Budaya Literasi Berbasis Keluarga
Keluarga, sebagai satuan sistem sosial terdekat yang dialami oleh individu memiliki arti dan peranan yang sangat penting, tidak hanya bagi individu tersebut, melainkan juga bagi tatanan masyarakat bahkan tatanan suatu negara.
Penulis : Gerry Katon Mahendra, S.IP., M.I.P.
Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Merunut kebelakang, dalam konteks sejarah Indonesia sebagaimana konsep Ki Hajar Dewantara, keluarga sudah memiliki peranan penting dalam membentuk karakter seseorang. Secara epistimologis, konsep tersebut berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu “kawula” dan warga. Didalam bahasa Jawa kuno “kawula” berarti hamba dan warga berarti anggota. Konsep tersebut dapat diartikan bahwa keluarga merupakan tempat berkumpulnya sekumpulan manusia yang memiliki hubungan kekerabatan sekaligus sebagai proses dalam membentuk sifat, karakter, hingga cara memandang proses kehidupan dimasa depan melalui kegiatan interaksi bahasa, pendidikan literasi, dan komunikasi.
Bahasa, literasi, dan komunikasi, sebagai bagian dari proses pencapaian tujuan suatu keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter anggota keluarga. Bersamaan dengan pembahasan hal tersebut, juga dalam semangat memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) yang jatuh pada bulan September 2019 sejenak kita refleksikan arti penting pendidikan bahasa, literasi, dan komunikasi. Sebelumnya, patut diketahui bahwa Hari Aksara Internasional sendiri telah ditetapkan UNESCO pada tahun 1966 untuk diperingati pada tanggal 8 September. Sejak saat itu, peringatan HAI terus dilakukan dengan membawa semangat memberantas tingkat buta huruf dan memajukan budaya literasi diseluruh dunia. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu keluarga dan suatu bangsa dalam memaknai dan merawat hal tersebut ? Sejatinya, disadari atau tidak, banyak keluarga yang memberikan proses pendidikan bahasa, literasi dan komunikasi kepada para anggota keluarganya.
Namun, mengingat hal tersebut tidak dilakukan berdasarkan kesadaran bersama maka patut diakui masih terjadi ketimpangan hasil dari pendidikan literasi secara nasional. Data nasional yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen, atau sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa (usia 15-59 tahun) yang belum beraksara. Selain itu, masih terdapat 11 provinsi memiliki angka buta huruf di atas angka nasional. Kesebelas provinsi tersebut yaitu Papua sebesar 25,843%, NTB 7,787%, NTT 5,365%, Sulawesi Barat 4,36%, Kalimantan Barat 4,283%, Sulawesi Selatan 4,686%, Bali 2,908%, Jawa Timur 3,427%, Kalimantan Utara 2,562%. Kemudian Sulawesi Tenggara sebesar 2,510%, dan Jawa Tengah 2,267%. Sedangkan 23 provinsi lainnya sudah berada di bawah angka nasional. (detik.com, 2019). Data tersebut dapat ditafsirkan kedalam dua hal.
Pertama, pemerintah dirasa mampu mengatasi masalah buta aksara hingga hampir menyentuh angka 98%. Kedua, pemerintah dinilai belum maksimal dalam menggunakan seluruh kewenangan yang dimiliki untuk membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) benar-benar bebas dari buta aksara. Dalam hal ini tentu kita, masyarakat, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa harus mampu bahu membahu bersama untuk menuntaskan buta aksara yang setidaknya masih dialami oleh 3 juta lebih masyarakat Indonesia. Selanjutnya, terkait dengan budaya literasi. Graff (2006) mendefinisikan literasi sebagai suatu kemampuan untuk menulis dan membaca. Namun di Indonesia, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa budaya literasi Indonesia justru masih cukup rendah. Salah satunya adalah hasil penelitian Perpustakaan Nasional pada tahun 2017 menyebutkan bahwa durasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Kondisi tersebut masih jauh di bawah standar UNESCO yang meminta agar waktu membaca tiap orang 4-6 jam per hari.
Empat Modal Utama
Semangat perayaan Hari Aksara Internasional harus dinyalakan dan diterapkan setidaknya membantu upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia, hingga meningkatkan budaya literasi di Indonesia. Bagaimana caranya ? setidaknya terdapat empat kata kunci penting yang saling terkait, yaitu : keluarga, kearifan lokal, teknologi, dan kebijakan. Keluarga, sebagai kata kunci pertama dan sebagaimana sudah dibahas pada paragraf sebelumnya harus menjadi fondasi dasar guna memaksimalkan budaya literasi sekaligus memberantas periode buta huruf di Indonesia. Para orang tua memegang peranan yang sangat penting. Mereka harus mampu menjadi role model terbaik bagi para anak-anaknya. Memberikan contoh positif, misalnya pengenalan huruf dan bahasa nasional, bahasa ibu, hingga bahasa internasional sejak dini; mendampingi anak belajar pada malam hari; hingga diskusi mengenai tugas sekolah/kampus mampu menjadi stimulan positif dalam upaya memaksimalkan budaya literasi dalam keluarga.
Kearifan lokal, hal tersebut menjadi penting mengingat beragamnya budaya yang ada di Indonesia. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai sudut pandang khas yang digunakan untuk meningkatkan budaya literasi pada masing-masing daerah. Tentu saja satu daerah dengan daerah lain akan menempuh cara berbeda guna mencapai hal tersebut. Contohnya, peningkatan edukasi aksara daerah dan edukasi dongeng khas daerah. Dengan memperkuat kearifan lokal, selain mampu meningkatkan budaya literasi, juga mampu memperkuat kekhasan daerah agar tidak tergerus kemajuan zaman. Teknologi, menjadi suatu keharusan diera saat ini. Kemajuan zaman dan teknologi yang tidak memandang ruang dan waktu harus mampu dimanfaatkan dengan baik. Teknologi harus mampu kita manfaatkan untuk menjangkau daerah-daerah yang selama ini sulit dijangkau agar dapat mendistribusikan perkembangan ilmu dan literasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Secara operasional, hal ini dapat diwujudkan dengan cara optimalisasi infrastruktur jaringan internet agar arus informasi dapat terdistribusikan lebih baik lagi.
Terakhir mengenai kebijakan, ketiga kata kunci diatas tidak mungkin dapat bersinergi apabila pemerintah tidak mampu membuat kebijakan yang tepat. Implemetasi program literasi keluarga, implementasi literasi berbasis kearifan lokal, dan pemanfaatan teknologi dalam peningkatan budaya literasi akan menjadi semangat bersama dan diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia apabila terdapat payung hukum yang relevan didalamnya. Tugas dari pemerintah untuk mewujudkan kebijakannya dan menjadi tugas kita untuk mengawal kebijakan tersebut. implementasi upaya-Upaya diatas, dengan membawa semangat perayaan Hari Aksara Internasional seluruh elemen bangsa semoga menjadi momentum peningkatan budaya literasi berbasis keluarga, kearifan lokal, dan teknologi sehingga mampu mewujudkan harapan Indonesia berdaya saing. Semoga !
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar