bisa memahami bagaimana nanti situasi dan tanggung jawab, serta menyiapkan fisik dan mental ketika menjadi Grahastin (masa berumah tangga). Dia harus memahami tanggung jawabnya ke bawah (anak), ke samping (masyarakat sosial), dan ke atas (Tuhan),” katanya. *ind
Komentar