Penulis Lontar Berpeluang Meraih Anugerah Kebudayaan Nasional
Tim verifikasi dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kunjungan ke rumah I Wayan Mudita Adnyana, 88, di Banjar Adat Kauh, Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Sabtu (6/7).
AMLAPURA, NusaBali
Dari kunjungan tersebut, Mudita Adnyana dinyatakan berhak meraih Anugerah Kebudayaan Nasional tahun 20119 di nomor perongan. Tokoh Desa Adat Pangringsingan ini adalah seniman pelestari tradisi manuskrip, terutama penulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang.
Kepala Dinas Kebudayaan Karangasem, I Putu Arnawa, mengaku sudah dapat pemberitahuan penghargaan terkait Pekan Kebudayaan Nasional tanggal 7-14 Oktober di Jakarta. Karangasem dapat empat penghargaan, salah satunya di nomor perorangan atas nama I Wayan Mudita Adnyana. Sebelumnya, tim verifikasi beranggotakan Dita Darfiyanti dari Kemendikbud, Ida Bagus Rai dari Dinas Kebudayaan Bali, Nunus Supardi, Rizky Ernandi dari Kemendikbud, dan I Wayan Witrawan Sekretaris Dinas Kebudayaan Karangasem melakukan melakukan visitasi ke rumah Mudita Adnyana.
Dikatakan, Mudita Adnyana adalah pelestari manuskrip bidang menulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang. Aktivitas itu mengantarkan Mudita Adnyana meraih penghargaan sebagai seniman tua dari Pemkab Karangasem tahun 1987 dan Pemprov Bali tahun 1984. Dia berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018 karena secara fisik tidak kuat duduk. Di rumahnya, Mudita Adnyana memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988) dan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 31 Desember 2001.
Hasil karyanya dibeli tiga kepala Negara yakni Presiden Italia Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 10.000 tahun 1983. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 246.000 tahun 1988, dan Megawati Soekarnoputrimembeli lontar Ramayana senilai Rp 500.000 tahun 2001. Mudita Adnyana aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957 saat usianya 26 tahun, menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972.
Arnawa mengatakan selain Mudita Adnyana, meraih penghargaan kebudayaan tingkat nasional, tiga penghargaan lainnya untu seni genjek, seni penting, dan budaya Usaba Dimel. “Prestasi itu sangat membanggakan, memotivasi untuk melakukan revitalisasi kebudayaan terutama WBTB (warisan budaya tak benda),” katanya. *k16
Kepala Dinas Kebudayaan Karangasem, I Putu Arnawa, mengaku sudah dapat pemberitahuan penghargaan terkait Pekan Kebudayaan Nasional tanggal 7-14 Oktober di Jakarta. Karangasem dapat empat penghargaan, salah satunya di nomor perorangan atas nama I Wayan Mudita Adnyana. Sebelumnya, tim verifikasi beranggotakan Dita Darfiyanti dari Kemendikbud, Ida Bagus Rai dari Dinas Kebudayaan Bali, Nunus Supardi, Rizky Ernandi dari Kemendikbud, dan I Wayan Witrawan Sekretaris Dinas Kebudayaan Karangasem melakukan melakukan visitasi ke rumah Mudita Adnyana.
Dikatakan, Mudita Adnyana adalah pelestari manuskrip bidang menulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang. Aktivitas itu mengantarkan Mudita Adnyana meraih penghargaan sebagai seniman tua dari Pemkab Karangasem tahun 1987 dan Pemprov Bali tahun 1984. Dia berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018 karena secara fisik tidak kuat duduk. Di rumahnya, Mudita Adnyana memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988) dan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 31 Desember 2001.
Hasil karyanya dibeli tiga kepala Negara yakni Presiden Italia Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 10.000 tahun 1983. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 246.000 tahun 1988, dan Megawati Soekarnoputrimembeli lontar Ramayana senilai Rp 500.000 tahun 2001. Mudita Adnyana aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957 saat usianya 26 tahun, menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972.
Arnawa mengatakan selain Mudita Adnyana, meraih penghargaan kebudayaan tingkat nasional, tiga penghargaan lainnya untu seni genjek, seni penting, dan budaya Usaba Dimel. “Prestasi itu sangat membanggakan, memotivasi untuk melakukan revitalisasi kebudayaan terutama WBTB (warisan budaya tak benda),” katanya. *k16
Komentar