Area Disbud Buleleng Diblokade Pihak Puri
Riak-riak perseteruan antara Puri Kelasa Buleleng vs Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng kembali meruncing.
SINGARAJA, NusaBali
Pihak Puri Kelasa blokade akses jalan di dua titik perkantoran Dinas Kebudayaan Buleleng, Jalan Veteran Singaraja wilayah Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng, Senin (9/9).
Ini merupakan letupan ketegangan kedua antara Puri Kelasa Buleleng vs Dinas Kebudayaan Buleleng dalam kurun 7 bulan terakhir. Sebelumnya, keduabelah sudah sempat bersitegang, Februari 2019 lalu, ditandai dengan pemasangan pintu pagar besi di akses jalan menuju Puri Kelasa Buleleng milik keluarga Anak Agung Gde Djelantik.
Dalam ketegangan kedua kali ini, akses jalan diblokade dengan bambu yang terpasang di dua titik. Pertama, menutup akses jalan tembusan antara kawasan Sasana Budaya, Bagian Adat, Sejarah dan Purbakala serta Kesenian menuju Sekretariat Dinas Kebudayaan Buleleng. Kedua, blokade dipasang tepat di depan Gedung Pameran Lontar Dinas Kebudayaan Buleleng seputar Gedong Kirtya Singaraja.
Dua titik blokade bambu itu juga disertai dengan pemasangan spanduk di atasnya. Spanduk tersebut bertuliskan ‘Tanah Ini Milik Dr AA Gde Djelantik Sp Rad Msc SHM No 39 Tahun 2002’. Sedangkan satu spanduk lainnya dipasang di pinggir Taman Angsoka Dinas Kebudayaan Buleleng, yang baru saja selesai ditata pemerintah.
Konon, blokade dan spanduk tersebut dipasang pihak Puri Kelasa Buleleng dalam dua kali tahapan. Akses jalan menuju Sasana Budaya lebih dulu dipasangi blokade, Sabtu (7/9) siang pukul 13.00 Wita. Sedangkan blokade lainnya di akses jalan menuju Gedong Kirtya Singaraja dipasang pada Minggu (8/9).
Blokade akses jalan tersebut cukup menyulitkan staf Dinas Kebudayaan Buleleng yang sebagian besar ngantor di lingkungan Sasana Budaya Singaraja, jika mereka hendak menuju ke Sekretariat Dinas Kebudayaan dan Gedong Kirtya Singaraja atau sebaliknya. Para staf Dinas Kebudayaan terpaksa harus memutar keluar ke Jalan Veteran Singaraja terlebih dulu.
Panglingsir Puri Kanginan, AA Ngurah Parwata Panji, mewakili pihak Puri Kelasa Buleleng, mengatakan blokade akses jalan menuju Dinas Kebudayaan Buleleng itu memang dipasang kakak sepupunya, AA Gde Djelantik (pewaris Puri Kelasa Buleleng), yang tinggal menetap di Jakarta. Menurut Parwata Panji, blokade akses jalan dilakukan untuk mengingatkan Dinas Kebudayaan Buleleng yang hingga saat ini tak mengambil langkah soal parkir sembarangan di akses jalan menuju puri. Parkir kendaraan roda dua staf Dinas Kebudayaan disebut-sebut menghalangi akses keluar masuk puri.
“Ya, dulu persoalan harusnya sudah clear, kalau diselesaikan oleh Pak Komang (Kadis Kebudayaan Buleleng Gede Komang, Red). Namun, rupanya tetap saja itu dipakai parkir, sehingga kami dari pihak puri tidak bisa menggunakan akses keluar masuk. Kami hanya minta tolong diberi akses jalan, itu saja sebenarnya,” ujar Parwata Panji yang ditemui NusaBali di Puri Kangingan yang bersebelahan dengan Puri Kelasa Buleleng, Senin kemarin.
Parwata Panji menyebutkan, pihak Puri Kelasa Buleleng akhirnya memasang blokade untuk menegaskan bahwa akses jalan, termasuk Taman Angsoka seluas 250 meter persegi itu adalah milik Puri Kelasa Buleleng, lengkap dengan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 039 Tahun 2002. Dengan blokade tersebut, pihak puri hanya menegaskan hak atas lahan yang dimiliki dan diberikan akses keluar masuk.
Disebutkan, persoalan pemagaran yang terjadi Februari 2019 lalu sebenarnya hampir mendapatkan kesepakatan damai. Hanya saja, pihak puri menilai Dinas Kebudayaan Buleleng tidak melakukan tindak, lanjut hingga akses jalan itu masih dipenuhi dengan parkir kendaraan. Itu yang berujung dilakukan blokade oleh pihak puri kali ini.
Parwata Panji menyebutkan, terungkap ada dua SHM atas lahan yang dipemasalahkan. Selain sertifikat yang dipegang oleh pihak puri, ada satu sertifikat yang dipegang Pemkab Buleleng berupa Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 004 Tahun 2009. Dalam SHP tersebut, muncul gambar lahan yang tidak menampilkan tanah seluas 2.250 meter persegi milik puri.
Karena penerbitan sertifikat ganda oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, kata Parwata Panji, pihak puri sempat meminta mediasi. Namun, dari lima kali undangan mediasi yang menghadirkan pemerintah daerah bersama intansi terkait, yakni 4 Juli 2019, 15 Juli 2019, 29 Juli 2019, 7 Agustus 2019, dan 15 Agustus 2019, tak ada satu pun yang dihadiri pemerintah.
“Dalam undangan mediasi tidak pernah ada yang datang. Kami sempat tanyakan ke BKD, katanya tunggu Pak Bupati. Lha, bagaimana mau selesaikan masalah kalau begitu? Makanya, kami blokade areal tersebut,” papar Parwata Panji. Padahal, lanjut dia, keinginan pihak puri sangat sederhana: cukup mendapatkan akses keluar masuk dengan mulus dan ada jalan terang atas terbitnya sertifikat tanah ganda yang tak mencantumkan lahan milik puri.
Sementara itu, Kadis Kebudayaan Buleleng, Gede Komang, mengatakan pemasangan blokade dan spanduk oleh pihak Puri Kelasa Buleleng sah-sah saja. Dinas Kebudayaan pun akan berkoordinasi dengan Badan Keuangan Daerah Buleleng yang menangani masalah aset Pemkab Buleleng. Gede Komang juga mengklaim bahwa beberapa kali mediasi yang dilakukan oleh BPN Buleleng sebenarnya sudah dihadiri Diunas Kebudayaan. Justru pihak puri yang tidak hadir.
Terkait terbitnya dua sertifikat ganda dari BPN, menurut Gede Komang, itu bukan ranahnya Dinas Kebudayaan. Terkait masalah parkir di akses jalan menuju puri Kelasa Buleleng milik AA Gde Djelantik, Gede Komang mengaku sudah memberikan pilihan yang sangat fleksibel kepada pihak puri yang sempat beberapa kali datang untuk kepastian dengan mengutamakan win-win solution.
“Hanya saja, saat Dinas Kebudayaan meminta akses ke garase belakang yang sudah ditembok beton oleh pihak puri, Februari 2019 lalu, tidak diizinkan untuk dibuka kembali,” jelas Gede Komang yang kemarin didampingi Sekretaris Dinas Kebudayaan Buleleng, I Made Sudiarba.
Gede Komang juga mengakui Dinas Kebudayaan memang kekurangan lahan parkir. “Kami sudah minta yang yang ditembok beton itu dibuka kembali, sehingga mereka yang parkir di jalan bisa parkir di belakang. Tapi, tampaknya tidak ada win-win solution. Kalau kami biarkan staf parkir di depan, juga pasti krodit, apalagi sekarang Sasana Budaya selalu ramai. Kami sudah cukup fleksibel soal ini,” tegas Gede Komang. *k23
Ini merupakan letupan ketegangan kedua antara Puri Kelasa Buleleng vs Dinas Kebudayaan Buleleng dalam kurun 7 bulan terakhir. Sebelumnya, keduabelah sudah sempat bersitegang, Februari 2019 lalu, ditandai dengan pemasangan pintu pagar besi di akses jalan menuju Puri Kelasa Buleleng milik keluarga Anak Agung Gde Djelantik.
Dalam ketegangan kedua kali ini, akses jalan diblokade dengan bambu yang terpasang di dua titik. Pertama, menutup akses jalan tembusan antara kawasan Sasana Budaya, Bagian Adat, Sejarah dan Purbakala serta Kesenian menuju Sekretariat Dinas Kebudayaan Buleleng. Kedua, blokade dipasang tepat di depan Gedung Pameran Lontar Dinas Kebudayaan Buleleng seputar Gedong Kirtya Singaraja.
Dua titik blokade bambu itu juga disertai dengan pemasangan spanduk di atasnya. Spanduk tersebut bertuliskan ‘Tanah Ini Milik Dr AA Gde Djelantik Sp Rad Msc SHM No 39 Tahun 2002’. Sedangkan satu spanduk lainnya dipasang di pinggir Taman Angsoka Dinas Kebudayaan Buleleng, yang baru saja selesai ditata pemerintah.
Konon, blokade dan spanduk tersebut dipasang pihak Puri Kelasa Buleleng dalam dua kali tahapan. Akses jalan menuju Sasana Budaya lebih dulu dipasangi blokade, Sabtu (7/9) siang pukul 13.00 Wita. Sedangkan blokade lainnya di akses jalan menuju Gedong Kirtya Singaraja dipasang pada Minggu (8/9).
Blokade akses jalan tersebut cukup menyulitkan staf Dinas Kebudayaan Buleleng yang sebagian besar ngantor di lingkungan Sasana Budaya Singaraja, jika mereka hendak menuju ke Sekretariat Dinas Kebudayaan dan Gedong Kirtya Singaraja atau sebaliknya. Para staf Dinas Kebudayaan terpaksa harus memutar keluar ke Jalan Veteran Singaraja terlebih dulu.
