Sembilan Perusahaan Tekstil Tutup karena Produk Impor
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan setidaknya ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir.
JAKARTA, NusaBali
Ketua Umum API Ade Sudrajat menjelaskan besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah.
"Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja)," kata Ade pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9).
Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut. Ade menjelaskan bahwa tutupnya perusahaan tekstil ini tentunya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan lapangan kerja. Menurut dia, saat ini, industri tekstil lebih banyak berorientasi domestik, daripada ekspor.
Produk dari industri yang berorientasi domestik ini memiliki kualitas barang yang belum memenuhi syarat ekspor, sehingga tidak ada pilihan untuk memasarkan barangnya di dalam negeri saja. Di sisi lain, impor kain dengan harga yang lebih murah membuat produk domestik kurang bisa bersaing.
Menurut data Ikatan Ahli Tekstil seluruh Indonesia (Ikatsi), rata-rata pertumbuhan ekspor dalam kurun 10 tahun (2008-2018), ekspor TPT nasional naik 3 persen, sedangkan impor naik 10,4 persen. Neraca perdagangan pun terus tergerus dari 6,08 miliar dolar AS menjadi 3,2 miliar dolar AS.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyebutkan konsumsi per kapita untuk tekstil menunjukkan tren yang positif, yakni dari 5,23 kilogram per kapita pada 2008 menjadi 8,13 persen pada 2018. Tren ini akan tumbuh hingga di atas 12 kg per kapita per tahun.
Sementara itu, impor kain melonjak dari hanya 300.000 ton pada 2008 menjadi 900.000 ton pada 2018. Ekspor garmen justru menunjukkan grafik stagnan berada di kisaran 550 juta ton pada 2008 sampai 2018. "Konsumsi per kapita terus tumbuh rata-rata 4,7 persen per tahun, sedangkan impor kain naik terus. Artinya, pertumbuhan konsumsi masyarakat diambil oleh impor. Pasar domestik kita tidak menikmati pertumbuhan konsumsi masyarakat tersebut," kata Redma. *ant
"Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja)," kata Ade pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9).
Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut. Ade menjelaskan bahwa tutupnya perusahaan tekstil ini tentunya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan lapangan kerja. Menurut dia, saat ini, industri tekstil lebih banyak berorientasi domestik, daripada ekspor.
Produk dari industri yang berorientasi domestik ini memiliki kualitas barang yang belum memenuhi syarat ekspor, sehingga tidak ada pilihan untuk memasarkan barangnya di dalam negeri saja. Di sisi lain, impor kain dengan harga yang lebih murah membuat produk domestik kurang bisa bersaing.
Menurut data Ikatan Ahli Tekstil seluruh Indonesia (Ikatsi), rata-rata pertumbuhan ekspor dalam kurun 10 tahun (2008-2018), ekspor TPT nasional naik 3 persen, sedangkan impor naik 10,4 persen. Neraca perdagangan pun terus tergerus dari 6,08 miliar dolar AS menjadi 3,2 miliar dolar AS.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyebutkan konsumsi per kapita untuk tekstil menunjukkan tren yang positif, yakni dari 5,23 kilogram per kapita pada 2008 menjadi 8,13 persen pada 2018. Tren ini akan tumbuh hingga di atas 12 kg per kapita per tahun.
Sementara itu, impor kain melonjak dari hanya 300.000 ton pada 2008 menjadi 900.000 ton pada 2018. Ekspor garmen justru menunjukkan grafik stagnan berada di kisaran 550 juta ton pada 2008 sampai 2018. "Konsumsi per kapita terus tumbuh rata-rata 4,7 persen per tahun, sedangkan impor kain naik terus. Artinya, pertumbuhan konsumsi masyarakat diambil oleh impor. Pasar domestik kita tidak menikmati pertumbuhan konsumsi masyarakat tersebut," kata Redma. *ant
1
Komentar