Muput Pasupati Tapakan Barong-Rangda di Belgia
Kenangan Khusus Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah Sebelum Lebar
Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah sendiri lebar (meninggal) pada 9 September 2019 akibat gangguan saluran prostat. Layon almatrhum akan dipalebon di Setra Badung pada Buda Kliwon Bala, Rabu, 1 November 2019
GIANYAR, NusaBali
Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah, 82, sulinggih dari Griya Pasraman Telabah Tegal Lantang, Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat telah lebar (meninggal) pada Soma Pahing Merakih, Senin, 9 September 2019 sore.
Kepergian Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah ke alam sunia loka tidak hanya dikenang oleh para sisya (murid)-nya, tapi juga civitas akademika Unud dan sameton Puri Agung Ubud. Semasa walaka, Ida Pedanda yang bernama Prof Dr Ida Bagus Ngurah Narendra M PH DR PH merupakan dosen Fakultas Kedokteran Unud. Almarhum pula yang menciptakan Hymne Unud. Setelah jadi sulinggih, Ida Pedanda muput upacara ke berbagai pelosok.
Pengabdian Ida Pedanda sebagai rohaniwan Hindu juga sangat dikenang oleh sa-meton dan tokoh Puri Agung Ubud, Gianyar. Salah satunya, Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati SE MM alias Cok De, tokoh Puri Agung Ubud yang dikenal sebagai akademisi dan sekaligus undagi (arsitek) bade dan pratima (benda-benda sakral).
Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan Cok De adalah ketika dia bersama sameton Puri Agung Ubud sempat ngiring (mengantar) Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah untuk melaspas Tapakan Barong, Rangda, dan Tapel di Pura Agung Santi Bhuwana Belgia pada Sukra Kliwon Watugunung, Jumat, 15 Juni 2012. Menurut Cok De, almarhum kala itu melaspas Tapakan Ida Batara di Pura Agung Santi Bhuwana Belgia atas petunjuk Ida Pedanda Gede Putra Bajing, sulinggih dari Griya Tegal Jingga, Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur.
Cok De mengisahkan, sedianya Ida Pedanda Putra Bajing yang hendak muput ke Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Namun, karena Ida Pedanda Putra Bajing berhalangan, Cok De putuskan untuk membuat, mengirim, lanjut mengikuti langsung prosesi melaspas Tapakan Ida Batara di Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Ayah-ayahan Cok De ini atas permintaan salah seorang tokoh Hindu di Belgia, Erick Domm.
Sekitar 6 bulan sebelum menyucikan Tapakan Ida Batara di Belgia, Erick Domm sempat melancong ke Puri Agung Ubud. Tujuannya, untuk mendalami prosesi penyucian pura di Belgia. Atas saran sejumlah tokoh di Ubud, Erick Dumm kemudian menemui Cok De di Puri Agung Ubud.
Dalam pertemuan itulah, Erick Domm merespons tentang aura kearifan lokal Bali yang terpusat di pura. Dia yakin dan memahami filosofi keseimbangan hidup secara Hidnu berkonsep rwa bhineda (keseimbangan dua kutub) dalam simbol Tapakan Barong-Rangda.
Karena keyakinan itu, Erick Domm sepakat agar Cok De menghaturkan Tapakan Barong-Rangda ke Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Nah, untuk membuat tapakan tersebut, Cok De matur puning (mohon petunjuk) kepada Ida Pedanda Gede Putra Bajing di Griya Tegal Jingga.
Diawali mapakeling (permakluman secara niskalaa) di Pura Gunung Lebah, Desa Adat Ubud, lanjut prosesi nunas taru (mohon kayu) Jepun untuk dijadikan bahan tapel (wajah) tapakan di pura yang sama. Kayu bahan tapel dimohonkan di Pura Gunung Lebah, karena pura ini merupakan salah satu titik petilasan suci Rsi Markandeya ke Bali, hingga kemudian lahir nama Ubud yang berawal dari kata ubad (obat).
