Tren Wisman Berulah di Kuta Meningkat
Dalam catatan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Badung, wisatawan manca negara yang berulah trennya tISTISTerus meningkat dari tahun ke tahun.
MANGUPURA, NusaBali
Kepala Satpol PP Kabupaten Badung I Gusti Agung Kerta Suryanegara, menyatakan pada 2017 lalu, setidaknya ada 8 orang wisatawan manca negara (wisman) yang berulah di kawasan Kecamatan Kuta. Kemudian, pada 2018 meningkatkan menjadi 20 wisman. Nah, hingga pertengahan September 2019 ini, pihak Satpol PP mencatat ada 2 orang wisman dalam sepekan yang berulah. Untuk pemetaan wilayah terkait wisatawan yang berulah, sebagian besar terjadi di Kuta. Sementata di Kuta Selatan dan Kuta Utara juga ada, namun tidak banyak. “Kalau kita lihat tren wisatawan yang berulah itu memang meningkat. Semenjak saya menjabat tahun 2017 lalu, itu tidak terlalu banyak. Tapi makin ke sini, justru semakin banyak yang berulah,” ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu (15/9) siang.
Ditanyai terkait penyebab wisman berulah, Suryanegara mengakui banyak faktornya. Mulai dari mabuk mushroom, stres, dan karena tidak memiliki bekal untuk pulang ke negara asalnya. Sehingga, wisman tersebut memilih menjadi gelandangan di Kuta dan ada juga yang mengamuk tak karuan di sejumlah lokasi yang ramai pengunjung.
Masih menurut Suryanegara, untuk pendataan identitas para wisman yang berulah itu, banyak yang berasal dari Australia, kemudian pada peringkat kedua Inggris dan ketiga Tiongkok. “Kalau penyebab berulah itu banyak faktornya. Yang paling sering kami temui saat pengamanan ada tiga faktor tadi, ada yang mabuk, stres, dan pura-pura gila untuk kami pulangkan. Kalau perincian posisi pertama itu Australia, kedua Inggris, kemudian China (Tiongkok),” ungkapnya seraya mengakui bahwa rincian jumlah masing-masing negara masih perlu pendataan mendalam.
Dikatakannya, dalam penanganan wisatawan yang berulah itu, tentu banyak kendala yang dihadapi di lapangan, mulai dari koordinasi dengan pihak Imigrasi dan stakeholder lainnya. Pasalnya, penanganan wisatawan yang berulah ini memiliki tanggung jawab berat. Suryanegara mencontohkan, kalau ada wisatawan yang berulah, pihaknya akan membawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis terlebih dahulu. Tapi penanggungjawab pasien/wisatawan itu masuk ke petugas Satpol PP. Kemudian, Satpol PP akan berkoordinasi dengan pihak Imigrasi untuk kemudian wisman dimaksud dideportasi. Lagi-lagi, dalam upaya deportasi ini memiliki waktu yang cukup lama.
“Kalau kendala dalam menghadapi persoalan ini memang sangat banyak. Tentu kita tidak bisa bekerja sendirian. Karena, tanggungjawabnya itu antarnegara,” imbuhnya.
Menurut Suryanegara, untuk koordinasi dengan pihak Imigrasi dalam mendeportasi wisatawan, ada jangka waktu yang telah ditentukan, sehingga dalam masa tenggang sebelum upaya pendeportasian, ada biaya yang dibebankan ke pihaknya.
“Biasanya, kalau penanganan di Satpol PP, setiap hari Kamis dalam satu pekan, pasti ada sidang. Namun, di Imigrasi belum tentu aturan seperti itu. Nah, kalau misalnya ditangkap pada Kamis sore, pasti ada waktu yang cukup lama sebelum diserahkan ke sana (Imigrasi). Sehingga, biaya sebelum itu masuk dalam pembiayaan kami. Inilah yang menjadi kendala,” tuturnya.
Suryanegara menambahkan, belum lama ini pihaknya sudah melakukan MoU dengan Imigrasi dalam penanganan wisatawan yang berulah ini. *dar
Ditanyai terkait penyebab wisman berulah, Suryanegara mengakui banyak faktornya. Mulai dari mabuk mushroom, stres, dan karena tidak memiliki bekal untuk pulang ke negara asalnya. Sehingga, wisman tersebut memilih menjadi gelandangan di Kuta dan ada juga yang mengamuk tak karuan di sejumlah lokasi yang ramai pengunjung.
Masih menurut Suryanegara, untuk pendataan identitas para wisman yang berulah itu, banyak yang berasal dari Australia, kemudian pada peringkat kedua Inggris dan ketiga Tiongkok. “Kalau penyebab berulah itu banyak faktornya. Yang paling sering kami temui saat pengamanan ada tiga faktor tadi, ada yang mabuk, stres, dan pura-pura gila untuk kami pulangkan. Kalau perincian posisi pertama itu Australia, kedua Inggris, kemudian China (Tiongkok),” ungkapnya seraya mengakui bahwa rincian jumlah masing-masing negara masih perlu pendataan mendalam.
Dikatakannya, dalam penanganan wisatawan yang berulah itu, tentu banyak kendala yang dihadapi di lapangan, mulai dari koordinasi dengan pihak Imigrasi dan stakeholder lainnya. Pasalnya, penanganan wisatawan yang berulah ini memiliki tanggung jawab berat. Suryanegara mencontohkan, kalau ada wisatawan yang berulah, pihaknya akan membawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis terlebih dahulu. Tapi penanggungjawab pasien/wisatawan itu masuk ke petugas Satpol PP. Kemudian, Satpol PP akan berkoordinasi dengan pihak Imigrasi untuk kemudian wisman dimaksud dideportasi. Lagi-lagi, dalam upaya deportasi ini memiliki waktu yang cukup lama.
“Kalau kendala dalam menghadapi persoalan ini memang sangat banyak. Tentu kita tidak bisa bekerja sendirian. Karena, tanggungjawabnya itu antarnegara,” imbuhnya.
Menurut Suryanegara, untuk koordinasi dengan pihak Imigrasi dalam mendeportasi wisatawan, ada jangka waktu yang telah ditentukan, sehingga dalam masa tenggang sebelum upaya pendeportasian, ada biaya yang dibebankan ke pihaknya.
“Biasanya, kalau penanganan di Satpol PP, setiap hari Kamis dalam satu pekan, pasti ada sidang. Namun, di Imigrasi belum tentu aturan seperti itu. Nah, kalau misalnya ditangkap pada Kamis sore, pasti ada waktu yang cukup lama sebelum diserahkan ke sana (Imigrasi). Sehingga, biaya sebelum itu masuk dalam pembiayaan kami. Inilah yang menjadi kendala,” tuturnya.
Suryanegara menambahkan, belum lama ini pihaknya sudah melakukan MoU dengan Imigrasi dalam penanganan wisatawan yang berulah ini. *dar
Komentar