Regulasi Ribet, Pepsi Hengkang dari Indonesia
Bukan hanya soal regulasi, tapi dari sisi konsumsi pun sudah ada pergeseran minuman ke kopi dan jus.
JAKARTA, NusaBali
Per 10 Oktober 2019, minuman Pepsi sudah tak dijual lagi di Indonesia. PepsiCo, produsen minuman ringan berkarbonasi yang berkantor pusat Amerika Serikat, secara resmi menyatakan tidak lagi menjual produknya di Indonesia. Hal ini merupakan buntut dari keputusan perusahaan untuk tidak memperpanjang kerja sama dengan PT Anugerah Indofood Barokah Makmur (AIBM) yang bakal berlaku efektif pada 10 Oktober 2019. Lantaran kontrak kerja sama itu tak diperpanjang, AIBM pun tidak akan lagi melakukan pengemasan, distribusi hingga penjualan produk PepsiCo di Indonesia.
Anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Thomas Darmawan, menilai hengkangnya PepsiCo dari Indonesia salah satunya dipengaruhi karena regulasi terhadap industri minuman yang semakin ketat.Thomas menjelaskan setidaknya ada empat regulasi yang berpotensi menyebabkan produsen minuman ringan berkarbonasi tersebut tidak lagi memperpanjang kerja sama dengan PT AIBM. "Ada empat aturan yang menurut saya menjadi pertimbangan industri minuman sekarang, yakni UU Sumber Daya Air, label dari Badan POM, kewajiban sertifikasi halal, dan aturan larangan kemasan plastik pada minuman," kata Thomas dikutip Antara, Kamis (3/10/2019).
Thomas yang juga menjabat Ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Protein, itu menjelaskan salah satu peraturan yang kini menghambat berkembangnya industri minuman saat ini adalah Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 22 tahun 2019 tentang informasi nilai gizi pada label pangan olahan.
Regulasi tersebut mengharuskan produsen wajib mencantumkan kandungan kadar garam, gula dan lemak (GGL) pada kemasan pangan dan minuman.
Selain itu, industri makanan dan minuman juga diwajibkan mencantumkan sertifikasi halal dari MUI pada 17 Oktober mendatang. Wacana soal pengenaan pungutan tarif cukai pada minuman berkarbonasi juga dinilai menjadi pertimbangan bagi Pepsico untuk tidak lagi memasok produknya. "Plus soal pajak. Menteri Keuangan dan DPR ada wacana minuman berkarbonasi mau dikenakan cukai lagi, jadi seperti dianggap rokok," kata dia.
Thomas Darmawan juga mengakui jika perubahan konsumsi masyarakat yang bergeser ke minuman kopi menjadi salah satu alasan hengkangnya PepsiCo dari Indonesia."Trennya memang turun. Orang mulai kembali ke minuman jus, buah-buahan, teh, apalagi anak muda sekarang lebih tertarik minum kopi. Pertumbuhan minuman kopi saat ini lumayan," kata Thomas.
Sebaliknya, pesaing terbesar Pepsi, yakni Coca-Cola, juga lebih gencar melakukan promosi dan menjual dalam kemasan yang lebih kecil dengan kisaran harga Rp3.000 per botol. Meski saat ini minuman berkarbonasi masih didominasi oleh Coca-Cola, Thomas menilai masih ada minuman ringan lainnya, seperti Sarsaparilla dan air limun yang masih digemari masyarakat.
"Sekarang kita lihat yang lokal, seperti Sarsaparilla, minuman limun lokal masih ada, tetapi yang lebih bagus pertumbuhannya memang minuman teh, susu dan jus, karena lebih murah," kata dia.
Ada pun data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan pertumbuhan industri minuman masih positif. Sektor industri minuman pada semester I- 2019 menunjukan pertumbuhan sebesar 22,74 persen, yang berkontribusi sebesar 2,01 persen terhadap industri pengolahan non migas dengan nilai investasi penanaman modal asing (PMA) sebesar 68,72 juta dolar AS dan investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp1,43 triliun.*ant
Anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Thomas Darmawan, menilai hengkangnya PepsiCo dari Indonesia salah satunya dipengaruhi karena regulasi terhadap industri minuman yang semakin ketat.Thomas menjelaskan setidaknya ada empat regulasi yang berpotensi menyebabkan produsen minuman ringan berkarbonasi tersebut tidak lagi memperpanjang kerja sama dengan PT AIBM. "Ada empat aturan yang menurut saya menjadi pertimbangan industri minuman sekarang, yakni UU Sumber Daya Air, label dari Badan POM, kewajiban sertifikasi halal, dan aturan larangan kemasan plastik pada minuman," kata Thomas dikutip Antara, Kamis (3/10/2019).
Thomas yang juga menjabat Ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Protein, itu menjelaskan salah satu peraturan yang kini menghambat berkembangnya industri minuman saat ini adalah Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 22 tahun 2019 tentang informasi nilai gizi pada label pangan olahan.
Regulasi tersebut mengharuskan produsen wajib mencantumkan kandungan kadar garam, gula dan lemak (GGL) pada kemasan pangan dan minuman.
Selain itu, industri makanan dan minuman juga diwajibkan mencantumkan sertifikasi halal dari MUI pada 17 Oktober mendatang. Wacana soal pengenaan pungutan tarif cukai pada minuman berkarbonasi juga dinilai menjadi pertimbangan bagi Pepsico untuk tidak lagi memasok produknya. "Plus soal pajak. Menteri Keuangan dan DPR ada wacana minuman berkarbonasi mau dikenakan cukai lagi, jadi seperti dianggap rokok," kata dia.
Thomas Darmawan juga mengakui jika perubahan konsumsi masyarakat yang bergeser ke minuman kopi menjadi salah satu alasan hengkangnya PepsiCo dari Indonesia."Trennya memang turun. Orang mulai kembali ke minuman jus, buah-buahan, teh, apalagi anak muda sekarang lebih tertarik minum kopi. Pertumbuhan minuman kopi saat ini lumayan," kata Thomas.
Sebaliknya, pesaing terbesar Pepsi, yakni Coca-Cola, juga lebih gencar melakukan promosi dan menjual dalam kemasan yang lebih kecil dengan kisaran harga Rp3.000 per botol. Meski saat ini minuman berkarbonasi masih didominasi oleh Coca-Cola, Thomas menilai masih ada minuman ringan lainnya, seperti Sarsaparilla dan air limun yang masih digemari masyarakat.
"Sekarang kita lihat yang lokal, seperti Sarsaparilla, minuman limun lokal masih ada, tetapi yang lebih bagus pertumbuhannya memang minuman teh, susu dan jus, karena lebih murah," kata dia.
Ada pun data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan pertumbuhan industri minuman masih positif. Sektor industri minuman pada semester I- 2019 menunjukan pertumbuhan sebesar 22,74 persen, yang berkontribusi sebesar 2,01 persen terhadap industri pengolahan non migas dengan nilai investasi penanaman modal asing (PMA) sebesar 68,72 juta dolar AS dan investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp1,43 triliun.*ant
Komentar