Local Genius Bali
Hari-hari belakangan ini orang Bali acap memperbincangkan tentang local genius, yang diartikan sebagai kearifan lokal.
Tapi, tidak ada yang tahu dari mana dan siapa pertama melontarkan istilah local genius itu. Pemilik bahasa Inggris tidak mengenal secara khusus kata itu. Yang lazim di tengah mereka antara lain local radio, local newspaper, atau local colour untuk menunjukkan karya-karya kreatif seperti sastra atau film berlatar belakang setempat (lokal). Tak akan kita jumpai istilah local genius.
Maka bolehlah disebut istilah local genius itu lahir di Indonesia, milik daerah-daerah yang kaya akan tradisi dengan filosofi hidup yang diwariskan turun temurun. Kearifan lokal itu sering didengung-dengungkan sebagai sesuatu yang sangat membanggakan, harus dijaga, disebarluaskan, pantas dijadikan milik dunia.
Bagi orang Bali local genius dipahami sebagai tabiat orang-orang setempat yang hebat, yang autodidak, menemukan berbagai hal baru, manusia-manusia kreatif yang tidak pernah mengenyam pendidikan khusus. Mereka ini juga sering disebut sebagai maestro.
Di zaman modern, seorang maestro menancapkan keberadaannya dan menggemakan diri untuk terus dihormati, dikenang, sehingga nama-nama mereka menjadi nama gedung, nama jalan, atau tempat-tempat penting yang sering dikunjungi. Tapi orang-orang Bali tradisi tidak pernah punya motif untuk dicatat. Mereka menemukan dan menggelar kearifan lokal sebagai sosok-sosok tanpa nama.
Filosofi tri hita karana misalnya, terus menerus dikumandangkan, agar seluruh dunia tahu, dan menjadikannya sebagai pegangan hidup untuk menciptakan kedamaian. Banyak orang Bali yakin, kalau orang-orang seluruh dunia sudi mengamalkan tri hita karana, alam akan tenang, tidak terjadi perusakan lingkungan, rukun damai antarbangsa. Tiada perang. Bumi akan menjadi planet religius.
Kearifan lokal sangat dipuja oleh orang Bali. Mereka merasa paling unggul dalam urusan local genius. Orang genius memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa dalam berpikir dan mencipta. Jika Bali memiliki banyak kearifan lokal, itu pertanda banyak orang Bali genius. Siapa pun disebut genius pasti suka dan bahagia, tak peduli apakah kegeniusannya itu sanggup membuatnya sejahtera atau justru membuatnya makin miskin karena sibuk petantang-petenteng memikirkan diri cerdas dan hebat.
Local genius di Bali selalu dikaitkan dengan kehebatan masa lalu. Jika ada orang Bali pintar mencipta tari, ahli pewayangan, cerdas menciptakan gending, terampil menakik kayu, hebat membuat sesaji, disebut local genius. Filosofi yang berkaitan dengan keseimbangan alam atau pengelolaan tata irigasi subak, juga disebut sebagai hasil nyata kearifan lokal.
Kegeniusan itu, di Bali, selalu berarti masa lampau, sesuatu yang membuat orang-orang klangen, terlena. Kegeniusan itu pun dikaitkan dengan orang-orang hebat dalam mencipta tetapi tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Kalau orang Bali itu buta huruf, belajar sekadar dari lingkungannya, tetapi menciptakan karya-karya besar, semakin geniuslah dia dianggap.
Jika pemahat I Cokot yang buta huruf sempat belajar di perguruan tinggi seni, boleh jadi dia tidak dianggap sebagai bagian terpenting dari kemuliaan local genius Bali. Bisa jadi dia tidak disebut-sebut sebagai maestro pahat.
Pasti tidak sedikit orang Bali yang belajar sendiri, tidak mendapat bimbingan khusus lewat pendidikan formal atau kursus untuk menjadi orang-orang profesional. Di desa-desa, sekarang ini, banyak bisa dijumpai bengkel sepeda motor milik seseorang yang tidak pernah khusus belajar otomotif. Ada pula orang-orang yang menciptakan desain-desain atau motif tenun seperti songket.
Tapi, seberapa hebat pun mereka mencipta, tak bakalan disebut sebagai local genius. Kegeniusan mereka berkaitan dengan industri, tidak dengan tradisi yang berhubungan dengan tata agama dan adat istiadat. Tak ada sangkut pautnya dengan banten, sesaji. Mereka yang tekun dan suntuk dalam tata-titi sesaji, perihal kedisiplinan melaksanakan upacara adat dan agama, baru punya peluang disebut sebagai local genius.
Ganjil memang, bagaimana orang Bali selalu mengaitkan kehebatan itu dengan masa lalu. Senantiasa menghubungkan kecerdasan, bakat, dengan yang serba tradisi. Jika ada orang Bali yang menjadi penemu pembangkit tenaga listrik menggunakan arus air terjun sungai, tak bakalan dianggap sebagai bagian dari local genius.
Kearifan lokal telanjur selalu dikaitkan dengan yang serba lama, serba kuno. Seseorang yang modern, melakukan pendobrakan, menciptakan pembaruan, tak akan disebut sebagai pentolan local genius.
Banyak orang Bali paham, tradisi acap tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan. Organisasi petani subak, misalnya, gagal mensejahterakan anggotanya. Kearifan lokal itu ternyata cuma memberi identitas, jatidiri, betapa Bali memiliki riwayat sebagai bangsa yang sanggup mengurus diri sendiri. Yang dulu-dulu itulah kini sering dibangga-banggakan setiap orang-orang memperbincangkan kehebatan-kehebatan local genius, yang kalau diungkap berlebihan, bangsa lain bisa mencap kita sombong. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar