Sebaiknya Vaksinasi Ulang
Anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi. Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
Kementrian Kesehatan memutuskan untuk melakukan pemberian vaksin ulang. Ini dilakukan menyusul terungkapnya kasus vaksin palsu. Pemberian vaksin palsu memang tidak membahayakan pasien, tetapi membuat anak yang mendapat vaksin tidak terlindungi di masa depan.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengimbau orangtua yang curiga anaknya divaksin palsu, agar melapor ke dokter anak untuk diobservasi dampaknya. Orangtua juga bisa berkonsultasi untuk memastikan vaksin yang diberikan asli dan dibeli di jalur resmi. Selain itu, orangtua juga bisa meminta vaksin ulang. "Itu akan membuat anak yang sebelumnya dapat vaksin palsu akan dapat kekebalan. Yang sudah mendapat vaksin asli akan mendapat kekebalan baru,” tuturnya.
Menurut Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi IDAI Hindra Irawan Satari, tak ada efek tambahan bagi anak yang sudah divaksin asli jika mereka melakukan vaksinasi lagi. aksinasi ulang juga bisa diberikan kepada anak umur berapa pun. Setelah itu, vaksinasi selanjutnya bisa diberikan sesuai jadwal vaksinasi yang ada. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi. Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
"Harus divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka," kata Nila dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016). Hasil penyelidikan sementara, vaksin palsu berisi cairan dan antibiotik yang kadarnya sangat sedikit. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan SpA mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.
"Misalnya divaksin palsu untuk hepatitis B, jadinya anak tidak kebal hepatitis B," kata Aman. Untuk itu, saat ini masih dilakukan pendataan di mana saja yang menggunakan vaksin palsu dan berapa anak yang mendapatkannya. Jumlahnya diperkirakan tidak terlalu banyak, karena mayoritas pemberian vaksin berasal resmi dari pemerintah. "Kita akan lakukan dari data yang ada. Kita lakukan catch up imunisasi apa saja yang ketinggalan. Ketika ada terlambat imunisasi, kita harus kejar. Imunisasi kapan saja boleh dilakukan. Tidak ada kata hangus," jelas Aman.
Sebelumnya, kepolisian berhasil mengungkap kasus produksi vaksin palsu. Dari hasil penyelidikan, diketahui sindikat tersebut memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia. Namun, hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Terungkapnya kasus pembuatan vaksin palsu meresahkan para orangtua. Meski demikian, masalah ini jangan sampai membuat orangtua enggan membawa anaknya untuk imunisasi. Lantas apa akibatnya jika anak mendapat vaksin palsu? Vaksinolog dr Dirga Sakti Rambe M.Sc-VPCD mengungkapkan, risiko terberat adalah analah anak terkena infeksi. Pembuatan vaksin palsu tentu tidak steril dan tidak mengikuti prosedur seperti pembuatan vaksin asli."Tentu dengan cara tidak steril, bisa banyak kuman. Kalau cairan penuh kuman ini disuntikkan ke tubuh, orang bisa infeksi," kata vaksinolog lulusan University of Siena, Italy ini saat dihubungi kompas.com, Kamis (23/6/2016).
Gejala infeksi tersebut antara lain demam tinggi disertai laju nadi cepat, sesak napas, dan anak sulit makan. Jika anak hanya demam saja setelah divaksin, orangtua tak perlu khawatir, karena beberapa vaksin memang bisa membuat anak demam. Menurut Dirga, jika terakhir kali vaksinasi pada dua minggu sebelumnya dan tidak muncul gejala tersebut, kemungkinan besar anak tidak terkena infeksi.
Dirga mengatakan, dampak lainnya dari pembuatan vaksin palsu sebenarnya tergantung bahan apa yang digunakan. "Puslabfor Polri harus menyelidiki apa yang dicampukan di vaksin palsu itu. Dari situ bisa kita cari, ada enggak laporan masyarakat yang setelah vaksinasi mengalami gejala tersebut," ujar Dirga. Sementara itu, jika anak mendapat vaksin palsu, tentu tidak akan mendapat efek memberi perlindungan sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memastikan vaksin yang dipakai IDAI berasal dari sumber yang benar. Vaksin yang diberikan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, aman digunakan dan bisa diperoleh secara gratis.
Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan menambahkan, munculnya kasus vaksin palsu bukan karena tak ada vaksin di lapangan. Vaksin dipalsukan untuk mendapat keuntungan ekonomi. Jika warga curiga anak balitanya diberi vaksin palsu, bisa melapor ke dokter anak terdekat agar diobservasi dampak akibat vaksin palsu itu. Efeknya bergantung materi di vaksin palsu itu.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, belum ada laporan kejadian akibat vaksin palsu. Anak balita yang diberi vaksin palsu akan diobservasi dan diberi vaksin yang benar agar terlindungi dari penyakit tertentu. "Vaksin yang dipalsukan ialah imunisasi dasar wajib yang sebenarnya gratis dan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah. Fasilitas kesehatan swasta mendapatkan vaksin gratis dari dinas kesehatan," ujarnya.
Menindaklanjuti kasus vaksin palsu, BPOM memeriksa fasilitas kesehatan untuk menelusuri kemungkinan penggunaan vaksin palsu. Sasaran utamanya, klinik swasta kecil yang belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. "Kami sudah perintahkan kepada semua Balai Besar POM se-Indonesia," ucap Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta memastikan warga tak bisa bebas membeli vaksin. "Warga tak bisa membeli vaksin secara bebas, tetapi dapat memperoleh vaksin lewat dinas kesehatan atau puskesmas," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto. Vaksin yang dapat diperoleh gratis di puskesmas adalah BCG, hepatitis B, pentavalen, DPT, polio, dan campak. "Di puskesmas, masyarakat bisa mendapat vaksin itu secara gratis," ujarnya.
Koesmedi mengimbau kalangan rumah sakit membeli vaksin ke distributor resmi atau ke dinkes. “Waspadai jika sumber vaksin tak jelas, harga lebih murah, atau label cetakan lebih kasar atau tutup aluminium kemasan mencurigakan, atau tak mau memakai faktur resmi,” ujarnya.
Terungkapnya kasus vaksin palsu, jangan menjadi alasan orangtua tidak memenuhi hak anak mendapat imunisasi. Untuk memastikan anak mendapat vaksin asli, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Aman Bhakti Pulungan SpA (K) mengimbau orangtua membawa anaknya ke fasilitas kesehatan resmi.
Fasilitas kesehatan resmi milik pemerintah, seperti rumah sakit dan puskesmas tentu menyediakan vaksin yang berasal dari produsen dan distributor resmi. "Jangan ragu-ragu vaksin, datang ke fasilitas kesehatan resmi," kata Aman. Ia mengatakan, seluruh dokter anak di tempat praktiknya masing-masing juga telah diminta untuk memastikan asal produksi vaksin.
Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik BPOM Togi Junice Hutadjulu mengatakan, vaksin asli dan palsu memang sulit dibedakan dengan kasat mata. "Orangtua maupun dokter, sepertinya sulit untuk membedakan secara langsung yang mana vaksin asli dan palsu. Yang bisa memastikan adalah uji laboratorium," ujarnya.
Selain itu, orangtua juga bisa menanyakan langsung kepada pihak layanan fasilitas kesehatan, dari mana asal produksi vaksin yang digunakan. BPOM sendiri sejauh ini mengaku selalu melakukan pengawasan vaksin sebelum diedarkan ke masyarakat. Pemberian vaksin merupakan program imunisasi nasional oleh pemerintah. Tujuannya untuk mencegah anak terkena infeksi berat.
Vaksin disediakan oleh pemerintah, diberikan ke provinsi dan didistribusikan ke kabupaten/kota sampai ke Posyandu. Kementerian Kesehatan pun mengimbau seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah, maupun swasta melakukan kontrol ketat dalam pengadaan vaksin dari produsen dan pedagang besar farmasi (PBF) resmi.
Kemudian melakukan pengelolaan vaksin yang baik, mulai dari pengadaan, pencatatan, penyimpanan, dan penggunaan sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku, sehingga dapat dilakukan penelusuran balik. Jika ada kecurigaan, dokter maupun masyarakat bisa melapor ke BPOM di Halo BPOM 1500-533.
Sementara itu, petisi agar pemerintah mengumumkan nama-nama distributor, rumah sakit, atau klinik yang terindikasi menggunakan vaksin palsu muncul di dunia maya. Petisi yang berjudul "Selamatkan Nyawa Bayi/Balita Indonesia. Usut Tuntas Pemalsuan Vaksin di Indonesia" tersebut telah didukung lebih dari 17.000 tanda tangan dalam 24 jam di laman Change.org. Inisiator petisi tersebut, Niken Rosady, dari Komunitas Orangtua Sadar Imunisasi Indonesia, mengatakan, petisi ini muncul karena kekhawatiran para orangtua.
Dalam petisinya, seperti dilaporkan kompas.com, Niken mengajak para orangtua Indonesia untuk mendukung penyidikan kasus vaksin palsu ini dan meminta Polri membasmi secara tuntas pemalsuan vaksin dan mendukung penindakan tegas bagi para pelaku.
Dia juga meminta pemerintah, Bareskrim, dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor, rumah sakit, klinik, atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti menggunakan vaksin palsu. "Kita harus mendukung pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk men-disclose daftar distributor, RS/klinik/tempat layanan kesehatan yang menggunakan vaksin palsu ini guna transparansi," kata Niken dalam update petisinya.
Dwi Ana Muji Lestari, seorang penanda tangan petisi, dalam komentarnya mengatakan, "Sebagai ibu dari anak yang lahir tahun 2012 saya juga merasa marah, kecewa, dan sangat khawatir. Segera usut tuntas peredaran vaksin palsu. Data semua buyer baik itu rumah sakit, apotek dll, dan sebarkan ke masyarakat. Para orangtua juga berhak tahu dan bisa menentukan apakah anaknya perlu imunisasi ulang!”
Hal senada diungkapkan Rea Adilla. Dia mengatakan, "Sebutkan nama rumah sakit dan kliniknya. Sudah capek dengan berita lembaga kesehatan komersil yang kerjanya sembarangan. Masa bisa sampai beredar bertahun-tahun kalau tidak ada permintaan". 7 beragam sumber
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengimbau orangtua yang curiga anaknya divaksin palsu, agar melapor ke dokter anak untuk diobservasi dampaknya. Orangtua juga bisa berkonsultasi untuk memastikan vaksin yang diberikan asli dan dibeli di jalur resmi. Selain itu, orangtua juga bisa meminta vaksin ulang. "Itu akan membuat anak yang sebelumnya dapat vaksin palsu akan dapat kekebalan. Yang sudah mendapat vaksin asli akan mendapat kekebalan baru,” tuturnya.
Menurut Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi IDAI Hindra Irawan Satari, tak ada efek tambahan bagi anak yang sudah divaksin asli jika mereka melakukan vaksinasi lagi. aksinasi ulang juga bisa diberikan kepada anak umur berapa pun. Setelah itu, vaksinasi selanjutnya bisa diberikan sesuai jadwal vaksinasi yang ada. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi. Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
"Harus divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka," kata Nila dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016). Hasil penyelidikan sementara, vaksin palsu berisi cairan dan antibiotik yang kadarnya sangat sedikit. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan SpA mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.
"Misalnya divaksin palsu untuk hepatitis B, jadinya anak tidak kebal hepatitis B," kata Aman. Untuk itu, saat ini masih dilakukan pendataan di mana saja yang menggunakan vaksin palsu dan berapa anak yang mendapatkannya. Jumlahnya diperkirakan tidak terlalu banyak, karena mayoritas pemberian vaksin berasal resmi dari pemerintah. "Kita akan lakukan dari data yang ada. Kita lakukan catch up imunisasi apa saja yang ketinggalan. Ketika ada terlambat imunisasi, kita harus kejar. Imunisasi kapan saja boleh dilakukan. Tidak ada kata hangus," jelas Aman.