Ada empat Tapakan Ida Bhatara yang dibuat selama 4 bulan, yakni Tapakan Ratu Gede (berwujud Barong), Ratu Ayu (berwujud Rangda), Ratu Mas (berwujud Rangda), dan Ratu Alit (berwujud Topeng). Pamelaspas tapakan tahap pertama dipuput oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing di Merajan Puri Agung Ubud. Selan-jutnya, pratima dikemas untuk dikirim dengan naik pesawat ke Pura Agung Santi Bhuwana Belgia.
Oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing, almarhum Ida Pedanda Gde Putra Telabah diminta muput pamelaspas dan pasupati Tapakan Ida Batara tersebut di Pura Santi Agung Bhuwana Belgia. Penyucian tapakan di Belgia juga diawali nyangcang, ngerehang (mapinton), lanjut pasupati oleh almarhum Ida Pedanda Putra Telabah.
“Kami sangat terkenang dengan almarhum Ida Pedanda Putra Telabah, terutama pemahaman tentang Hindu. Ida Pedanda sangat moderat dalam memadukan nilai-nilai tradisi. Saran Ida Pedanda, pura di mana pun jangan dimasuki secara sembarangan,” kenang Cok De.
Almarhum Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah sendiri lebar (meninggal) pada 9 September 2019 akibat gangguan saluran prostat. Sebelumnya, almarhum divonis mengidap tumor paru-paru, 10 tahun lalu. “Sempat dinyatakan sembuh, namun tetap berobat medis dan herbal. Kemudian, sejak setahun lalu kondisi kesehatannya me-nurun. Tiga bulan lalu mulai keras prostatnya, hingga bolak balik masuk rumah sakit,” tutur istri almarhum, Ida Pedanda Nabe Istri Mayun, 79, Selasa (10/9).
Hingga saat ini, layon (jenazah) almarhum masih disemayamkan di rumah duka, Griya Pasraman Telabah Tegal Lantang, Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Rencananya, jenazah almarhum akan dipalebon di Setra Badung di Denpasar pada Buda Kliwon Bala, Rabu, 1 November 2019 mendatang. Sebelum palebon, jenazah almarhum akan disemayamkan di Griya Ageng Telabah mulai Buda Pon Medangkungan, Rabu, 25 September 2019. Sedangkan upacara nyiramang layon (memandikan jenazah) baru akan dilaksanakan pada Saniscara Umanis Medangkungan, Sabtu, 28 September 2019 depan. *lsa
Kepergian Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah ke alam sunia loka tidak hanya dikenang oleh para sisya (murid)-nya, tapi juga civitas akademika Unud dan sameton Puri Agung Ubud. Semasa walaka, Ida Pedanda yang bernama Prof Dr Ida Bagus Ngurah Narendra M PH DR PH merupakan dosen Fakultas Kedokteran Unud. Almarhum pula yang menciptakan Hymne Unud. Setelah jadi sulinggih, Ida Pedanda muput upacara ke berbagai pelosok.
Pengabdian Ida Pedanda sebagai rohaniwan Hindu juga sangat dikenang oleh sa-meton dan tokoh Puri Agung Ubud, Gianyar. Salah satunya, Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati SE MM alias Cok De, tokoh Puri Agung Ubud yang dikenal sebagai akademisi dan sekaligus undagi (arsitek) bade dan pratima (benda-benda sakral).
Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan Cok De adalah ketika dia bersama sameton Puri Agung Ubud sempat ngiring (mengantar) Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah untuk melaspas Tapakan Barong, Rangda, dan Tapel di Pura Agung Santi Bhuwana Belgia pada Sukra Kliwon Watugunung, Jumat, 15 Juni 2012. Menurut Cok De, almarhum kala itu melaspas Tapakan Ida Batara di Pura Agung Santi Bhuwana Belgia atas petunjuk Ida Pedanda Gede Putra Bajing, sulinggih dari Griya Tegal Jingga, Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur.
Cok De mengisahkan, sedianya Ida Pedanda Putra Bajing yang hendak muput ke Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Namun, karena Ida Pedanda Putra Bajing berhalangan, Cok De putuskan untuk membuat, mengirim, lanjut mengikuti langsung prosesi melaspas Tapakan Ida Batara di Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Ayah-ayahan Cok De ini atas permintaan salah seorang tokoh Hindu di Belgia, Erick Domm.
