Orang Bali Pengawal Mayat
Ketut Lunga dengan Nyoman Genep bersahabat karib. Dua-duanya PNS. Lunga bertugas di Dinas Pertanian, Genep di Catatan Sipil.
Mereka sudah lewat 30, seba ya, belum menikah. Jika ada masalah, mereka curhat berdua. Sudah biasa, mereka kelihatan duduk di warung-warung menghabiskan waktu. Kalau libur hari raya Bali-Hindu, mereka senang sekali plesir ke Pura Tirta Empul di Tampaksiring. Berdua mereka pura-pura sibuk hilir mudik di kolam pemandian dengan air bening. Tak hendak mandi mereka, cuma menyaksikan wanita nyemplung di kolam dengan air setinggi dada, mengenakan kamben dengan batas sedikit di atas payudara. Me re ka berdua senang mengintip belahan payudara yang tak mungkin utuh mereka pa n-dang, karena tubuh berselimut kain hingga ke mata kaki.
Lelah di kolam suci, Lunga mengajak sahabatnya duduk di bawah Beringin tua yang rindang. “Lama ya, di banjar kita tidak ada orang mati,” ujar Lunga, tiba-tiba, ngomong seperti orang ngelindur. Tapi, bagi Genep, itu bukan sesuatu yang ganjil. Genep tahu betul tabiat karibnya, keinginannya, seperti juga Lunga tahu apa yang ada dalam diri Genep. Di banjar mereka, Lunga dan Genep itu pascok (pas cocok) seperti mur dengan bautnya.
“Ya, lama sekali. Padahal ada lima orang tua renta, sakit-sakitan, yang siap mati. Tapi, mereka kok gak mati-mati ya?” tanya Genep. “Ah, tak bagus mendoakan orang cepat mati. Dosa besar itu, Lung.” “Aku tak mendoakan, Nep, tapi sebaiknya mereka mati saja agar kita bisa ma gebagan dan hobi kita tersalurkan.” “Hahaha... iya, iya. Sudah lama kita tidak magebagan, tidak maceki. Kalau maceki di rumahan kita mampus ditangkap polisi, bisa dipecat sebagai PNS, rugi sudah keluar banyak uang untuk nyogok.”
Magebagan bahasa Bali yang bermula dari kata gebag, artinya kawal. Magebagan berarti mengawal. Yang dikawal itu bukan petinggi, bukan artis atau orang tenar. Yang dikawal itu mayat. Jika ada keluarga yang sedang ditimpa kesedihan dan je nazah dibaringkan di bale dangin, warga banjar magebagan, menjaga mayat itu sebelum diantar ke kuburan. Mayat kok dijaga, memangnya siapa yang akan mencuri mayat? Yang dikawal tentu juga si tuan rumah. Jika warga datang ramai, akan luntur kesedihan karena ditinggal pergi si mati. Jika mayat itu berhari-hari di rumah, berhari-hari pula war ga magebagan, dan semakin senang orang-orang seperti Genep dan Lunga.
Magebagan biasanya dilakukan hingga pagi. Sepanjang malam warga duduk-du duk, omong-omong. Mereka begadang, dan tuan rumah akan menyuguhkan hi da ng an. Setelah teh atau kopi, datang kue, disusul menjelang tengah malam dengan suguhan nasi goreng atau bubur. Suguhan itu sebagai bekal menemani magebagan.
Tentu kalau cuma ngobrol, gampang jenuh. Biarpun dibombardir dengan berbagai menu makanan, selepas jam dua, belum dini hari, mata akan berat menahan kantuk. Jika dalam satu kelompok menjelang tengah malam tadi masih asyik bertukar pan dang tentang politik dan korupsi, sejam kemudian akan redup, kelopak mata berat menahan kantuk, dan leher pun tertekuk. Menjelang jam dua, banyak krama yang magebagan ngorok tertidur.
“Beh, suba ples ya nok! (Wah sudah tidur dia lho)” ujar seseorang yang masih kuat begadang karena ia tadi sempat tidur siang. Beberapa bahkan pulang mendahului. “Besok saya harus ngantor, gak enak sama bos kalau sampai mengantuk,” ada yang ngomong begitu dan ngeloyor pergi.
Tapi, jangan khawatir, magebagan akan tetap jalan. Lihatlah di bale dauh, di me ten, di bale delod, masih banyak krama. Mereka melingkari meja, tiap meja lima orang, dan asyik maceki. Para bebotoh-bebotoh ceki inilah yang sesungguhnya mengawal mayat yang terbaring di bale dangin. Orang-orang inilah teman-teman karib Genep dan Lunga.
Memang tidak semua yan hadir bebotoh ceki profesional. Jauh lebih banyak yang cuma maceki buat hiburan, seperti Lunga dan Genep. Di acara magebagan inilah mereka bisa menyalurkan hobi, karena tak bakalan ditangkap aparat keamanan. Jika sampai ada aparat yang datang hendak menangkap, serentak mereka akan berujar, “Beh, bapak ini gak ngerti orang lagi kesedihan!” Dan, aparat itu penuh pengertian, dan dianggap aparat yang baik yang memihak rakyat.
