Ulasan Isu Sosial pada Karya Sineas Muda Indonesia
Filmmaker ‘The Sound of Preeett’ dan ‘Tergila-Gila’ angkat isu sosial di masyarakat
MANGUPURA, NusaBali.com
Meskipun telah berakhir, Bali International Film Festival (Balinale) 2019 menyisakan sejumlah hal yang menarik untuk dibahas lebih jauh. Di antaranya, yaitu karya-karya sineas muda Indonesia yang film karyanya turut ditampilkan dalam festival film terbesar di Bali ini. Karya-karya sineas muda yang termasuk dalam kategori film pendek ini mendapat sorotan karena memuat konten yang mencerminkan isu-isu sosial di masyarakat Indonesia yang dikemas dengan plot yang unik.
Di antara film-film tersebut, yaitu, ‘The Sound of Preeett’ karya Rangga Kusmalendra dan ‘Tergila-Gila’ karya Nirartha Bas Diwangkara. Film-film pendek ini memiliki genre yang berbeda-beda. Film ‘The Sound of Preeett’ dikemas dalam genre komedi, sementara ‘Tergila-Gila’ karya sineas Bali, Nirartha Bas Diwangkara, memiliki genre drama.
Meskipun memiliki genre yang berbeda, kedua film ini membahas isu sosial yang terjadi di masyarakat. Film ‘The Sound of Preeett’, misalnya. Film ini menceritakan mengenai seseorang yang difitnah telah membuang angin di tempat umum sehingga dihakimi masa. Hal ini merupakan cerminan masyarakat yang masih kerap kali melakukan persekusi akibat termakan berita bohong atau ‘hoax’, utamanya yang disebabkan oleh sosial media.
Lain lagi dengan ‘Tergila-Gila’. Film ini mengangkat isu konflik batin yang dialami seorang remaja di masa pubertas, yang memiliki perasaan tak wajar kepada paman si tokoh utama yang memiliki penyakit kejiwaan ‘Schizophrenia’, namun pada saat yang bersamaan juga menyukai salah seorang teman sekelasnya yang dianggap populer.
“Film ini menceritakan permasalahan yang dialami remaja saat pubertas, apalagi dengan kurangnya sex education yang didapat,” ujar Nirartha Bas Diwangkara.
Uniknya, film yang berlatar belakang sebuah keluarga di Bali ini membahas isu sosial yang dibungkus dengan latar budaya Bali. Latar budaya ini ditunjukkan dengan adanya adegan di mana salah seorang tokoh melaksanakan persembahyangan harian dan juga dengan disebutnya latar belakang tokoh utama yang berasal dari kasta tertentu.
“Mengapa berlatar keluarga seperti ini, karena saya rasa sudah mainstream kalau budaya Bali hanya digambarkan dengan orang memakai baju kebaya saja. Memang akan ada yang merasa tidak nyaman dengan pengambilan latar keluarga ini, tapi saya sendiri berasal dari keluarga demikian, jadi saya rasa ini waktunya saya berbicara mengenai hal itu,” jelas Nirartha.
Kedua film yang digarap selama 6 bulan hinga setahun ini memiliki tujuan yang tak lepas sebagai sarana edukasi. Kedua film ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar lebih peka dengan permasalahan sosial, utamanya yang sering terjadi di masyarakat yang tanpa sadar dilakukan dan terjadi pada banyak orang.*yl
Komentar