Eksis Mesti Dalam Lilitan Zaman
Tari Rejang Lilit di Desa Adat Purwayu, Abang, Karangasem
Benang ini dililitkan di pinggang setiap penari. Fungsi benang ini paling utama, sesuai namanya Rejang Lilit. Setiap pinggang penari dililiti benang yang telah dipintal hingga menutupi seluruh badan.
AMLAPURA, NusaBali
Tari Rejang Lilit di Desa Adat Purwayu, Desa Tri Buana, Kecamatan Abang, Karangasem, salah satu kasanah tari rejang di Bali. Keberadaan tarian ini makin terjaga di tengah dinamika zaman.
Oleh para tokoh adat setempat, tarian ini direvitalisasi kembali. Pertama kali dipentaskan pada Hari Raya Kuningan, Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (3 Agustus 2019) lalu.
Rejang Lilit tentu tak sekadar tarian umumnya.
Sesungguhnya, rejang ini mengandung pesan agar selalu tunduk pada ajaran kebenaran Tuhan. Sebab di setiap pementasannya, begitu kompleks yang selalu dilandasi konsep, satyam, siwam dan sundaram atau kebenaran, kesucian dan keindahan. Sesuai filosofinya dari satyam agar pelaksanaan upacara benar sesuai filsafat, dan petunjuk kitab suci Hindu. Tataran Siwam, upacara mesti dilandasi kesucian dalam pemilihan waktu pelaksanaan, sarana, dan pemimpin upacara juga mesti orang suci. Sedangkan tataran sundaram, penataan upakara mesti ditampilkan dalam bentuk yang paling indah.
Sebab, konsep itu hampir selalu melandasi semua bentuk kehidupan keagamaan di Bali. Terlebih lagi tari sakral, salah satunya tari Rejang Lilit, yang mengiringi ritual, sehingga menambah khusyuknya jalannya upacara.
Tujuan utama pementasan Tari Rejang Lilit untuk menghidupkan dan melestarikan kembali tari sakral setelah direvitalisasi. Karena tarian ini sempat punah puluhan tahun. Padahal secara dresta setempat yang turun temurun, wajib mementaskan tari ini. Tujuan lainnya, untuk mengundang para Dewa-Dewi agar turun ke bumi menyaksikan ritual yang tengah dilaksanakan. Dengan harapan para Dewa-Dewi menurunkan berkah kedamaian, kesuburan, dan keharmonisan dalam kehidupan beragama.
Pengundang Dewa-Dewi itu melalui Tari Rejang Lilit agar mampu memberikan inspirasi, terutama melalui gerak tangan sakral, estetik, menyimbolkan penghayatan terhadap keagungan Tuhan. Tarian ini juga menyimbolkan ketulusan bhakti saat menyembah kasucian Tuhan.
Bentuk tarian ini dibawakan oleh 19 krama deha Desa Adat Purwayu. Karakter gerak tarian ini begitu lembut yang melambangkan keindahan anugerah dari Tuhan. Di samping tari rejang ini diyakini menggambarkan kehidupan para dewa, di alam Surga. Surga yang selalu damai, dilandasi perbuatan baik, saling menolong, dan toleransi. Sedapat mungkin kehidupan para Dewa itu layak ditiru di semesta ini. Dengan itu ajaran kebenaran dan kasucian bisa masuk ke setiap imajinasi umat sedharma. Tarian sakral itu dibawakan dalam kemasan seni yang mampu menggugah perasaan penontonnya.
Bendesa Adat Purwayu I Nyoman Jati mengatakan, revitalisasi Tari Rejang Lilit dilakukan selama tiga bulan. Bagian paling rumit adalah memintal benang untuk bahan pakaian Tari Rejang Lilit. Benang ini dililitkan di pinggang setiap penari. Fungsi benang ini paling utama, sesuai namanya Rejang Lilit. Setiap pinggang penari dililiti benang yang telah dipintal hingga menutupi seluruh badan. Jenis benang digunakan adalah benang suntaki atau benang putih. Sedangkan pakaian lainnya berupa kain dan gelung yang merupakan busana lazim.
Setiap penari selain masing-masing saling memegang selendang penari rejang juga tangannya diikat benang, sehingga seluruh penari menjadi satu kesatuan yang utuh.
Biasanya, prosesi piodalan yang digelar di Pura Bale Agung Desa Adat Purwayu, diawali mendak Ida Bhatara Tirtha. Selanjutnya mementaskan Tari Rejang Lilit, keliling wawidangan Pura Bale Agung sebanyak tiga kali, disusul mementaskan Tari Pendet, Tari Keris, dan Terakhir Legong.
"Revitalisasi Tari Rejang Lilit, itu biayanya dari swadaya masyarakat," jelas I Nyoman Jati dihubungi di Banjar Adat Lebuh, Desa Adat Purwayu, Sabtu (14/9).
Disebutkan, penari rejang sesuai tradisi turun temurun, hanya dipentaskan 19 penari mewakili 212 KK, dari wanita usia sekolah SD, yang belum mengalami haid. Sebelum direvitalisasi, katanya, dari 19 penari sebelumnya, tinggal satu penari yang telah usia tua. Padahal tiap hari Kuningan di Pura Bale Agung wajib mementaskan tari Rejang Lilit. Itulah sebabnya, berkoordinasi dengan Kadis Kebudayaan Karangasem I Putu Arnawa, untuk menghidupkan kembali tari sakral yang telah punah.
Kadis Kebudayaan I Putu Arnawa mengapresiasi semangat krama Desa Adat Purwayu, menginginkan tari Rejang Lilit hidup kembali. Sebab, tarian itu sebagai pelengkap utama rangkaian upacara. "Makanya saya juga termotivasi untuk menuntaskan, agar tari Rejang Lilit tuntas sebelum Kuningan. Selain, seni tradisi kembali lestari, dan keberadaannya digunakan untuk upacara," jelasnya.7*nantra
Komentar