Sebelumnya, kepolisian berhasil mengungkap kasus produksi vaksin palsu. Dari hasil penyelidikan, diketahui sindikat tersebut memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia. Namun, hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Terungkapnya kasus pembuatan vaksin palsu meresahkan para orangtua. Meski demikian, masalah ini jangan sampai membuat orangtua enggan membawa anaknya untuk imunisasi. Lantas apa akibatnya jika anak mendapat vaksin palsu? Vaksinolog dr Dirga Sakti Rambe M.Sc-VPCD mengungkapkan, risiko terberat adalah analah anak terkena infeksi. Pembuatan vaksin palsu tentu tidak steril dan tidak mengikuti prosedur seperti pembuatan vaksin asli."Tentu dengan cara tidak steril, bisa banyak kuman. Kalau cairan penuh kuman ini disuntikkan ke tubuh, orang bisa infeksi," kata vaksinolog lulusan University of Siena, Italy ini saat dihubungi kompas.com, Kamis (23/6/2016).
Gejala infeksi tersebut antara lain demam tinggi disertai laju nadi cepat, sesak napas, dan anak sulit makan. Jika anak hanya demam saja setelah divaksin, orangtua tak perlu khawatir, karena beberapa vaksin memang bisa membuat anak demam. Menurut Dirga, jika terakhir kali vaksinasi pada dua minggu sebelumnya dan tidak muncul gejala tersebut, kemungkinan besar anak tidak terkena infeksi.
Dirga mengatakan, dampak lainnya dari pembuatan vaksin palsu sebenarnya tergantung bahan apa yang digunakan. "Puslabfor Polri harus menyelidiki apa yang dicampukan di vaksin palsu itu. Dari situ bisa kita cari, ada enggak laporan masyarakat yang setelah vaksinasi mengalami gejala tersebut," ujar Dirga. Sementara itu, jika anak mendapat vaksin palsu, tentu tidak akan mendapat efek memberi perlindungan sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memastikan vaksin yang dipakai IDAI berasal dari sumber yang benar. Vaksin yang diberikan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, aman digunakan dan bisa diperoleh secara gratis.
Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan menambahkan, munculnya kasus vaksin palsu bukan karena tak ada vaksin di lapangan. Vaksin dipalsukan untuk mendapat keuntungan ekonomi. Jika warga curiga anak balitanya diberi vaksin palsu, bisa melapor ke dokter anak terdekat agar diobservasi dampak akibat vaksin palsu itu. Efeknya bergantung materi di vaksin palsu itu.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, belum ada laporan kejadian akibat vaksin palsu. Anak balita yang diberi vaksin palsu akan diobservasi dan diberi vaksin yang benar agar terlindungi dari penyakit tertentu. "Vaksin yang dipalsukan ialah imunisasi dasar wajib yang sebenarnya gratis dan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah. Fasilitas kesehatan swasta mendapatkan vaksin gratis dari dinas kesehatan," ujarnya.
Menindaklanjuti kasus vaksin palsu, BPOM memeriksa fasilitas kesehatan untuk menelusuri kemungkinan penggunaan vaksin palsu. Sasaran utamanya, klinik swasta kecil yang belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. "Kami sudah perintahkan kepada semua Balai Besar POM se-Indonesia," ucap Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta memastikan warga tak bisa bebas membeli vaksin. "Warga tak bisa membeli vaksin secara bebas, tetapi dapat memperoleh vaksin lewat dinas kesehatan atau puskesmas," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto. Vaksin yang dapat diperoleh gratis di puskesmas adalah BCG, hepatitis B, pentavalen, DPT, polio, dan campak. "Di puskesmas, masyarakat bisa mendapat vaksin itu secara gratis," ujarnya.
Koesmedi mengimbau kalangan rumah sakit membeli vaksin ke distributor resmi atau ke dinkes. “Waspadai jika sumber vaksin tak jelas, harga lebih murah, atau label cetakan lebih kasar atau tutup aluminium kemasan mencurigakan, atau tak mau memakai faktur resmi,” ujarnya.
Terungkapnya kasus vaksin palsu, jangan menjadi alasan orangtua tidak memenuhi hak anak mendapat imunisasi. Untuk memastikan anak mendapat vaksin asli, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Aman Bhakti Pulungan SpA (K) mengimbau orangtua membawa anaknya ke fasilitas kesehatan resmi.
Fasilitas kesehatan resmi milik pemerintah, seperti rumah sakit dan puskesmas tentu menyediakan vaksin yang berasal dari produsen dan distributor resmi. "Jangan ragu-ragu vaksin, datang ke fasilitas kesehatan resmi," kata Aman. Ia mengatakan, seluruh dokter anak di tempat praktiknya masing-masing juga telah diminta untuk memastikan asal produksi vaksin.
Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik BPOM Togi Junice Hutadjulu mengatakan, vaksin asli dan palsu memang sulit dibedakan dengan kasat mata. "Orangtua maupun dokter, sepertinya sulit untuk membedakan secara langsung yang mana vaksin asli dan palsu. Yang bisa memastikan adalah uji laboratorium," ujarnya.
Selain itu, orangtua juga bisa menanyakan langsung kepada pihak layanan fasilitas kesehatan, dari mana asal produksi vaksin yang digunakan. BPOM sendiri sejauh ini mengaku selalu melakukan pengawasan vaksin sebelum diedarkan ke masyarakat. Pemberian vaksin merupakan program imunisasi nasional oleh pemerintah. Tujuannya untuk mencegah anak terkena infeksi berat.
Vaksin disediakan oleh pemerintah, diberikan ke provinsi dan didistribusikan ke kabupaten/kota sampai ke Posyandu. Kementerian Kesehatan pun mengimbau seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah, maupun swasta melakukan kontrol ketat dalam pengadaan vaksin dari produsen dan pedagang besar farmasi (PBF) resmi.
Kemudian melakukan pengelolaan vaksin yang baik, mulai dari pengadaan, pencatatan, penyimpanan, dan penggunaan sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku, sehingga dapat dilakukan penelusuran balik. Jika ada kecurigaan, dokter maupun masyarakat bisa melapor ke BPOM di Halo BPOM 1500-533.
Sementara itu, petisi agar pemerintah mengumumkan nama-nama distributor, rumah sakit, atau klinik yang terindikasi menggunakan vaksin palsu muncul di dunia maya. Petisi yang berjudul "Selamatkan Nyawa Bayi/Balita Indonesia. Usut Tuntas Pemalsuan Vaksin di Indonesia" tersebut telah didukung lebih dari 17.000 tanda tangan dalam 24 jam di laman Change.org. Inisiator petisi tersebut, Niken Rosady, dari Komunitas Orangtua Sadar Imunisasi Indonesia, mengatakan, petisi ini muncul karena kekhawatiran para orangtua.
Dalam petisinya, seperti dilaporkan kompas.com, Niken mengajak para orangtua Indonesia untuk mendukung penyidikan kasus vaksin palsu ini dan meminta Polri membasmi secara tuntas pemalsuan vaksin dan mendukung penindakan tegas bagi para pelaku.
Dia juga meminta pemerintah, Bareskrim, dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor, rumah sakit, klinik, atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti menggunakan vaksin palsu. "Kita harus mendukung pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk men-disclose daftar distributor, RS/klinik/tempat layanan kesehatan yang menggunakan vaksin palsu ini guna transparansi," kata Niken dalam update petisinya.
Dwi Ana Muji Lestari, seorang penanda tangan petisi, dalam komentarnya mengatakan, "Sebagai ibu dari anak yang lahir tahun 2012 saya juga merasa marah, kecewa, dan sangat khawatir. Segera usut tuntas peredaran vaksin palsu. Data semua buyer baik itu rumah sakit, apotek dll, dan sebarkan ke masyarakat. Para orangtua juga berhak tahu dan bisa menentukan apakah anaknya perlu imunisasi ulang!”
Hal senada diungkapkan Rea Adilla. Dia mengatakan, "Sebutkan nama rumah sakit dan kliniknya. Sudah capek dengan berita lembaga kesehatan komersil yang kerjanya sembarangan. Masa bisa sampai beredar bertahun-tahun kalau tidak ada permintaan". 7 beragam sumber
1
2
Komentar