Sekitar 6 bulan sebelum menyucikan Tapakan Ida Batara di Belgia, Erick Domm sempat melancong ke Puri Agung Ubud. Tujuannya, untuk mendalami prosesi penyucian pura di Belgia. Atas saran sejumlah tokoh di Ubud, Erick Dumm kemudian menemui Cok De di Puri Agung Ubud.
Dalam pertemuan itulah, Erick Domm merespons tentang aura kearifan lokal Bali yang terpusat di pura. Dia yakin dan memahami filosofi keseimbangan hidup secara Hidnu berkonsep rwa bhineda (keseimbangan dua kutub) dalam simbol Tapakan Barong-Rangda.
Karena keyakinan itu, Erick Domm sepakat agar Cok De menghaturkan Tapakan Barong-Rangda ke Pura Agung Santi Bhuwana, Belgia. Nah, untuk membuat tapakan tersebut, Cok De matur puning (mohon petunjuk) kepada Ida Pedanda Gede Putra Bajing di Griya Tegal Jingga.
Diawali mapakeling (permakluman secara niskalaa) di Pura Gunung Lebah, Desa Adat Ubud, lanjut prosesi nunas taru (mohon kayu) Jepun untuk dijadikan bahan tapel (wajah) tapakan di pura yang sama. Kayu bahan tapel dimohonkan di Pura Gunung Lebah, karena pura ini merupakan salah satu titik petilasan suci Rsi Markandeya ke Bali, hingga kemudian lahir nama Ubud yang berawal dari kata ubad (obat).
Ada empat Tapakan Ida Bhatara yang dibuat selama 4 bulan, yakni Tapakan Ratu Gede (berwujud Barong), Ratu Ayu (berwujud Rangda), Ratu Mas (berwujud Rangda), dan Ratu Alit (berwujud Topeng). Pamelaspas tapakan tahap pertama dipuput oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing di Merajan Puri Agung Ubud. Selan-jutnya, pratima dikemas untuk dikirim dengan naik pesawat ke Pura Agung Santi Bhuwana Belgia.
Oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing, almarhum Ida Pedanda Gde Putra Telabah diminta muput pamelaspas dan pasupati Tapakan Ida Batara tersebut di Pura Santi Agung Bhuwana Belgia. Penyucian tapakan di Belgia juga diawali nyangcang, ngerehang (mapinton), lanjut pasupati oleh almarhum Ida Pedanda Putra Telabah.
“Kami sangat terkenang dengan almarhum Ida Pedanda Putra Telabah, terutama pemahaman tentang Hindu. Ida Pedanda sangat moderat dalam memadukan nilai-nilai tradisi. Saran Ida Pedanda, pura di mana pun jangan dimasuki secara sembarangan,” kenang Cok De.
Almarhum Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah sendiri lebar (meninggal) pada 9 September 2019 akibat gangguan saluran prostat. Sebelumnya, almarhum divonis mengidap tumor paru-paru, 10 tahun lalu. “Sempat dinyatakan sembuh, namun tetap berobat medis dan herbal. Kemudian, sejak setahun lalu kondisi kesehatannya me-nurun. Tiga bulan lalu mulai keras prostatnya, hingga bolak balik masuk rumah sakit,” tutur istri almarhum, Ida Pedanda Nabe Istri Mayun, 79, Selasa (10/9).
Hingga saat ini, layon (jenazah) almarhum masih disemayamkan di rumah duka, Griya Pasraman Telabah Tegal Lantang, Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Rencananya, jenazah almarhum akan dipalebon di Setra Badung di Denpasar pada Buda Kliwon Bala, Rabu, 1 November 2019 mendatang. Sebelum palebon, jenazah almarhum akan disemayamkan di Griya Ageng Telabah mulai Buda Pon Medangkungan, Rabu, 25 September 2019. Sedangkan upacara nyiramang layon (memandikan jenazah) baru akan dilaksanakan pada Saniscara Umanis Medangkungan, Sabtu, 28 September 2019 depan. *lsa
Komentar