Belasan SD di Buleleng Minim Siswa
Tiap tahun jumlah murid yang terdata hanya di bawah 60 siswa. Bahkan SDN 4 Pucaksari hanya punya 27 siswa dari kelas I sampai VI.
SINGARAJA, NusaBali
Sebanyak 14 sekolah dari 476 Sekolah Dasar (SD) di Buleleng terpetakan memiliki siswa yang minim. Belasan sekolah itu pun dikategorikan sebagai sekolah kecil yang memiliki siswa di bawah 60 orang setiap tahunnya. Sekolah yang bersangkutan pun rata-rata terletak di pinggiran dengan geografis yang agak sulit dijangkau.
Dari hasil pemetaan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga 14 sekolah itu tersaring dari 23 sekolah yang rawan tergabung. Sekretaris Disdikpora Buleleng, I Made Astika seizin Kadisdikpora I Gde Dharmaja, ditemui di ruang kerjanya Senin (9/9) kemarin, kondisi sekolah minim siswa ini memang terjadi setiap tahun. “Yang rawan tergabung ada 23 sekolah tetap yang stagnan di bawah 60 itu ada 14 sekolah yang 9 sisanya naik turun jumlahnya dalam tiga tahun terakhir. Ini memang lokasinya yang agak di pinggir kota,” jelas Astika.Bahkan dari daftar sekolah minim siswa itu jumlah terendah siswa yang dimiliki oleh SDN 4 Pucaksari, Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang hanya 27 orang siswa dari kelas 1-6. Kemudian ada juga SDN 8 Busungbiu, Kecamatan Busungbiu dengan jumlah total siswa hanya 33 orang dan SDN 5 Pakisan di Kecamatan Kubutambahan dengan 37 orang siswa. Minimnya jumlah siswa dalam satu sekolah itu pun berakibat pada kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima sangat minim.
Hanya saja sejauh ini Disdikpora tidak sertamerta dapat meregrouping sekolah yang memiliki jumlah siswa sedikit. Penggabungan dua sekolah menjadi satu itu meski dapat mengatasi biaya operasioanl sekolah namun dinilai tidak efektif untuk mengurangi anak putus sekolah di Buleleng. Karena wilayah topografi Buleleng berbeda dengan daerah lainnya Bali.
“Kalau digabung dua sekolah meski di satu desa ini malah rentan kasus anak putus sekolah, sedangkan anak putus sekolah kami kejar-kejar untuk masuk ke Posko DO. Karena belum tentu anak di SD 1 misalnya mau sekolah di SD 2 karena jaraknya jauh. Ini masih menjadi bahan kajian dan laporan kami kepada pimpinan nanti,” imbuh Astika.
Kondisi itu pun hanya memungkinkan penetapan kategori sekolah kecil dari pemerintah Kabupaten. Sehingga dengan penetapan ini sekolah yang minim siswa ini dapat menerima bantuan BOS rata-rata minimal, yakni, dengan jumlah disamakan dnegan 60 orang. Rencana ini pun masih akan dipastikan untuk petunjuk teknis pemberlakuan dan penetapan sekolah kecil tersebut.
“Ini kemungkinan satu-satunya, karena kalau di Buleleng meskipun kondisi geografis dan topografinya sulit tidak ada yang tergolong daerah 3T, sehingga yang memungkinkan dengan ditetapkan sebagai sekolah kecil. Sehingga rata-rata minimal sekolah itu bisa terima Rp 48 juta per tahun, ya cukup lah untuk biaya operasional setahun,” tegas dia. *k23
Dari hasil pemetaan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga 14 sekolah itu tersaring dari 23 sekolah yang rawan tergabung. Sekretaris Disdikpora Buleleng, I Made Astika seizin Kadisdikpora I Gde Dharmaja, ditemui di ruang kerjanya Senin (9/9) kemarin, kondisi sekolah minim siswa ini memang terjadi setiap tahun. “Yang rawan tergabung ada 23 sekolah tetap yang stagnan di bawah 60 itu ada 14 sekolah yang 9 sisanya naik turun jumlahnya dalam tiga tahun terakhir. Ini memang lokasinya yang agak di pinggir kota,” jelas Astika.Bahkan dari daftar sekolah minim siswa itu jumlah terendah siswa yang dimiliki oleh SDN 4 Pucaksari, Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang hanya 27 orang siswa dari kelas 1-6. Kemudian ada juga SDN 8 Busungbiu, Kecamatan Busungbiu dengan jumlah total siswa hanya 33 orang dan SDN 5 Pakisan di Kecamatan Kubutambahan dengan 37 orang siswa. Minimnya jumlah siswa dalam satu sekolah itu pun berakibat pada kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima sangat minim.
Hanya saja sejauh ini Disdikpora tidak sertamerta dapat meregrouping sekolah yang memiliki jumlah siswa sedikit. Penggabungan dua sekolah menjadi satu itu meski dapat mengatasi biaya operasioanl sekolah namun dinilai tidak efektif untuk mengurangi anak putus sekolah di Buleleng. Karena wilayah topografi Buleleng berbeda dengan daerah lainnya Bali.
“Kalau digabung dua sekolah meski di satu desa ini malah rentan kasus anak putus sekolah, sedangkan anak putus sekolah kami kejar-kejar untuk masuk ke Posko DO. Karena belum tentu anak di SD 1 misalnya mau sekolah di SD 2 karena jaraknya jauh. Ini masih menjadi bahan kajian dan laporan kami kepada pimpinan nanti,” imbuh Astika.
Kondisi itu pun hanya memungkinkan penetapan kategori sekolah kecil dari pemerintah Kabupaten. Sehingga dengan penetapan ini sekolah yang minim siswa ini dapat menerima bantuan BOS rata-rata minimal, yakni, dengan jumlah disamakan dnegan 60 orang. Rencana ini pun masih akan dipastikan untuk petunjuk teknis pemberlakuan dan penetapan sekolah kecil tersebut.
“Ini kemungkinan satu-satunya, karena kalau di Buleleng meskipun kondisi geografis dan topografinya sulit tidak ada yang tergolong daerah 3T, sehingga yang memungkinkan dengan ditetapkan sebagai sekolah kecil. Sehingga rata-rata minimal sekolah itu bisa terima Rp 48 juta per tahun, ya cukup lah untuk biaya operasional setahun,” tegas dia. *k23
1
Komentar