Keluarga, Soko Guru Budaya
Adagium ‘semakin tinggi gedung, semakin kokoh fondasi diperlukan’, memang ada benarnya. Sehingga, pembinaan suatu generasi memerlukan fondasi yang kokoh.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Fondasi demikian harus mempertimbangkan masa lampau, kini, dan mendatang. Analognya, setiap keluarga tidak sekadar memiliki masa lampau, kini, dan mendatang. Tetapi, ia harus mempunyai konsepsi yang jelas tentangnya. Dengan demikian, keluarga dapat dipandang sebagai soko guru. Sebagai soko guru, keluarga berfungsi sebagai pengukuh mandiri.
Realitanya, kondisi dalam keluarga maupun masyarakat sering kurang kondusif. Hal tersebut tampak dari peran orangtua yang tidak optimal. Lingkungan masyarakat pun kurang mendidik sebagai pusat pembudayaan nilai positif. Akibatnya, sistem sosial kadang tumpul kepedulian. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap upaya pembentukan manusia berkarakter dan berbudaya. Secara teori, pendidikan dalam keluarga belum tersentuh secara sistemik. Sesungguhnya, pendidikan di dalam keluarga berpengaruh signifikan, asal dikuatkan dengan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu keseharian keluarga harus diregulasi dengan baik. Kenapa mesti demikian?
Alasan pertama, karena keluarga merupakan titik kendali pembudayaan awal. Warna budaya yang tercipta ditentukan oleh artis-artis yang ada di dalam keluarga yang bersangkutan. Hal ini menciptakan variasi yang amat besar. Perbedaan tingkat pendidikan, pendapatan, kesibukan atau aspirasi berpotensi menciptakan variasi demikian. Realita demikian memerlukan penguatan yang dapat memberdayakan. Menurut Ki Hajar Dewantara, pembudayaan insani di keluarga harus berciri ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Alasan kedua, proses pembudayaan dalam keluarga tidak berhenti ketika anak sudah beranjak remaja atau dewasa. Pembudayaan terus berlangsung, bahkan sampai menjelang akhir hayat. Di sinilah peran serta dan tanggung jawab keluarga dituntut. Seiring dengan pertambahan usia, kompleksitas interaksi, dan berlipatnya masalah, maka strategi pembudayaan pun harus selalu dikontekstualisasi. Interaksi antar- dan intra- tidak semuanya berlangsung alamiah. Interaksi ada yang berlangsung secara alamiah dan ada yang direkayasa. Karenanya, pengelola sistem sosial dituntut untuk dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya interaksi edukatif.
Di Bali, keluarga merupakan pusat pembudayaan nilai dan norma. Seperti pelaksanaan yadnya sangat intensif dilakukan dalam keluarga Hindu. Sejak dini, anak dibiasakan untuk menyadari tetang apa yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi. Berdosalah ia yang suka menerima tetapi tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas dari segala dosa, maka dari itu ia patut ber-yadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan memberi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak ber-yadnya, yang tidak membalas rahmat-Nya sesungguhnya ia seorang pencuri. Salah satu contohnya adalah ngejot seusai menanak nasi dan lauk. Contoh lain pelaksanaan dewa yadnya adalah bersembahyang di pemerajan, sanggah atau tempat suci lainnya secara teratur. Ini merupakan perwujudan bakti atas kekuasaan-NYA.
Pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan contoh pembudayaan rasa bakti. Pitra yadnya merupakan kewajiban dari preti sentana sebagai wujud bakti kepada leluhur. Tujuannya adalah menyucikan roh yang telah meninggal dunia. Pembersihan roh ketika manusia masih hidup dapat dilaksanakan dengan cara badan dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa dibersihkan dengan ilmu pengetahuan, dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Demikian juga dengan upacara manusa yadnya. Upacara manusa yadnya adalah upacara persembahan suci nan tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian. Ini dilakukan sejak anak dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Upacara manusa yadnya erat hubungannya dengan empat tingkatan dalam menjalani kehidupan ala Hindu. Ke-empatnya ini terdiri atas brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Pelaksanaan upacara manusa yadnya merupakan sebagai sarana pembudayaan nilai, norma, dan etika Hindu secara informal. Yadnya yang ke-empat adalah upacara bhuta yadnya. Yadnya ini dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan alam semesta. Tujuannya adalah untuk memohon kekuatan lahir batin kepada Yang Maha Tunggal. Upacara butha yadnya pada hakikatnya menjaga keharmonisan dan merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha.
