Jangkak-jongkok
SEJAK zaman dulu orang Bali dikenal suka jajan, belanja nyamikan di pasar atau warung. Biasanya mereka beli nyamikan kering seperti keripik singkong, atau yang basah-basah seperti penganan lempog — ketela rambat direbus, dilumat, diisi gula aren (gula ganting).
Aryantha Soethama
Pengarang
Untuk sarapan atau makanan penyela sore hari, mereka suka beli bubur beras diisi serondeng. Sedap sekali kalau disantap panas-panas, bikin sekujur badan berkeringat kalau sambalnya pedas.
Hari pasaran di Bali (sebelum muncul pasar swalayan) tiga hari sekali. Inilah hari piknik bagi orang desa ke kota: beli baju, cangkul, arit, tembakau, atau beli soto sambil nonton dagang obat di depan toko. Penjual obat itu biasanya bawa ular, sedikit main sulap, lalu menawarkan obat mujarab yang sanggup menyembuhkan encok, sakit gigi, pusing, luka bakar, selesma, batuk, sakit perut, keseleo, gatal-gatal, sampai sakit ambeien. Penonton berdiri keliling, kalau capek mereka jongkok, manggut-manggut ketika tukang obat pidato, sebelum membeli obat sebotol.
Orang Bali juga suka jongkok kalau beli nasi. Ini di zaman dulu, ketika pedagang nasi menggunakan meja rendah, jualan di depan bale banjar atau di jaba pura. Kalau ada piodalan atau tajen, tak kita kenal pedagang seperti sekarang yang menggunakan meja tinggi. Sekarang para pembeli itu makan sambil duduk di bangku, nasi di atas meja, seperti di rumah makan.
Dulu beda, mereka makan sambil jongkok, nasi dalam tekor (piring dari daun pisang) dipegang tangan kiri, dan tangan kanan menyuapkannya ke mulut. Tak ada yang makan menggunakan sendok. Orang-orang masa kini bilang, itulah cara makan yang alami, sangat menyenangkan, nikmat, seperti para petani makan di tengah sawah ketika istirahat membajak.
Tapi, banyak juga orang bilang, makan gaya jongkok seperti itu adalah cara makan manusia purba. Tentu mereka hendak mengatakan, itulah cara makan yang kotor dan kolot. Kadang ada yang berkomentar, “Hebat sekali orang Bali, sikap mereka ketika makan sama seperti kalau mereka mengeluarkan isi perut di kakus.”
Orang Bali tak mengenal makan lesehan, kecuali mereka makan magibung (beberapa orang makan nasi dan lauk di satu piring besar, atau dulang). Orang Bali justru sangat menikmati kalau makan sambil jongkok. Kalau ngobrol di pinggir jalan tengah malam, ketika menjaga air di sawah, petani-petani Bali melakukannya dengan jongkok, sambil menghisap kretek mengusir dingin dan kantuk.
Sampai sekarang pun, jika orang Bali makan ramai-ramai bersama usai mebat ngelawar di banjar atau di pura dalam rangka piodalan atau berkaitan dengan upacara adat seperti pernikahan, banyak yang masih suka makan sambil jongkok. Mereka makan bersama, barengan, tapi juga menyantap hidangan sendiri, asyik menyendiri menyantap lawar dan menyeruput komoh (sup).
Matektekan (mengerjakan kelengkapan upacara dari bambu kalau ada piodalan, atau matetulung saat kerabat menyelenggarakan kegiatan adat), juga dilakukan sambil jongkok. Memanggang sate, mengguling babi, ngesin nyuh (mengupas kelapa) dilakukan sambil jongkok.
Mengobrol pun orang-orang Bali zaman dulu punya kebiasaan sambil jongkok. Mereka bertukar cerita, mengungkapkan saat-saat menanam benih di sawah, atau kapan saat tepat panen, mereka lakoni sambil jongkok.
Beberapa pengamat luar Bali berkomentar, ciri khas perilaku sehari-hari orang Bali adalah ketika mereka melakukan adegan jongkok itu. Terkesan mereka masyarakat sederhana, santai, sangat menyatu dengan sekitar, cuek.
Kebiasaan jongkok ini juga bisa disaksikan kalau orang-orang Bali kerja bakti atau gotong royong membersihkan lingkungan, merapikan telajakan (sempadan di depan rumah), sekadar membersihkan selokan, atau menyapu halaman bale banjar. Karena digarap ramai-ramai, tentu tak ada kerja bakti yang membutuhkan banyak waktu.
Sesungguhnya, setiap kerja bakti adalah kegiatan ala kadarnya, sekadar ‘setor’ diri untuk tidak dicap malas bergaul dengan tetangga. Namun kerja bakti justru menampakkan ciri khas orang Bali: hanya sesaat cabut rumput tepi jalan, lalu mereka jongkok-jongkok, ngobrol. Kegiatan semacam ini kemudian dikenal dengan istilah jangkak-jongkok. Artinya, sedikit bekerja, lalu ngobrol, berdiri lagi, bekerja, lalu kembali jongkok ngobrol. Jangkak-jongkok merupakan cara orang Bali menghabiskan waktu.
Jangkak-jongkok lambat laun menjadi kiasan untuk hal-hal yang buruk, tidak menyenangkan, bahkan menyebalkan. Ia berkembang menjadi pengertian sebagai kegiatan kaum pengangguran.
Jangkak-jongkok juga mudah bisa disaksikan di kalangan para bebotoh (penjudi), ketika mereka mengelus-elus ayam aduan di halaman rumah, di bawah kerindangan pohon. Karena mengelus-elus jago, para bebotoh itu dituding tidak produktif, suka bermalas-malas. Di Bali, kalau ada orang yang dituding senang jangkak-jongkok, itu artinya dia seorang pemalas, pasif, doyan makan, tapi tak sudi bekerja.
Tapi, kalau ada tukang yang jongkok sana jongkok sini sedang mengerjakan borongan memasang paving, atau mereka yang merapikan tanaman, memberi pupuk, merawat kebun di hotel-hotel berbintang sambil jongkok, tentu tak bisa dituding jangkak-jongkok. Mereka lagi kerja keras cari duit dengan menciptakan kenyamanan dan keindahan lingkungan.
Pokoknya, kalau tidak ingin dicap sebagai manusia pemalas, ya hindarilah jangkak-jongkok. Harus bergerak, mesti kerja… kerja… kerja… 7
Komentar