Konon, terpetik kabar, di Tabanan, para bebotoh pro sering menginginkan tuan ru mah menunda-nunda jenazah dibawa ke kuburan, sehingga banyak waktu meng gelar ceki bertopeng dan berkedok magebagan. Konon pula, jangan-jangan benar, para bebotoh itu membiayai biaya ngaben si tuan rumah dari hasil cuk (fee) judi ce ki. Kalau sungguh-sungguh benar, kian benar kalau magebagan itu sama saja de ngan maceki. Jika ada krama mengajak rekannya, “Ayo magebagan,” itu sama artinya dengan ajakan “Ayo maceki!” 7
Lelah di kolam suci, Lunga mengajak sahabatnya duduk di bawah Beringin tua yang rindang. “Lama ya, di banjar kita tidak ada orang mati,” ujar Lunga, tiba-tiba, ngomong seperti orang ngelindur. Tapi, bagi Genep, itu bukan sesuatu yang ganjil. Genep tahu betul tabiat karibnya, keinginannya, seperti juga Lunga tahu apa yang ada dalam diri Genep. Di banjar mereka, Lunga dan Genep itu pascok (pas cocok) seperti mur dengan bautnya.
“Ya, lama sekali. Padahal ada lima orang tua renta, sakit-sakitan, yang siap mati. Tapi, mereka kok gak mati-mati ya?” tanya Genep. “Ah, tak bagus mendoakan orang cepat mati. Dosa besar itu, Lung.” “Aku tak mendoakan, Nep, tapi sebaiknya mereka mati saja agar kita bisa ma gebagan dan hobi kita tersalurkan.” “Hahaha... iya, iya. Sudah lama kita tidak magebagan, tidak maceki. Kalau maceki di rumahan kita mampus ditangkap polisi, bisa dipecat sebagai PNS, rugi sudah keluar banyak uang untuk nyogok.”
Magebagan bahasa Bali yang bermula dari kata gebag, artinya kawal. Magebagan berarti mengawal. Yang dikawal itu bukan petinggi, bukan artis atau orang tenar. Yang dikawal itu mayat. Jika ada keluarga yang sedang ditimpa kesedihan dan je nazah dibaringkan di bale dangin, warga banjar magebagan, menjaga mayat itu sebelum diantar ke kuburan. Mayat kok dijaga, memangnya siapa yang akan mencuri mayat? Yang dikawal tentu juga si tuan rumah. Jika warga datang ramai, akan luntur kesedihan karena ditinggal pergi si mati. Jika mayat itu berhari-hari di rumah, berhari-hari pula war ga magebagan, dan semakin senang orang-orang seperti Genep dan Lunga.
Magebagan biasanya dilakukan hingga pagi. Sepanjang malam warga duduk-du duk, omong-omong. Mereka begadang, dan tuan rumah akan menyuguhkan hi da ng an. Setelah teh atau kopi, datang kue, disusul menjelang tengah malam dengan suguhan nasi goreng atau bubur. Suguhan itu sebagai bekal menemani magebagan.
Tentu kalau cuma ngobrol, gampang jenuh. Biarpun dibombardir dengan berbagai menu makanan, selepas jam dua, belum dini hari, mata akan berat menahan kantuk. Jika dalam satu kelompok menjelang tengah malam tadi masih asyik bertukar pan dang tentang politik dan korupsi, sejam kemudian akan redup, kelopak mata berat menahan kantuk, dan leher pun tertekuk. Menjelang jam dua, banyak krama yang magebagan ngorok tertidur.
“Beh, suba ples ya nok! (Wah sudah tidur dia lho)” ujar seseorang yang masih kuat begadang karena ia tadi sempat tidur siang. Beberapa bahkan pulang mendahului. “Besok saya harus ngantor, gak enak sama bos kalau sampai mengantuk,” ada yang ngomong begitu dan ngeloyor pergi.
Tapi, jangan khawatir, magebagan akan tetap jalan. Lihatlah di bale dauh, di me ten, di bale delod, masih banyak krama. Mereka melingkari meja, tiap meja lima orang, dan asyik maceki. Para bebotoh-bebotoh ceki inilah yang sesungguhnya mengawal mayat yang terbaring di bale dangin. Orang-orang inilah teman-teman karib Genep dan Lunga.
Memang tidak semua yan hadir bebotoh ceki profesional. Jauh lebih banyak yang cuma maceki buat hiburan, seperti Lunga dan Genep. Di acara magebagan inilah mereka bisa menyalurkan hobi, karena tak bakalan ditangkap aparat keamanan. Jika sampai ada aparat yang datang hendak menangkap, serentak mereka akan berujar, “Beh, bapak ini gak ngerti orang lagi kesedihan!” Dan, aparat itu penuh pengertian, dan dianggap aparat yang baik yang memihak rakyat.
Konon, terpetik kabar, di Tabanan, para bebotoh pro sering menginginkan tuan ru mah menunda-nunda jenazah dibawa ke kuburan, sehingga banyak waktu meng gelar ceki bertopeng dan berkedok magebagan. Konon pula, jangan-jangan benar, para bebotoh itu membiayai biaya ngaben si tuan rumah dari hasil cuk (fee) judi ce ki. Kalau sungguh-sungguh benar, kian benar kalau magebagan itu sama saja de ngan maceki. Jika ada krama mengajak rekannya, “Ayo magebagan,” itu sama artinya dengan ajakan “Ayo maceki!” 7
Komentar