Yadnya ke-lima adalah Rsi yadnya. Rsi Yadnya adalah penghormatan secara tulus ikhlas kepada seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus pemimpin keagamaan. Dalam ajaran Tri Rna disebutkan sebagai kewajiban untuk menghormati para rohaniawan, guru, dan orang suci lainnya. Simpulannya, keluarga merupakan sumber pertama dan utama dalam pembudayaan nilai-nilai, norma, dan etika. Semoga. 7
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Fondasi demikian harus mempertimbangkan masa lampau, kini, dan mendatang. Analognya, setiap keluarga tidak sekadar memiliki masa lampau, kini, dan mendatang. Tetapi, ia harus mempunyai konsepsi yang jelas tentangnya. Dengan demikian, keluarga dapat dipandang sebagai soko guru. Sebagai soko guru, keluarga berfungsi sebagai pengukuh mandiri.
Realitanya, kondisi dalam keluarga maupun masyarakat sering kurang kondusif. Hal tersebut tampak dari peran orangtua yang tidak optimal. Lingkungan masyarakat pun kurang mendidik sebagai pusat pembudayaan nilai positif. Akibatnya, sistem sosial kadang tumpul kepedulian. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap upaya pembentukan manusia berkarakter dan berbudaya. Secara teori, pendidikan dalam keluarga belum tersentuh secara sistemik. Sesungguhnya, pendidikan di dalam keluarga berpengaruh signifikan, asal dikuatkan dengan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu keseharian keluarga harus diregulasi dengan baik. Kenapa mesti demikian?
Alasan pertama, karena keluarga merupakan titik kendali pembudayaan awal. Warna budaya yang tercipta ditentukan oleh artis-artis yang ada di dalam keluarga yang bersangkutan. Hal ini menciptakan variasi yang amat besar. Perbedaan tingkat pendidikan, pendapatan, kesibukan atau aspirasi berpotensi menciptakan variasi demikian. Realita demikian memerlukan penguatan yang dapat memberdayakan. Menurut Ki Hajar Dewantara, pembudayaan insani di keluarga harus berciri ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Alasan kedua, proses pembudayaan dalam keluarga tidak berhenti ketika anak sudah beranjak remaja atau dewasa. Pembudayaan terus berlangsung, bahkan sampai menjelang akhir hayat. Di sinilah peran serta dan tanggung jawab keluarga dituntut. Seiring dengan pertambahan usia, kompleksitas interaksi, dan berlipatnya masalah, maka strategi pembudayaan pun harus selalu dikontekstualisasi. Interaksi antar- dan intra- tidak semuanya berlangsung alamiah. Interaksi ada yang berlangsung secara alamiah dan ada yang direkayasa. Karenanya, pengelola sistem sosial dituntut untuk dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya interaksi edukatif.
Di Bali, keluarga merupakan pusat pembudayaan nilai dan norma. Seperti pelaksanaan yadnya sangat intensif dilakukan dalam keluarga Hindu. Sejak dini, anak dibiasakan untuk menyadari tetang apa yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi. Berdosalah ia yang suka menerima tetapi tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas dari segala dosa, maka dari itu ia patut ber-yadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan memberi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak ber-yadnya, yang tidak membalas rahmat-Nya sesungguhnya ia seorang pencuri. Salah satu contohnya adalah ngejot seusai menanak nasi dan lauk. Contoh lain pelaksanaan dewa yadnya adalah bersembahyang di pemerajan, sanggah atau tempat suci lainnya secara teratur. Ini merupakan perwujudan bakti atas kekuasaan-NYA.
Pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan contoh pembudayaan rasa bakti. Pitra yadnya merupakan kewajiban dari preti sentana sebagai wujud bakti kepada leluhur. Tujuannya adalah menyucikan roh yang telah meninggal dunia. Pembersihan roh ketika manusia masih hidup dapat dilaksanakan dengan cara badan dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa dibersihkan dengan ilmu pengetahuan, dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Demikian juga dengan upacara manusa yadnya. Upacara manusa yadnya adalah upacara persembahan suci nan tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian. Ini dilakukan sejak anak dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Upacara manusa yadnya erat hubungannya dengan empat tingkatan dalam menjalani kehidupan ala Hindu. Ke-empatnya ini terdiri atas brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Pelaksanaan upacara manusa yadnya merupakan sebagai sarana pembudayaan nilai, norma, dan etika Hindu secara informal. Yadnya yang ke-empat adalah upacara bhuta yadnya. Yadnya ini dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan alam semesta. Tujuannya adalah untuk memohon kekuatan lahir batin kepada Yang Maha Tunggal. Upacara butha yadnya pada hakikatnya menjaga keharmonisan dan merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha.
Yadnya ke-lima adalah Rsi yadnya. Rsi Yadnya adalah penghormatan secara tulus ikhlas kepada seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus pemimpin keagamaan. Dalam ajaran Tri Rna disebutkan sebagai kewajiban untuk menghormati para rohaniawan, guru, dan orang suci lainnya. Simpulannya, keluarga merupakan sumber pertama dan utama dalam pembudayaan nilai-nilai, norma, dan etika. Semoga. 7
1
Komentar