Panglingsir Puri Kanginan, AA Ngurah Parwata Panji, mewakili pihak Puri Kelasa Buleleng, mengatakan blokade akses jalan menuju Dinas Kebudayaan Buleleng itu memang dipasang kakak sepupunya, AA Gde Djelantik (pewaris Puri Kelasa Buleleng), yang tinggal menetap di Jakarta. Menurut Parwata Panji, blokade akses jalan dilakukan untuk mengingatkan Dinas Kebudayaan Buleleng yang hingga saat ini tak mengambil langkah soal parkir sembarangan di akses jalan menuju puri. Parkir kendaraan roda dua staf Dinas Kebudayaan disebut-sebut menghalangi akses keluar masuk puri.
“Ya, dulu persoalan harusnya sudah clear, kalau diselesaikan oleh Pak Komang (Kadis Kebudayaan Buleleng Gede Komang, Red). Namun, rupanya tetap saja itu dipakai parkir, sehingga kami dari pihak puri tidak bisa menggunakan akses keluar masuk. Kami hanya minta tolong diberi akses jalan, itu saja sebenarnya,” ujar Parwata Panji yang ditemui NusaBali di Puri Kangingan yang bersebelahan dengan Puri Kelasa Buleleng, Senin kemarin.
Parwata Panji menyebutkan, pihak Puri Kelasa Buleleng akhirnya memasang blokade untuk menegaskan bahwa akses jalan, termasuk Taman Angsoka seluas 250 meter persegi itu adalah milik Puri Kelasa Buleleng, lengkap dengan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 039 Tahun 2002. Dengan blokade tersebut, pihak puri hanya menegaskan hak atas lahan yang dimiliki dan diberikan akses keluar masuk.
Disebutkan, persoalan pemagaran yang terjadi Februari 2019 lalu sebenarnya hampir mendapatkan kesepakatan damai. Hanya saja, pihak puri menilai Dinas Kebudayaan Buleleng tidak melakukan tindak, lanjut hingga akses jalan itu masih dipenuhi dengan parkir kendaraan. Itu yang berujung dilakukan blokade oleh pihak puri kali ini.
Parwata Panji menyebutkan, terungkap ada dua SHM atas lahan yang dipemasalahkan. Selain sertifikat yang dipegang oleh pihak puri, ada satu sertifikat yang dipegang Pemkab Buleleng berupa Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 004 Tahun 2009. Dalam SHP tersebut, muncul gambar lahan yang tidak menampilkan tanah seluas 2.250 meter persegi milik puri.
Karena penerbitan sertifikat ganda oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, kata Parwata Panji, pihak puri sempat meminta mediasi. Namun, dari lima kali undangan mediasi yang menghadirkan pemerintah daerah bersama intansi terkait, yakni 4 Juli 2019, 15 Juli 2019, 29 Juli 2019, 7 Agustus 2019, dan 15 Agustus 2019, tak ada satu pun yang dihadiri pemerintah.
“Dalam undangan mediasi tidak pernah ada yang datang. Kami sempat tanyakan ke BKD, katanya tunggu Pak Bupati. Lha, bagaimana mau selesaikan masalah kalau begitu? Makanya, kami blokade areal tersebut,” papar Parwata Panji. Padahal, lanjut dia, keinginan pihak puri sangat sederhana: cukup mendapatkan akses keluar masuk dengan mulus dan ada jalan terang atas terbitnya sertifikat tanah ganda yang tak mencantumkan lahan milik puri.
Sementara itu, Kadis Kebudayaan Buleleng, Gede Komang, mengatakan pemasangan blokade dan spanduk oleh pihak Puri Kelasa Buleleng sah-sah saja. Dinas Kebudayaan pun akan berkoordinasi dengan Badan Keuangan Daerah Buleleng yang menangani masalah aset Pemkab Buleleng. Gede Komang juga mengklaim bahwa beberapa kali mediasi yang dilakukan oleh BPN Buleleng sebenarnya sudah dihadiri Diunas Kebudayaan. Justru pihak puri yang tidak hadir.
Terkait terbitnya dua sertifikat ganda dari BPN, menurut Gede Komang, itu bukan ranahnya Dinas Kebudayaan. Terkait masalah parkir di akses jalan menuju puri Kelasa Buleleng milik AA Gde Djelantik, Gede Komang mengaku sudah memberikan pilihan yang sangat fleksibel kepada pihak puri yang sempat beberapa kali datang untuk kepastian dengan mengutamakan win-win solution.
“Hanya saja, saat Dinas Kebudayaan meminta akses ke garase belakang yang sudah ditembok beton oleh pihak puri, Februari 2019 lalu, tidak diizinkan untuk dibuka kembali,” jelas Gede Komang yang kemarin didampingi Sekretaris Dinas Kebudayaan Buleleng, I Made Sudiarba.
Gede Komang juga mengakui Dinas Kebudayaan memang kekurangan lahan parkir. “Kami sudah minta yang yang ditembok beton itu dibuka kembali, sehingga mereka yang parkir di jalan bisa parkir di belakang. Tapi, tampaknya tidak ada win-win solution. Kalau kami biarkan staf parkir di depan, juga pasti krodit, apalagi sekarang Sasana Budaya selalu ramai. Kami sudah cukup fleksibel soal ini,” tegas Gede Komang. *k23
1
Komentar